PEMBERI DAN PELAKSANA

Hubungan antara pemberi quest dan petualang

(Translator : Zerard)


“Aku pergi keluar.”

“Oh, oke…”

Gadis Sapi menahan dirinya untuk bertanya Cepet banget? Seraya dia memperhatikan pria itu berjalan keluar ke dalam kegelapan subuh.

Tidak ada percakapan lagi. Tidak ada sarapan lagi. Dan tentu saja, tidak ada makan malam sebelumnya.

Aku senang dia mulai pulang ke rumah, tapi…

Gadis Sapi menghela napas melankolis dan bersandari di atas meja, dada besarnya menekan permukaan meja. Pria itu terkadang tidur di ruangannya sekarang. Gadis Sapi merasakan hal yang sama ketika mereka beru saja bertemu, tetapi…

Mungkin aku ini Cuma mengganggu dia saja, memaksa dia melakukan hal seperti ini.

Dia tidak dapat menghentikan pikirannya yang mengiang.

Sesuatu sangatlah aneh, tidak ada yang perlu di ragukan. Sesuatu yang penting—pria itu telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar menjadi petualang, pikir sang gadis.

Gadis Sapi terkadang pergi ke Guild. Oleh karena itu dia mendengar bermacam hal yang di katakan orang.

Goblin Slayer. Seseorang yang membunuh goblin.

Mengapa? Gadis Sapi tidak perlu bertanya.

Apa yang ingin dia ketahui adalah, apa yang dapat dia lakukan untuk pria itu?

Dia mengengingat berkendara kereta kuda seraya dia meninggalkan desanya, menoleh kebelakang. Sore hari sebelumnya, dia bertengkar dengan pria itu, membuat pria itu menangis, dan dirinya juga menangis.

Wajah akan ibu dan ayahnya sudah mulai buram dalam ingatan.

Gadis Sapi mengingat peti mati kosong yang mereka kubur.

Di tengah semua itu, satu hal yang tidak dapat dia ingat adalah desanya, di binasakan oleh goblin.

Sama sekali tidak ingat.

Hanyalah seperti kanvas kosong, seoerti sebuah tempat di pantai di mana sebuah kastil pasir yang telah dia buat dengan susah payaj, terlebur di karenakan ombak.

“….Haaaa.

Apa dia sok ikut campur?

Gadis Sapi membiarkan kepalanya berguling ke samping, memperhatikan dapur. Di sana terdapat panci penuh akan rebusan, menunggu untuk di hangatkan.

Waktu itu, waktu ketika pria itu pulang ke rumah dengan babak belur, Gadis Sapi berpikir bahwa pria itu telah makan dengan benar.

Tetapi mungkin dia hanya berimajinasi soal itu. Mungkin itu hanyalah apa yang ingin Gadis Sapi lihat.

“…Entahlah.”

Bukan tentang pria itu. Bukan tentang petualang.

Subuh menyingsing seraya dia memikirkan hal ini. Cahaya semakin terang di luar. Tidak lama lagi pamannya akan bangun.

“…Harus buat sarapan paman siap.”

“Mungkin dia mempunyai kekasih di suatu tempat. Atau mendapatkan pasangan di antara pelacur bukanlah sebuah—“

“…..!”

Di kala mengingat ucapan pamannya, dia berdiri dengan cepat hingga membuat meja bergetar.

Wajahnya panas. Begitu panas. Wajahnya pasti merah padam. Gadis Sapi dengan cepat menggelengkan kepalanya.

“Ka-kayaknya aku perlu cuci muka…!”

Dia berlari ke pintu, wajahnya masih panas, dan kemudian—

“…Huh?”

Dia berhenti pada pemandangan yang tidak di sangka. Pagar, yang telah dirinya hendak perbaiki, telah di perbaiki.

“…?”

Gadis Sapi memikirkannya untuk sejenak, dan timbul kesimpulan bahwa pamanlah yang pasti memperbaikinya, kemudian melanjurkan berlari menuju sumur.

*****

Terdapat sebuah rumah kecil, berdiri di tempat yang seharunys. Kincir air berdecit mengiringi, dan asap mengepul dari cerobong. Sebuah tempat yang kecil.

Kabut pagi hari, berwarna susu, mengambang di sekeliling Goblin Slayer seraya dia berjalan sigap menuju pintu. Dia memberikan beberapa ketikan dan di sambut dengan suara yang memanggil “Masuk.”

Dia membuka pintu dan memasuki ruangan yang di buat redup oleh tumpukan buku.  Dia berjalan melewati celah yang tersisa, berhati-hati untuk tidak merobohkan tumpukan beda yang terlihat seperti sebuah sampah baginya, dan dia tidak ketahui guna dari semua itu.

“Hei, maaf. Lagi sedikit sibuk aku.”

Di bagian paling belakang, Arc Mage duduk bekerja dengan giat pada mejanya. Jarinya menggerakkan kartu secepat sihir, kecepatannya membuat kartu tersebut menjadi buram seolah dia sedang melakukan aksi sulap.

“Aku bawa sari apel.”

“Mantap. Taruh aja di sana.”

Dia bahkan tidak menoleh mengarah pria itu: Goblin Slayer menuruti dan meletakkan botol itu di suatu tempat.

Beberaoa botol kosong berguling di kakinya, sebuah aroma manis mengambang dari botol itu. Sebuah campuran dari apel dan herba—aroma wanita itu.

“Dan juga, aku mempunyai benda yang kamu minta.” Goblin Slayer merogoh kantung peralatannya, mengeluarkan sebuah tas serat rami yang tertutup rapat, namun walaupun seperti tiu, sebuah arima tidak mengenakkan mengambang di ruangan. Bukan mustahil, mungkin aroma itu berasa dari kotoran yang melapisi tubuhnya…

“Tinja goblin.”

“Mantap, taruh aja di sana.”

Wanita itu terdengar tidak tertarik, namun itu tidak mengusik pria itu; dia hanya mengangguk dan meletakkan kantung itu di suatu tempat.

Untuk beberapa hari yang lalu, ini merupakan kesehariannya yang sama.

Goblin tidak banyak tercantum di dalam Monster Manual. Namun itu, menurut  Arc Mage, bukanlah menjadi alasan untuk menghentikan mereka melakukan penelitian sebelum menulis. Oleh karena itu Goblin Slayer akan mengkoleksi benda yang berhubungan dengan goblin dan mengantarkannya kepada Arc Mage. Kemiudian dia akan mendapatkan hadiah.

Tidak peduli di mana dia meletakkannya, di hari berikutnya dia berkunjung, benda itu selalu menghilang. Semua hal ini sama sekali bukanlah masalah baginya.

“Hadiahku?”

“Ahh, benar.”

Sebuah respon ambigu. Goblin Slayer menunggu dengan sabar untuk ucapan berikutnya, dan kemudian akhirnya wanita itu berkata, “Ah,” seolah baru mengingat. “Ada beberapa scroll di sana. Kamu bisa ambil satu.”

Wanita itu terdengar seperti sedang memberikan pria itu sesuatu yang dirinya tidak butuhkan, namun pria itu hanya menjawab. “Baiklah.”

Goblin Slayer menegok ke “di sana” seperti yang telah di beritahukan, dan benar, terdapat sebuah koleksi yang tergulung rapi bersama.

“Nggak masalah mana yang aku ambil?”

“Nggak masalah.”

“Hmm,” dia berkata dan berpikir sejenak, kemudian mengambil scroll yang paling atas, agar tidak merusak tumpukan itu.

Scroll ini tampak terbuat dari kulit domba. Benda ini memiliki penyekat sederhata dengan sebuah benang dekorasi terikan dengan dimpul yang aneh.

Sebuah scroll sihir, kemungkinan ini adalah pertama kalinya Goblin Slayer melihatnya.

“Apa ini?”

“Tanya aja wizard di kota tentang apa yang ada di dalamnya.” Arc Mage berkata, dan kemudian dia tampak deperti melupakan pria itunsecara keseluruhan.

Satu persatu, kartundi balik, berdansa di atas meja, depan dan belakang bertukar posisi dengan sangat cepat, hingga akhirnya mereka di tumpuk. Cincin pada jarinya berkilau. Bendanitu tampak seperti masih terbakar dari dalam.

Goblin Slayer memperhatikan untuk sejenak, kemudian memberitahukan wanita itu bahwa dia akan pergi dan meninggalkan ruangan.

Tepat saatnpintu tertetutup, dia mendengar wanita itu berkata, “Sampai jumpa lagi.” Hanyalah sebuah sopan santun.

Kemungkinan.

*****

“…Ada, apa?”

Goblin Slayer berada di dalam rumah makan; pertanyaan itu datang Witch. Wanita itu sedang duduk pada salah satu sudut ruangan, tongkat bersandar pada dinding; dirinya sendiri duduk dengan kaki menyilang anggun, bersantai. Wanita itu memang mempesona, dan para petualang lain melirik mengarah mereka.

Pastilah begitu banyak petualang yang mencobanuntuk berbicara kepada pemula ini, seorang wanita dan seorang wizard yang berpergian sendiri. Namun mereka memalingkan tatapan  mereka lagi ketika mereka melihat siapa yang berdiri di depan wanita itu: seorang pria dengan armor kotor.

Witch memainkan rambutnya secara terus menerus, menyembunyikan mata di balik topi seraya dia melihat pria itu. “Mungkin, identifikasi, lagi?”

“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. Kemudian, setelah beberapa saat berpikir, dia menambahkan, “Kamu mau melakukannya?”

“…Coba, ku, lihat.” Sebuah tangan indah sudah menjulur. Tunjukkan padaku, tampak seperti ucapannya.

Goblin Slayer mengambil scroll yang dia terima dari dalam tas dan menyerahkannya pada dia.

“Sepertinya, ini, dari, dia…?”

“Benar.”

“Mm…” Witch mengangguk kembali, kemudian memutar scroll itu di telapak tangannya beberapa kali, setelah itu dia menghela napas terkesan namun melas. “…Wanita, itu. Dia, aneh….benar?”

Goblin Slayer tidak menjawab. Dia tidak mengetahui orang itu dengan cukup baik untuk mengucapkannya.

Oleh karena itu untuk beberapa saat berpikir, dia berkata sederhana, “Begitu?” Witch mengangguk.

“Sangat, sangat, aneh.”

Dia meletakkan scroll di atas meja dan mengeluarkan sebuah pipa panjang dari lipatan jubahnya. Dia menyalakan batu api dengan gerakan elegan dari tangan, membakar pipa itu.

“Mereka, yang, bisa, menjadi….seperti, dia. Sangatlah, sedikit, sekali. Di luar, logika, dunia. Sangatlah….menyeramkan, di sana.” Sebuah aroma mengambang di sekeliling Witch. “Karena, kamu, tidak, akan, pernah, tahu… Dan, siapapun, yang, dapat, pergi….untuk, menemuinya…memanglah, sangat, mengesankan.”

Seperti yang di duga, tak satupun dari ini yang masuk akal bagi Goblin Slayer. “Jadi scroll macam apa itu?”

“Heh-heh… Ini?” Dia memberikan scroll sebuah ketukan dengan ujung jarinya. “Adalah, sebuah, scroll, Gate…”

“….Hmm.”

“Sebuah, penemuan, yang, beruntung, sekali…”

Ini adalah benda sihir yang sesungguhnya: sebuah versi dari mantra Gate yang telah hilang yang dapat di gunakan oleh siapapun. Tidak peduli jika kamu berada di dalam menara Dark Gods, atau beberapa labirin penyihir besar; kamu dapat melarikan diri dalam sekejap. Dengan scroll ini saja dapat menyelematkan nyawamu. Kamu dapat hidupnuntuk hari berikutnya. Kesempatan ini bernilai ribuan emas. Dan bahkan lebih bagi petualang pemula—gunakan atau jual, apapun itu, scroll ini bagaikan mimpi yang menjadi kenyataan.

“…Begitu?”

Goblin Slaye4 tampak tidak begitu memahaminya. Witch berbisik, “Benar,” kemudian melanjutkan merajut kalimatnya bersama. “Tulis, sebuah, tujuan…dan, kamu, bisa, pergi, ke semua…ke segala, tenpatm di dunia…setidaknya.”

Namun ini harus di gunakan dengan penuh pertimbangam. Sebuah tawa lepas dari bibir Witch.

“Kalau, kamu…mencoba, untuk, pergi, ke, suatu, reruntuhan, di dasar, laut? Kamu, akan, dapat, pergi, kesana…dan, air, akan, menenggelamkanmu.”

Atau, sebagai contoh, kamu mungkin hendak melewati Gate dan remuk hingga mati…

Hal seperti ini bukanlah hal yang unik untuk mantra Gate. Kapanpun seseorang menggunakan sihir tanpa berpikir, itu tidaklah berbeda dengan mengundang kematian. Itulah alasan sebenarnya mengapa seseorang tanpa kecerdasan yang cukup tidak akan dapat menjadi wizard. Sebuah pekerjaan yang mengharuskan untuk belajar dan berhati-hati. Kartu apa yang kamu mainkan, kapan kamu harus memainkannya, apa yang akan terjadi: seseorang harus memikirkan semua ini, buat prediksi, dan mencoba untuk meraih hasil tertentu.

Terdapat sebuah pandangan ekstrim yang mengklaim bahwa tidak ada kebenaran sama sekali di dalam Menara Ivory, akademi dari para sage. Pengetahuan dan pengalaman adalzh dua bumbu utama akan kecerdasan. Satundari dua hal itu tidak boleh hilang untuk mendapatkan otak sesungguhnya. Dengan itu, sangatlah masuk  akal bagi wizard pemula untuk terjun kendunia mencari pengalaman sesungguhnya.

Mereka harus mengetahui. Semuanya. Segalanya. Karena itu mereka pergi ke tempat yang tidak di ketahui. Itu patut di puji, bukan sesuatu untuk di cemooh. Paling tidak dalam prinsip.

Goblin Slayer berpikir bahwa Witch adalah salah satu dari pembaca mantra keliling itu. Namun dia tidak mengetahuinya. Dia bukanlah pria yang tertarik dengan sejarah kehidupan seseorang.

“…Jadi, apa…yang, akan, kamu, lakukan, dengan, ini?”

“Apa yang akan ku lakukan dengan ini?”Dia tidak menduga pertanyaan itu, dan yang hanya dapat dia lakukan hanyalah mengulangi pertanyaan itu kembali.

“Tujuannya… Kamu, harus, menuliskannya, untuk, dapat, menggunakannya, bukan?” Mata Witch bergeming. Akan tetapi, ekspresi sebenarnya dari wajah wanita itu, tersembunyi di balik topinya.

“Tujuan…”

“Ya.” Witch menghisap pipanya, menghirup aroma wangi yang mengambang di sekitar dirinya. Kemudian dia berbicara, xuaranya begitu melodis, katanya mengambang seperti asap yang menari di udara. “Suatu, tempat, yang, bukan, di sini, waktu, yang bukan, saat, ini. Pilihan, terakhir. Pintu, untuk, pergi—atau, paling, tidak, tiruan, yang , seperti, itu.”

Ucapannya tampak menari di udara, menghilang bersama dengan asap.

“Itulah, mengapa…kamu, harus, menulis, tujuannya…paham?”

“…” Goblin Slayer mendengus pelan. “Aku nggak tahu.”

“Mm…” Witch berkedip, alis mata panjangnya berkibas. “Kamu, mau, menjualnya…?”

“Aku juga nggak tahu,” Goblin Slayer berkata oendek, dengan gelengan kepala.

“Pikirkan, dan putuskanlah.” Witch menyerahkan scroll itu kembali kepadanya dengan dopan. Goblin Slayer meremas benda itundi tangan.

“Aku nhgak punya kemampuan untuk menulis mantra di atas scroll.”

Mungkin dia bermaksud. Simpankan untukku.

Witch berpikir sejenak, kemudiam mengambil scroll itu kembali dan memasukkannya ke dalam celah belah dadanya yang besar.

“Apa aku bisa memintamu untuk menangani ini?”

“Akan, memakan, sedikit, waktu. Mungkin….hanya, sedikit?”

“Begitu.”

“Dan sekarang, aku, punya…sebuah, kencan.”

“Begitu,” Goblin Slayer mengulangi, dan kemudian mengangguk. Kemudian dia menghitung beberapa keping emas, sebagai uang muka, dan pergi meninggalkan rumah makan.

*****

“Anda,” kata Gadis Guild, sebuah senyum tidak alami menempel di wajahnya, “adalah salah satu petualang yang luar biasa.”

“Yang benar?!”

“Ya, semua orang mengatakan bahwa anda mempunyai masa depan yang cerah…”

“Wah, wah! Mantap…! Senang rasanya bisa di hargai seperti itu!”

“Dengan dasar itu, ada seseorang yang berkeinginan untuk membentuk party bersama anda.”

“Yeah? Siapa yang mau party sama aku yang hebat dan perkasa—maksudku siapanyang mau gabung dengan partyku?”

“Seorang wizard cerdas yang telah melihat secaraa langsung betapa kuatnya anda. Anda mengingat psrty sementara itu…?”

“Ahh, Witch itu…!” sang petualang, berarmor sederhana dan membawantombak pada punggungnya, mengingat wanita itu secara langsung.

Gadis Guild secara pribadi merasa lega. Pipinya berkedut. Dia belum bisa menurunkan senyumnya sekarang.

“Bagaimana menurut anda tentang wanita itu? Beliau adalah petualang yang baik bukan?”

“Yeah, mantap!” Spearman berkata, membusungkan dada. “ Dia seperti pembaca mantra yang handal bagiku!”

Gadis Guild sejujurnya tidak mengetahui apakah itu benar atau tidak. Dia tidak pernah melihat para petualang dengan mata kepalanya sendiri. Pertarungannya dan petualang di lakukan dengan pena dan kertas.

Dan negosiasi.

Dia berusajha keras untuk menarik ke atas pipinya yang terus berkedut seraya dia berkata,” Bagaimana? Apa anda ingin membentuk party bersama dengan beliau lagi?”

“Iya dong! Heh, kalau aku punya pembaca mantra, aku bakal jadi harimau dengan sayap! Aku nggak akan mengecewakan siapapun!” Spearman menyeringai lebar dan mengangguk kuat, tampak begitu senang karena telah di berika kepercayaan pada permintaan ini.

Pria itu sama sekali tidak mempertimbangkannya. Gadis Guild berkata, “Terima kasih banyak karena telah bersedia menangani ini,” dan menundukkan kepalanya. Dia merasa sedikit bersalah kepada pria itu.

“Oke!” Spesrman berteriak. Dia memberi salam sekali, kemudian bergegas pergi dengan begitu bersemangat.

“Oh, saya rasa beliau ada di rumah makan!” Gadis Guild memanggil pria itu. Kemudian dia mengeluarkan suara semacam “Oof” dan merosotkan tubuhnya ke atas meja.

Dia tidak berbohong pada pria itu. Semua yang dia katakan adalah benar.

Spearman memang memiliki reputasi yang baik. Dan ketangguhannya sudaah tidak di ragukan lagi. Dan keinginan Witch untuk bekerja bersamanya dallah fakta.

Gadis Guild mendapati dirinya menggosok kedua pipinya. Tersenyum sepanjang waktu sangatlah melelahkan. Spearman adalah pengecualian, namun terdapat begitu banyak petualang muda yang hanya membawa omong kosongnya. Mereka berusahanuntuk meningkatkan kesan orang terhadap mereka, sementara menghindari tanggung jawab dan pekerjaan yang sexungguhnya, selalu mencari cara termudah untuk mendapatkan keuntungan.

Semua orang memilikinsisi seperti itu dalam diri mereka; Gadis Guild tidak bisa menyalahkan mereka karena out. Mereka bebas untuk berpikir apa yang bagus dan baik, namun…

Aku juga bebas berpikir untuk tidak menyukai mereka…

Paling tidak petualang pengguna tombak itu mempunyai pencapaian untuk membawa namanya. Jika dia tidak mempunyainya, Gadis Guild tidak akan pernah melakukan hal merepotkan seperti ini untuk dia.

“Capek?”

“Yeah…”

Koleganua tersenyum simpati dari kursi sebelah.

“Yah, petualangan itu memikat berbagai macam orang. Jangan terlalu di pikirkan, oke?”

“Aku tahu itu… aku tahu.”

Pada akhirnya pekerjaan ya pekerjaan, koleganya mengingatkan dia. Petualang mengagumkan, petualang brengsek—mereka semua akan mati suatu haru. Dadu para dewa memperlakukan semua secara adil; karena itu masing-masing upaya atau kekurangan individual dapat mempengaruhi kemungkinannya.

Yang semakin menguatkan alasan untukntidak terlibat dengan siapapun terkecuali di panggil.

Kita tidak berada dalam posisi yang tinggi…

Itu adalah satu dari banyak hal yang telah di ajarkan kepadanya ketika dia menjadi anggota pegawai dari Guild Petualang. Gadis Guild memahami itu.

Atau paaling tidak, aku rasa aku memahaminya, tapi…

“…Aku akan membuat the.”

“Mantap! Buat untuk aku juga, oke?”

“Yeah, baik,” dia berkata kepada koleganya yang berisik seraya dia berdiri.

Dia meletakkan sebuah rambu yang mengatakan Akan Segera Kembali pada mejanya dan pergi ke ruangan belakang.

Dia dapat dan seharusnya merebus air untukndirinya sendiri, namun…

Tidak ada yang salah dengan sedikit kemalasan.

Gadis Guild menjulurkan kepalanya ke dalam dapur dan meminta dedikit air mendidih. Kok rhea yang berada di sana sangatlah bersahabat.

Dia menunggu hingga daun the terjatuh, menuangkan air ke salamnya, kemudiam bergegas kembali ke meja resepsionis.

“Ini.”

“Yay! Terima kasih!” Rekan kerjanya dengan riang mengambil cangkirnitu; Gadis Guipd menghiraukan temannya ketika dia bertanya, “Bagaimana kalau di temani dengan cemilan?”

Gadis Guild duduk pada kursinya sendiri dan baru akan mendekatkan cangkir ke bibirnya, ketika—

“Oh!”

Dia meletakkan cangkir itu kembali ke piringnya.

Seorang sosok hitam berjalan tegap melintasi keramaian aula Guild. Dia mengenakam armor kulit kotor dan helm baja yang terlihat murahan. Sebuah pedang dengan panjang ysng tidak biada di pinggul dan sebuah perisai kecil pada lengannya.

Adalah seorang petualang yang mereka sebut…

…Goblin Slayer.

Seraya dia berjalan kepada Gadis Guild, Gadis Guild meletakkan tangannya ke atas pangkuan dengan rapi, tersipu ketika rekan kerjanya memperhatikannya.

“Er, uh,” dia berkara, duduk dengan tegak. “Ap-apa yang bisa saya bantu untuk anda hari ini?”

“Goblin.”

Satu kata pasti. Kata yang sama setiap hari. Gadis Guiod merasa pipinya tertarik menjadi masam, walaupum untuk alasan berbeda dari yang sebelumnya.

“Tapi…anda baru saja menangani beberapa goblin sebelumnya, bukan?”

Aku yakin… dia bahkan tidak perlu memeriksa berkasnya. Pria itu, hampir, bahkan tidak pernah mengambil quest lain selain berburu goblin.

Jika tidak, mereka tidak akan memanggilnya Goblin Slayer.

“Mungkin anda ingin mengambil sesuatu yang lain sekali-sekali? Seperti, uh, manticore atau semacamnya…?!”

“Nggak.” Dia menggelengkan kepala. “Goblin.”

Hmm… Gadis Guild memanyunkan bibirnya cemas. Dia merasa perjalanan pria ini ie tempat wizard itu telah merubahnya, namun…

Pada akhirnya, Gadis Guild menghela panjang menyerah dan berkata, “Baiklah.” Kemudian mengangguk. “Saya lihat dulu… Oh, silahkan minum teh jika anda berkenan.”

“Ya.”

Syukurnya, Gadis Guild belum sempat meminum dari cangkir itu. Dia menawarkan the itu kepadanya dan mulai membalikan halaman buku. Tidak pernah ada akhir dari pemburuan gobkin di dunia. Terdapat sebuah pepatah lelucon yang berisi “setiap kali party petualang baru terbentuk, begitu pula dengan sarang goblin.” Seperti itulah banyaknya mereka.

“Uh, ini. Terdapat…dua hari ini. Yang ini.”

“Aku ambil dua-duanya.” Dia mengumandangkan tanpa melihat isi kertas quest, menyebabkan Gadis Guild tersenyum canggung kembali. Tetapi, jika seorang petualang ingin mengambil quest goblin, dia tidak akan menghentikannya. Hal terutama adalah pria ini selalu menyelesaikan pekerjaannya—seperti spearman itu.

“Kalau begitu, aku pergi.”

“Uh, baik! Hati-hati!”

Goblin Slayer mengerjakan berkas kertas secara minimum, kemudian berjalan pergi secara sigap seperti saat dia datang.

“Bukan pria paling ramah yang ada di sini ya?” Kolega Gadis Guild menyeringai seraya pria itu pergi.

“Iya…” Gadis Guild menyetujui.

Pria itu tidak banyak berbicara. Dia hanya hadir ketika di perlukan. Dan kemudiam melakukan apa yang harus di lakukan. Dan…

cangkirnya…kosong?

Dia tidaj mengetahui bagaimana pria ini meminum melalui helmnya, namun entah mengapa hal ini membuatnya begitu senang.

“…Heh-heh!

Gadis Guild melanjutkan pekerjaannya dengan riang sepanjang siang dan menjelang sore.

*****

“GOROOGORO!!”

Dia menghentikan teriakan goblin yang mendekat dengan perisainya dan sedikit “Hmph,” dan makhluk itu terlontar ke belakang. Kemampuan melompat goblin tidaklah begitu berbeda satu dengan yang lain. Bahkan walaupun mereka bergantung pada ranting pohon, mengintip dari atas langit-langit gua.

Oleh karena itu bukanlah hal yang mustahil untuk mempelajarinya dan melakukan persiapan untuk itu.

Goblin Slayer bergerak mendekati monster yang terjatuh dan menusuknya di tenggorokan.

“GOBGRG?!”

“Tiga,” dia berkata seraya dia melihat ke bawah pada monster yang akan kadaluarsa, tersedak oleh cipratan darahnya sendiri.

Sangatlah sedikit dari perburuan goblin yang benar-benar unik.

Kali ini melibaykan sarang goblin yang telah muncul dindekat desa petani, tidak lebih. Goblin Slayer mengunjungi Arc Mage, kemudian mampir ke Guild, menyiapkan beberapa makanan, dan pergi. Sedikit memberikan salam di desa, kemudian langsung menuju gua.

Gobkin Slayer memasuki gua pada xenja hari, bersiap untuk menerima perlawanan iblis kecil ini. Malam adalah milik Mereka Yang Tidak Berdoa.

“…Hrm.”

Tetapi sekarang, seraya dia menendang mayat goblin ke sebuah pojok, Goblin Slayer menggerutu pada dirinya sendiri. Tidak terdapat penjaga sebanyak yang dia duga.

Bukannya goblin aktif di malam hari?

Mata mereka dapat melihat di kegelapan, membiarkan mereka bergerak di bayang-bayangbuntuk menyerang sebuah desa, mencoba untuknmencuri ternak, panen, atau wanita.

Seperti itulah cara goblin bekerja. Bahkan anak-anak mengetahuinya. Akan tetapi…

“…”

Apakah karena itu?

Kemungkinan itu terlintas, seperti sebuah intuisi, seperti inspirasi, namun dia menggelengkan kepala dan berkata, “Nggak, nggak mungkin.”

Dia tidak dapat mendapatkan kesimpulan berdasarkan tebak-tebakan. Perhatikan, pastikan. Pertimbangkan dengan masak. Bukankahnitu yang telah di ajarkan kepadanya?

Dia menarik pedang dari tenggorokan goblin, mengelapnya dengan kkain celana goblin. Kemudian dia mengambil kuda-kuda rendah, bergerak maju selangkah demi selangkah secara perlahan.

Terdapat beberapankotoran di sana, namun tidak ada serangga, tidak ada tinja kelelawar—mungkin, dia berpikir, karena mereka semua sudah berubah menjadi makanan.

Gua ini tidak begitu besar. Sebelum ibor pertamanya terbakar habis. Dia telah menemukan ruangannyang dia cari.

“Sudah ku duga.”

Ucapan itu terlepas dari bibirnya tanpa ada arti apapun. Intuisinya terbukti benar.

Mereka tidur.

Adalah, bisa di bilang, sebuah ruang tidur goblin. Di sini, jauh di dalam gua, lima atau enam goblin terlelap.

Ini pasti “subuh” bagi mereka sekarang.

Para goblin baru belajar bahwampara petualang datang  di siang hari. Oleh karena itu sangat masuk akal bagi mereka untuk menempatkan penjaga di tengah malam mereka—manusia juga melakukan hal yang sama. Jaga malam adalah tugas yang penting.

Namun “dini hari”… Mungkin itu berbeda.

Nggak ada yang namanya goblin pekerja keras, eh?

Bahkan beberapa penjaga terlihat mengantuk. Para goblin yang bertugas menjaga mereka sedang terkantuk dalam mimpi.

Tampaknya, tidak satupun goblin, yang akan sengaja bangun lebih awal untuk melakukan pekerjaan merepotkan demi rekannya.

Jika seseoraang tidak berada di antara mereka yang dapat berbahasa… maka dia adalah goblin.

Sebuah wajah terngiang di pikirannya. Gadisnitu. Apakah dia menunggundirinya harinini juga? Dinkebun itu. Hingga pagi hari.

Goblin Slayer menyalakan obor dengan hati-hati di tanah, menggenggam pedang secara terbalik, kemudian berjalan masukmke ruangan dengan hati-hati.

Dia meletakkan tangan di atas mulut dari goblin terdekat, secara bersamaan menusuknya di tenggorokan dan menyayatnya.

“GBBG?!”

Mata monster itu terbelalak, dan dia membuka mulutnya, dan menutupnya kembali di iringi dengan beberapa patah kata tidak jelas yang terdengar. Dan semua suara itu teredam dengan tangannya, dan kemudian monster itu terkulai mati.

“…Empat.”

Senyap, tak terdeteksi, Goblin Slayer melaakukan pekerjaannya dengan cepat dan tanpa suara agar tidak satupun dari mereka akan bangun. Dia bahkan hampir tidak bernapas; dia melangkah sesenyap yang dia bisa, melakukan tugasnya dengan begitu keji.

Adalah hal yang melelahkan untuk di lakukan. Yang menguatkan alasannya untuk tetap bersijap keji, memperlakukannya seperti sebuah bisnis. Memperhatikan apa yang perlu di perhatikan dan menghiraukan hal lainnya. Dengan begitu dia dapat menghiraukan rasa lelahnya.

“Lima… Hrm?”

Goblin Slayer mengeksekusi goblin lainnya. Namun dia merasakan ada yang salah; dia menjentikam lidah ketika dia melihat mata pedangnya telah menjadi tumpul dengan darah dan lemak. Dia baru saja akan melempar senjata itu—

“GOBBGR…”

--Ketika tiba-tiba datanglah gumamam dari salah satunsudut ruangan, dan Goblin Slayer dengan segera melempar pedang ke arah suara itu.

Pedang itu melintasi kegelapan, mendarat pada tenggorokan, mencabut nyawanya. Makhluk itu tersungkur ke belakang dan mati, tidak pernah mengetahui yang mana mimpi atau kenyataan.

Suara akan mayat yang tumbang ke lantai membuat Goblin Slayer gugup; dia mengambil pentungan yang berada di kakinya. Dia menunduk rendah, memperhatikan goblin yang masih hidup dengan seksama seraya gema terakhir menghilang.

“GOBGR?!” Salah satu dari mereka berbicara. Dia mengayunkan lengan kanannya. Bergumam dan meracau, goblin itu memutar tubuh dalam tidurnya.

Goblin Slayer menghela napas lega.

Tiga lagi.

Merupakan jumlah yang masih merepotkan, namun tidak pernah sedikitpun dia membencinya. Jika dia dapat menyapu mereka semua dengan sebuah banji, mungkin itu akan sedikit lebih efisien, tetapi…

“…Hmph.”

Adalah layak untuk di pikirkan. Goblin Slayer mengangguk, kemudian berjalan menuju goblin yang tersisa.

Pada tengah malam, semua telah berakhir.

*****

“Aduh, sekarang aku jadi terlambat…!”

Jarak tidaklah begitu jauh dari kebun ke kota, namun setelah mempertimbangkan waktu yang di perlukannuntuk bersiap, dan terkadang tergesa-gesa menjadi sebuah keperluan. Mengingat jumlah dari kargo, gadis itu tidak terlalu membutuhkan kuda, dan pada akhirnya, Gadis Sapi menarik gerobak seorang diri.

Kayaknya ini bakal bikin aku jadi berotot.

Itu bukanlah hal yang buruk, dan akan terjadi secara alami di tengah semua pekerjaan kebun. Namun walaupun begitu, sebagai seorang gadis muda, dia tidak terlalu menyukai ide itu…

Tidak lama setelah pikiran itu melintas di kepalanya, dia tertawa kecil, menyadari bahwa aneh dia memikirkan hal seperti itu sama sekali…

Aku nggak pernah terbiasa untuk memikirkan hal semacam itu.

Dia menyeka keringat yang mengalir dari kening, menarik napas dalam seraya dia menarik gerobak di sekitar belakang bangunan Guild.

Ini masih jauh dari selesai; dia masih harus menurunkan muatan kargo.

Terdapat sebuah cerita akan karpet dunia yang akan menghasilkan makanan ketika kamu menggelarnya, atau  sup yang keluar tanpa akhir dari sebuah sendok. Namun rumah makan Guild Petualang tidak mempunyai benda seperti itu; mereka menggunakan bahan-bahan segar setiap hsrinya.

Dengan hup semangat, dia memulai: ambil kotak atau gentung, letakkan, ambil kotak lainnya, letakkan. Terdapat banyak kotak dan gentung untuk di angkat dan di pindahkan, karena makan dan minum adalah kegemaran dari kota petualang.

Setelah semuanya di turunkan dan berkas kertas telah selesai, keringat tidak hanya mengalir; dia basah kuyup karena keringat.

Gadis Sapi duduk pada gentung terdekat, bersandar pada dinding dengan lelah.

“Pheeeww… Sekarang aku capek banget…”

Dia membuka kerah dari baju, yang di mana menempel pada kulitnya, mengipaskan tangan pada dada untuk membiarkan udara masuk. Dia menatap pada langit dan melihat senja hampir tiba; angin sejuk yang terasa pada pipinya terasa begitu nyaman.

Berikutnya, dia mengalihkan tatapannya ke samping dan melihat beberapa petualang. Apakah mereka akan pergi keluar, atau pulang? Mereka masuk dan keluar dari Guild, menggunakan dan membawa berbagai macam perlengkapan.

Dia memperhatikan dengan seksama, mencari di antara keramaian sebuah helm yang terlihat murahan dengan tanduk.

Nggak di sini ya? Sepertinya begitu.

Dia sudah mendunganya. Atau dia baru saja berpikir seperti itu? Akhir-akhir ini pria itu pulang kerumah ketika subuh menjemput. Hari ini, sekali lagi, pria itu pergi pada dini hari, dan Gadis Sapi tidak akan berharap kepulangan pria itu malam ini.

Lagipula, jika dia melihat pria itu di saja pada senjansaat ini, halnitu hanya akan membuatnya berpikir apa yang di lakukan pria itu dengan semua jam yang di habiskannya hingga dia pulang di pagi hari.

“…Ergh.”

Sebuah bayangan akan pria itu dan seorang wanita, seperi grafiti yang buram, mengambang di pikirannha, dan dia merasa darah mulai mengalir di pipinya.

Ini gara-gara Paman ngomong hal jorok begitu…

Gadis Sapi tampak belum menyadarinya, namun sepertinya ucapan paman masih terngiang di pikirannya.

Bensr, dia mengerti bahwa banyak pria yang seperti itu, kurang lebih, namun…

Gadis Sapi menggeleng kepalanya keras, mencoba untuk melenyapkan imajinasi jelek itu.

“Hey, kamu sudah dengar?”

“Tentang apa?”

“Goblin Slayer.”

Siapa yang sebenarnya dia pikirkan—Gadis Sapi menjulurkan telinganya.

Bernapas dengan pelan sebisa mungkin dan memperhatikam langkah kakinya, dia turun dari gentunh dan merapatkan tubuhnya dekat dinding.

Beberapa petualang sedang bercakap di luar pintu Aula Guild. Salah satu dari mereka tampak seperti warrior muda, namun untuk yang satunya, Gadis Sapi tidak dapat menebak profesi orang itu. Dia menggunakan armor kulit, dan sebuah pedang menggantung pada pinggulnya. Begitu pula helm, namun hanya itu yang dapat dia lihat. Gadis Sapi tidak mengetahui apakah dia deorang warrior atau scout, atau semacam campuran anatara kedua kelas itu.

Mereka petualang yang sesungguhnya, dia menyadari, matanya terbelalak, dan terus menyembunyikan dirinya di balik dinding tanpa tahu alasannya mengapa.

“Siapa itu?”

“Kamu tahu, orang yang cuma berburu goblin.”

“Err……..?”

“Dia mendaftar di hari yang sama denganku… Oh, dan dia nggak pernah melepas helmnya.”

“Ahh, yeah, yang jorok itu ya.”

Gadis Sapi hendak membalas ucapannya, namun dia tidak memiliki keberanian untuk keluar dan menghadapi kedua pria itu. Dia mengambil napas pelan dan dalam, mencoba untuk menenangkan kegelisahan tak bernama yang membuat hatinya berdebar di dalam dada.

Prianitu di sebut Goblin Slayer. Gadis Sapi mengetahui itu. Tidak masalah. Dia sudah mengetahuinya.

“Oke, jadi, si Goblin Killer atau apalah namanya, memangnya kenapa dengan dia?”

“Goblin Slayer,” sang warrior muda mengkoreksi petualang lain dengan kerut di wajahnya. “Pokoknya, aku dengar dia terus pergi ke gubuk di pinggir sungai itu.”

“Pinggir sungai…” petualang lain berkata, dan kemudian, setelah berpikir sejenak, dia berkata, “Maksudmu tempat di mana wanita gila itu tinggal?”

Wanita.

Gadis Sapi menelan liur dengan keras. Dia menggenggam kerah bajunya yang longgar.

Tidak, masih terlalu cepat. Dia masih belum bisa mengambil kesimpulan. Dia harus menunggu. Yeha, menunggu.

“Kamu kenal wanita itu?”

“Dia itu sage atau mage yang aneh… atau semacam itu. Melakukam semacam ‘penelitian.’” Nada tidak menyukai terdengar jelas pada suara para petualang; mungkin pria itu mempunyai semacam pengalaman tidak menyenangkan dengan wanita ini. “Aku pernah berkunjung ke tempatnyanuntuk melakukan identifikasi dulu, dan dia bilang, ‘Pastinya kamu nggak butuh aku untuk mengidentifikasi sesuatu yang sudah sejelas ini.’”

“Dia mengusirmu?”

“Usir? Aku bahkan belum sampai ke pintu depannya.”

“Biar ku tebak—benda itu ternyata memang sampah kan.”

“Aku membawa benda itu ke dia karena nggak ada yang terjadi ketika aku menggunakannya… Eh, ternyata benda itu semacam tongkat.”

“Tongkat aihir, huh? Jadi efeknya apa?”

“Ketika kamu memegangnya, kamu nggak akan jatuh.”

Kedua petualang berbagi tawa kering. Apakah itu tadi semacam lelucon? Kamu membawa tongkat agar kamu tidak terjatuh saat berjalan.

Gadis Sapi menggores dinding batu ubin dengan jempol kakinua, benar-benar tidak memahami maksud dari pembicaraan pzra petualang. Dia tidak tertarik dengan lelucon aneh mereka. Dia lebih ingin mengetahui tentang hal lain yang mereka katakan. Sebelum itu.

“Jadi, hei, kenapa mikirin tentang si…uh…”

“Goblin Slayer.”

“Yeah. Kenaoa mikirin tentang dia sih?”

“Yah, kami datang di saat yang sama,” sang warrior muda berkata pelan, ekspresinya sulit di baca. “Aku pikir mungkin dia mau bergabung dengan party atau semacamnya, dan aku g bisa mengeluarkan itu dari pikiranku.”

“Kamu sendiri solo kan? Mau gabung dengan seseorang? Aku bisa memperkenalkanmu.”

“Nggak, aku—” Dia menggeleng kepala perlahan. “Baik-baik saja seperti ini, untuk sementara.”

“Yeah, oke,” petualang lain menjawab, dan kemudian sebuah senyum dengan tanda kenakalan tersirat di wajahnua. “Terlalu sibuk mengawasi para pemula ya? Tertarik dengan gadis berambut silver itu?”

“Nggak. Nggak, nggak juga.” Sang warrior muda berkata menghindar, namun kemudian dengan segera dia tersenyum. “Pokoknya, nggaknusah khawatirkan aku. Jadi tadi kamunbilang pria itu membentuk party dengan pembaca mantra itu?”

Ya, ini dia. Gadis Sapi menelan liur, sedikit mencondongkan tubuhnya keluar dari bayanh- bayang.

“Nggak tahu. Wanita itu nggak kelihatan seperti tipe yang begitu.”

Entah baik atau tidak, sang petualanh begitu terserap oleh percakapan mereka hingga mereka berdua tidak ada yang menoleh mengarah sang gadis. Gadis Sapi mendengarkan dengan begitu seksama, seperti petualang yang mencuri jarahan naga dalam dongeng yang dia dengar saat tumbuh besar.

Para petualang yang sepertinya mengetahui sesuatu tentang pembaca mantra, sedang mencoba menjelaskannya kepada sang warrior, namun sang warrior merasa sulit untuk menceritakannya, dan ppenjelasannya sulit untuk di pahami.

“Dia menggunakan jubah kotor kayakngini, dan ruangannya penuh sama sampah. Dan bau ruangannya aneh, seperti obat atau semacamnya.”

“Huh… seorang alchemist, mungkin?”

“Mungkin. Dia memang nggak keliahatan seperti petualanh. Kalau dia tipe seperti sarjana yang rajin, aku pasti sudah berbincang-bincang dengannya.”

“Ayolah…” Tipemu itu aneh. Sang warrior muda mengjela, menggeleng kepala perlahan.

“Kurasa Goblin Slayer nggaknterlihat seperti tipe yang akan bergabung dengan psrty juga…”

“Yeah, tapi mereka berdua sama-sama kotor. Bagai pinang di belah dua, kan?”

Gadis sapi mendapati sebuah suara terlepas dari dirinya: “Ap?!” Salah satu petualang mengeluarkan suara heran “Hrm?” dan dengan cepat Gadis Sapi menutup mulut dengan tangannya.

“Kenapa?”

“Aku kira—eh, mungkin cuma imajinasiku saja. Mana mungkin ada monster di kota.”

“Ngomong apaan sih kamu?”

Aku menemukam toko dengan pelayan yanh cantik. Dia kayaknya naksir aku. Apa, ini lagi? Nggak kali ini beneran. Ayo.

Dengan itu seraya bercakap, mereka menghilang ke dalam keramaian sore. Gadis Sapi tetap di dalam bayangan, memperhatikam mereka pergi. Jadi pria itu memang sering berkunjung ke rumah wanita. Mereka melakukan sesuatu bersama. Sepertinya. Sepertinya?

Walaupun itu bukanlah hal yang perlu di kageti… paling tidak, itulah yang dia pikirkan. Mungkin, dia yakin.

Hubungan antara pria itu dengan  dirinya adalah sebatas anak dari pemilik tanah—tidak, keponakannya—dan seorang penyewa. Tidak lebih dan tidak kurang.

Gadis Sapi masih memilikinrahasia, halmyanh belum dia beritahukan kepada pria itu.

Dan pria itu juga tentunya mempunyai hal yamg belum di beritahukan kepadanya.

Gadis Sapi merasa terlalu ikut campur. Jadi….

“Pinang di belah dua. Pinang di belah dua…”

Dia menutup wajah dengan kedua tangan, merasa tidak mengetahui apa yang harus di lakukan. Aroma dari keringat dan debu menyengat matanya, menggelitik di dalam hidungnya. Dia menggosok wajah dengan telapak tangan.

“….Aku pulang saja.”

Ya, dia akan pulang.

Langit telah sudah menjadi merah; malam sudah dekat. Angin terasa dingon, dzn tubuhnya terasa berat.

Pergi pullang adalah hal yang terbaik.

Walaupun dia mengetahui bahwa pria itu tidak akan ada di sana malam ini.

*****

Guild Petualang sudah menjadi senyap ketika tiba di sana.

Cahaya lampu di jaga seminimal mungkin untuk menghemat bahan baksr, menyinari aula dengan remang-remang.

Pada meja resepsionis, pegawai malam—Gadis Guild—duduk pada kursinya, kepala mengangguk-angguk seraya bermimpi.

Walaupun dengan bau karat dan lumpur yang mengiringi pria itu, Goblin Slayer berjalan tanpa suara. Dengan pena bulu yang telah aiap pada meja resepsionis, prianitu menulis sebuah laporan sederhana pada sebuah kertas kulit domba, meletakkan pena dengan perlahan, dan kemudian menimpanya dengan kertas.

“…? Oh… er, oh….!”

Pada saat itu, Gadis Guild menyadari sebuah decitan kecil, merinding seraya dia mendengak. Ketika dia melihat helm baja itu, dia terkesiap termundur, namun dengan cepat meluruskan tubuhnya kembali agar dia dapat duduk dengan tegak.

“Ma-maafkan saya. Tadi sungguh tidak sopan dari saya. Um…”

“Laporanku,” Goblin Slayer beroata. Kemudian, seolah baru tersadarkan olehnya, dia menambahkan. “Dari berburu goblin.”

“Uh, baik…” Gadis Guild mengambil kertas itu dan memeriksanya. Duduk dengan lebih tegak lagi, dia berkata. “Saya akan memeriksanya.”

Sebuah coretan menjalar di atad kertas, seolah seekor cacing merayap di atasnya. Pria itu sendiri merasa tulisan tangannya begitu buruk. Kakak perempuannya telah mengajarinya cara membaca dan menukis ketika dia masih sangat muda. Tidak banyak kesempatan di mana dia dapat menggunakan kemampuan itu semenjak saat itu.

Walaupun tulisanmu tidak begitu bagus, kalau kamu menulis secara hati-hati, pasti tidak apa-apa.

Ucap kakak kepadanya. Dia berpikir bahwa dia telah mmenulis dengan hati-hati.

“Oke, bagus…. Um, apa ada yang tidak biasa?”

“Ada goblin,” dia berkata. “Nggak terlalu banyak. Aku membunuh mereka semua.”

“…jika begitu, sepertinya semua telah terselesaikan.”

Gadis Guild tertawa pelan, memeriksa ulang kertas itu dengan sopan, dan mengangguk. Dia memasukkan laporan itu dengan hati-hati ke dalam penahan kertas dan mendokumentasikannya.

“Saya menyatakan quest ini telah selesai. Kerja bagus! Saya akan menyiapkan hadiah anda sekarang.”

“…”

Gadis Guild mengangkat bokongnya dari kursi unthk berdiri. Helm Goblin Slayer berputar mengarah bengkel. Semua cahaya telah di padamkan, seperti dugaan, bahkan walaupun dia meminta sesuatu dari mereka sekarang, mereka mungkin tidak akan memulai mengerjakannyanhingga hari esok.

“…Nggak,” dia berkata, menggeleng kepalanya. “Aku akan mengambilnya besok.”

“Anda yakin?”

Helm itu bergerak kembali, kali ini mengamgguk. Pria itu meraxa bahwa ini adalah sebuah tanda berakhirnya percakapan ini.

Uh, baiklah, jika begitu. Akan tetapi, Gadis Guild, menggerakkan jarinya resah, seolah masih ada sesuatu yang ingin gadis itu ucapkan.

Goblin Slayer menunggu dengan tanpa suara. “Ahemmm,” Gadis Guild berkata, “Sebenarnya quest ini telah di terbitkan beberapa hari yang lalu, namun tak seorangpun yang ingin mengambilnya…”

“Begitu?”

“Yah, hadiahnya tidak begitu bagus. Tapi, uhh…”

“Apa?”

Gadis Guild menarik napas dalam, menyebabkan dada ranumnya mengembang, dan keseluruhan kalimatnya mengalir seperti air. “Jadi anda telah begitu membantu! Terima kasih banyak!”

Goblin Slayer menjawab dengan, “Begitu.”

Kemudiam, dengan salah satu “ Baiklah.” keacuhan ciri khasnya, dia melangkah mengarah pintu, meninggalkan jejak kaki berlumpur.

Dia mendorong pintu ganda itu terbuka dan pergi keluar, mendengarkan mereka terdiam di belakangnya seraya dia menatap ke langit. Cahaya bintang begitu redup, dan bulan juga tertutupi oleh awan. Cahaya pudar sudah mulai tampak pada ujung langit timur.

”Hrm,” dia bernapas pelan, dan kemudiam dia berjalan dengan langkah sigap nan acuhnya.

Musim pamas akan segera tiba, namun udara pagi masih terasa dingin. Dia dapat merasakan embun seraya dia berjalan.

Rumah kebun tidaklah begitu jauh, dan kakinya sudah menghapal jalan ke sana juga, namun terkadang entah mengapa perjalanannya terasa begitu lama. Mungkin dia lelah. Itu adalah kesimpulannya, merasa seperti dia memperhatikan dirinya sendiri dari belakang.

Dan kemudian dia tidak memikirkan hal ini lebih lanjut. Terdapat hal lain yang membutuhkan perhatiannya, pertimbangannya. Semak-semak di dekatnya, bayang-bayang pepohonan, ujung jauh dari lahan ini. Apakah ada yang bergerak di saja? Dan jika ada, apakah itu? Ada jejak kaki? Dia tidak merasakan apapun, perasaan kehadiran jahat itu.

“Aura?” masternya pernah bertanya. “Siapa yang percaya sama omong kosong itu?”

Segalanya dapat di pahami dengan melihat, mendengar, mengendus, menyentuh, merasakan.

“Maka kamu harus berpikir tentang apa yang di maksud.”

Itulah apa yang dinucapkan masternya dengan menyeringai setelah pemukulan seperti biasanya.

“Ada merrka yanh dapat mendapatkan kesimpulam tanpa berpikir, tapinkamu, kamu terlalu bodoh untuk itu, mengerti? …Ambil itu sebagai aturan pertamamu.”

Kemudian masternya menendang dia kembali seraya dia berusaha untuk berdiri, dan dia terjatuh berguling di atas es.

Adalah kala itu di mana dia belajar bahwa gurunya sangatlah piawai dalam melakukan halm semacam itu. Namun masih jauh di depan di mana dia dapat memahami bahwa mengetahui sesuati dan dapat bertindak pada sesuatu itu adalah hal yang berbeda.

“….”

Ketika dia kembali ke kebun, dia menyadari dirinya sedang melakukan putaran keliling pada pagar.

Itu adalah pertanda buruk.

Memeriksa musih seharusnya menjadi sebuah kebiasaan, namun tidak seharusnya menjadi terlalu biasa, tidak seharusnya di lakukan dengan rute yang selalu sama. Itu akan memberikam goblin kesempatan untuk menyelinap darinya. Itu akan membuatnya tidak dapat merespon pada seekor goblin yang melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Dia menggeleng kepala untuk menghilangkan embun darinhelmnya, berjalan kembali dari awal dia datang, dan memulai kembali. Ketika dia telah selesai melakukan putaran, masihnterdapat waktu sebelum matahari terbit. Dia pergi ke gudang dan mengeluarkan beberapa belati dan helm rusak, meletakkannya di atas rak.

Pastilah rasa lelah yang membuat lengan dan kakinya terasa berat. Namun tidak ada jaminan bahwa goblin tidak akan muncul ketika dia lelah.

“…Hrm.”

Dia meremas sebuah belati di dalam jarinya yang bergetar, memasang kuda-kuda, dan melemparnya. Meleset. Lemparan lain. Kena.

Itu tidak cukup bagus. Dia tidak ingin mengetahui dia akan mengenainya tetapi dia ingin pasti mengenainya.

Ketika dia kehabisan pisau, dia mengambil belati yang meleset dari sasaran dan mencobanya kembali, hingha helmmitu terlontar terjatuh.

Adalah saat itu ketika matahari mulai mengintip dari balik cakrawala. Dia menyipit di balik helmnya di hadapan cahaya yang seperti menusuk mata dan masuk ke otak.

“…Hrm.” Dia menggerutu singkat. Dalam arunika, dia dapat melihat bagian dari dinding batu yang telah rusak.

Goblin?

Itu bukanlah satu-satunya penjelasan. Itu bisa saja merupakan sebuah kejahilan anak kecil. Atau mungkin hanya roboh secara alami. Tidak satupun hal yanh tidak membutuhkan perawatan. Dia mengambil helm dan belatu dan meletakkannyanke damping, kemudian berjalan menujundinding. Dia berjongkok, mengelus dinding itu dengan perlahan unntuk memeriksanya. Dia memutuskan bahwa tidak ada orang (atau, hingga goblin) yang telah melakukan ini. Dia menghela.

“…Kamu pekerja keras ya.”

Itulahndi mana dia mendengar sebuah suara di belakang tanpa di duganya. Dia berdiri perlahan.

Adalah pemilik kebun, kemungkinan keluar dari rumah utama. Dia terlihat seperti baru saja bangun, namun dia begitu bugar.

“Satu orang nggak akan bisa melakukannsemuanya sendiri, paham? Akan sangat berarti bagiku kalau kamu membantu.”

Sang pemilik berdiri dengan matahari yang berada di belakangnya, memperhatikan Goblin Slayer, yang menjawab, “Justru itu,” dan menggeleng kepala perlahan. “Akan menjadi masalah kalau goblin datang kesini.”

“…” Sang pemilik membuat semacam ekspresi, namun dia tampak seperti sebuah bayangan bagi Goblin Slayer, yang tidak dapat melihat ekspresinya. Kemudian sang pemilik melipat lengan dan membuat suara yang terdengar seperti suara yang di buat sapi, dalam dan pelan.

“…Tentang gadis itu…”

Goblin Slayer berdiri tegak. “Ya, pak.”

“Dia muram sekali saat pulang ke rumah kemarin malam.”

“…”

“Cobalah untuk…memikirkan dia, mungkin.”

Goblin Slayer terdiam, helmnya terpaku mengarah sang pemilik, yang mulai bergerak resah.

“Memikirkan,” Goblin Slayer mengulangi. “Maksudnya?”

“Maksudku… Perhatikanndia, luangkan waktu bersamanya…. Dan banyak lagi.”

Adalah respon yang sangat samar; sang pemilik sendiri terdengar seperti tidak yakin akan jawabannya. Namun Goblin Slayer menjawab, “Begitu,” dan mengangguk. Itu terdengar seperti sesuatu yang dapat dia lakukaj. “Aku akan coba.”

“…Baiklah. Aku harap kamu coba.” Sang pemilik menghela, terlihat begitu lega, kemudian berpaling dan menuju rumah utama. Tetapi setengah perjalanan menuju ke saja, dia berhenti. “Dan juga,” dia menambahkan dari balik pundaknua. “Bersihkan dirimu sedikit… baumu mengerikan.”

Goblin Slayer berpikir sejenak namun pada akhirnya tidak berkata apapun serayandia memperhayikam sang pemilik pergi. Aroma ini, adalah sebuah kebutuhan untuk membunuh goblin.

“…..”

Masih menggenggam helm dan belati, Goblin Slayer kembali ke gudang, melempar kedua bendanitu ke pojok. Sebagai gantinya, dia mengambil sebuah kantung berlumur minyak yang dia gunakamnuntuk mempersiapkan perlengkapannya. Masih terdiam, dia mengoleskan minyak itu ke setiap permukaan armornya. Walaupun begitu, inintidaklahnbisa di bilang bersih. Namun dia melempar kantung itu ke samping ketika dia telah selesai mengelap dan pergi menuju rumah.

Tiba-tiba datanglah rasa nyeri di kepalanya, yang di mana dia pikir pasti di karenakan dehidrasi. Dia harua minum air sebelu, dia tidur selama satu atau dua jam.

“…Oh, selamat pulang.”

Tidak lama setelahndia membuka pintu, sebuah aroma wangi dan tidak asing menyambutnya. Gadis itu sedang berdiri di sana di dalam dapur dengan menggunakan celemek, tersenyum ragu di depan panci yang berada di atas api.

“Er, uh…. Mau sarapan?”

Gobkin Slayer berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ya aku mau.”

“Oh, ah, ba-baik…!”

Dia bergegas melakukan aktifitasnya di dapur, meletakkan perkakas. Dia melirik ke samping mengarah meja, di mana sang pemilik kebun sudah duduk, yang di mana sang pemilik menatap tajam kepada dirinya.

Goblin Slayer duduk dinseberamg pria itu, tidak yakin apa yang harus dinkatakan. Namun tidak lama, dia berkata, “Besok, akunyakin aku akan bisa membayar uang sewa lagi.”

“…Benarkah?”

Tidak lama kemudian, sarapan sudah berada pada meja di depannya. Adalah rebusan.

Ucapan terima kasih telah di umbarkan, dan sarapan di mulai. Goblin Slayer menggerakan sendoknya dengan diam.

“…”

“…”

Gadis Sapi memperhatikam pria itu seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan.

Goblin Slayer berpikir tetapi, tidak dapat memikirkan apapun, dan tetapmdiam.

Akhirnua, sang gadis menutup mulutnya lagi, mengarahkan matanya ke suatu tempat.

Dengan itu Goblin Slayer meletakkan sendok di dalam mangkuknya yang kosong dan berkata, “…Apa yang harus ku lakukan?”

“Huh?”

“…”

“…Er…” Gadis Sapi tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun; dia menoleh kepada pamannya, memohon pertolongan. Sang paman mengamgkat bahunya dia. “…Aku…akan mengantar pesanan,” sang gadis berkata.

“Begitu.”

“Apa…kamu mau membantuku…?”

Itu…akan membuatku senang,  pada itu Goblin Slayer mengulangi, “Begitu.” Kemudian: “Tunggu satu jam.”

“Oh, uh, baik!” Gadis Sapi mengangguk begitu kuat hingga keseluruhan tubuhnya bergetar. “Oke. Aku akan menunggu!”

Goblin Slayer berdiri tanpa berucap apapun lagi dan pergi meninggalkan rumahl mungkin di karenakan rasa dari makanan, atau lelah yang membenaninya, namun kakinya terasa begitu berat seolah terkekang oleh sesuatu.

Tetap saja, dia mengangkst masing-masing kaki ke atas dan menurunkannya kembali, melangkahkan dirinya maju. Selama dia terus maju ke depan, dia akan mencapai tujuannya. Pada akhirnya. Dia akan sampai ke sana.

Dia masuk ke dalam gudang, duduk bersansar dinding, dan menutup matanya.

Semua sama, Goblin Slayer berpikir.

Semua hal harus menjadi biasa, namun bukan kebiasaan, bukan sesuatu yang di lakukan secara sama setiap hari.

Semua hal harus di pelajari, kemudian di renungkan, dan kemudianndi tindak lanjuti.

Namun dia juga mengetahui bahwa mempelajari sesuatu tidak serta merta menjadi sebuah kemampuan yang dapat di lakukan dalam sekejap.

Terkadang banyak hal yang tidak berjalam sesuai dengan yang kamu rencanakan.

*****

Gadis Sapi mengintip ke dalam gudang, tidak yakin apa yang harus di lakukan. Dia dapat melihat pria itu duduk meringkuk di sudut ruangan berantakan ini.

Nggak duduk… Diantidur.

Pria itu telah pulang kerumah sehabis bekerja, makan secukupnya untuk memenuhi perut, kemudiam duduk dan tidur. Pikiran akan pria itu membantu pekerjaan dirinya walau hampir tidak ada jeda untuk istirahat sama sekali tidak membuat dirinya senang.

Di sisi lain, dia ingin melakukansesuatu untuk pria itu—sesuatu yang tidak melibatkan goblin.

Nggak. Hentikan berpura-pura.

Gadis Sapi merasa sangat senang bahwa pria itu telah memakan makanan yang dirinya telah buat dan berkata bahwa dia akan membantu Gadis Sapi. Itulah emosi yang terngiang di dalam pikirannya, untuk lebih baik atau lebih buruk.

Jadi karena itu….aku mmengangguk.

“…Haaa.”

Tidak dapat membuat keputusan, Gadis Sapi celingak celinguk antara gerobak yang siap untuk pergi, dan kegelapan yang muram.

Satu jam telah berlalu. Benar, mereka masih mempunyai waktu, namun ini adalah produk segar, ini tidak dapat diam selamanya.

Gadis Sapi telah berdiri bimbang untuk beberapz menit ketika dia mendengar sapi yang melenguh di kejauhan, dan dia menghela napas.

Dia memberikan ketukan pelan pada pintu yangbsudah terbuka dan memanggil pria itu, “…Hei, kamu bangun?”

“…” Pria itu berdiri dengan berat, tidak berkata apapun. Gadis Sapi menjerit tidak sengaja.

“Ka-kamu sudah bangun…?”

Kemudian pria itu melihat  dia yang berdiri gelisah dan berpikir.

Suara gadis itu mulai menjadi tinggi, namun pria itu menjawab, “Nggak,” acuh seperti biasanya. “Aku baru bangun.”  Pria itu terdengar serak. “Maafkan aku.”

“Ngg-nggak masalah…” Gadis Sapi menggeleng kepalanya perlahan. “Nggak apa-apa.”

“Begitu.”

Pria itu meneguk panjang botol air (kapan dia mendapatkannya?), dan kemudian, setelah beberapa keheningan selanjutnya, dia mulai berjalan. Langkah pria itu sigap dan tanpa ragu; dia melewati Gadis Sapi dengan cepat.

“Oh tunggu…!” Pria itu sudah memulai memegang pegangan gerobak dan bersiap pergi di kala sang gadis memanggilnya.

“Apa?” Dia berhenti.

Gadis Sapi bingung ingin berkata apa, namun akhirnya memutuskan untuk berkata apa yang dia pikirkan. “A-aku ikut denganmu…!”

“Begitu.”

Gadis Sapi berlari mengikuti di belakzng gerobak. Pelindung kepalanya mungkin menyembunyikan wajah pria itu, namun sang gadis masih tidak memiliki keberanizn untuk berjalan berdampingan dengannya.

“O-oke, ayo!”

“Ya.” Responnya singkat dan acuh seperti biasa. Gadis Sapi memberikan dorongan pada gerobak dengan sekuat tenaganya, berpikir bahwa ini adalah yang terbaik yang dia dapat lakikan.

Roda mulai berputar dengan decitan, dan bergerak perlahan.

Ssmua tampak lebih mudah dari biasanya. Mungkin di karenakan pria itu menarik gerobak ini untuk dirinya.

“Apa ng-nggak terlalu berat…?”

“Nggak.”

Hampir tanpa sepatah katapun. Sang gadis berpikir tentang betapa lelahnya pria itu, namun sang gadis tidak mengatakan apapun.

“…”

“…”

Mereka berjalzn bersama di bawah langit pagi, bersamaan dengan decitan roda dan angin musim panas yang berhembus melewati mmereka. Ketika Gadis Sapi melihat ke depan, yangbhanya dapat dia lihat hanyalah tumpukan hasil produksi; dia harus mengintip ke samping untuk dapat melihat sosok pria itu. Tentu saja bahkan walaupun begitu, yang hanya dapat dia lihat adalah punggung dan helm baja pria itu. 

“Uh, rasanya semakin memanas ya?”

“Benarkah?”

“Mungkin bakal jadi panas… Musim panas kan akan segera datang.”

“Ya.”

“Kamu nggak kepanasan?”

“Nggak.”

Gadis Sapi terdiam. Mereka berdua tidak berbicara lagi. Dia berdiri di belakang gerobak, memperhatikan kakinya dan berfokus untuk mendorong. Keringat mengucur dari dahi dan menetes ke tanah.

Adalah perjalanan pendek dari kebun ke kota, mungkin—sebuah berkah. Gadis Sapi tidak banyak menaruh harapan bahwa dia akan dapat bercakap panjang dengan pria ini.

Tetapi, lebih dari apapun, dia tidak ingin pria itu melihat dirinya yang seperti ini.

Bahkan dirinya sendiri memahami betapa tidak senangnya dirinya.

*****

Mereka melewati gerbang masuk ke kota, dan ketika mereka tiba di depan Guild, mereka menghentikan gerobak. Gadis Sapi baru menyadari ketika decitan roda telah berhenti. Dia bergegas melepaskan gerobak, dan sementara itu, Goblin Slayer mendekati dirinya dengan santai.

“Akan ku turunkan.”

“Oh, ba-baik.”

Nada pria itu tidak memberikannya kesempatan untuk berdebat. Gadis Sapi mengangguk dan menggapai tumpukan hasil produksinya.

Dia melirik pria itu seraya pria itu mengangkat kotak kayu berat dan meletakkannya.

Sedangkan untuk Gadis Sapi, dia tidak dapat melakukannya—walaupun dirinya telah berada di sini, terngah-engah, dan bekerja.

Kurasa itu pasti ka…karena dia seorang petualang.

Dia tidak dapat mengetahui itu secara pasti di karenakan armor yang menutupi pria itu, namun dia berasumsi bahwa pria ini pasti cukup kekar.

“Kenapa?”

“Ng-nggak…!”

Dia menyadari bahwa dirinya telah terlalu menatap pria itu hingga membuat dirinya tidak bergerak, dan dia-pun kembali bekerja. Dia masih tidak tahu apa yang ingin di bicarakan, namun paling tidak kali ini, dia tahu apa yang harus dia lakukan.

Adalah bagus untuk memiliki pekerjaan untukndi lakukan, pikir Gadis Sapi. Mengangkat kargo, meletakannya, mengangkatnya kembali. Lagi dan lagi.

Bahkan walaupun mereka telah selesai, pekerjaan mereka berikutnya adalah menyerahkan ini semua kepada Guild. Gadis Sapi menyeka keringat dari dahi dan menenangkan pernapasannya seraya dia melihat pria itu.

“…..”

“Jadi, um…”

Dia tidak dapat berbicara. Adalah bukan karena napasnya yang berat. Lidahnya terbelit.

Dia menendang lantai batu ubin dengan jempolnya. Pria itu menatap sang gadis.

Sangatlah tidak nyaman, dan Gadis Sapi menatap ke lantai. “Anu… Yeah. Sudah nggak apa-apa sekarang. Terima kasih.”

“Begitu.”

Itu saja?

Namun tentu saja, dia tidak dapat menyuarakan pertanyaan itu.

Goblin Slayer mengangguk ketus, kemudian berputar dan mulai berjalan. Gadis Sapi hanya dapat melihatnya pergi. Dia menjulurkan tangannya, kemudian menariknya kembali, mendekapnya di dalam dada.

Dia merasa begitu hangat. Mungkin di karenakan keringat. Kehangatan yang membara di  dalam dadanya. Mungkin di karenakan tangannya? Mungkin keduanya.

“…..”

Gadis Sapi berdiri untuk beberapa saat, menatap langit. Sangatlah biru.

…Ini harus di hentikan.

Dia menggeleng kepalanya, entah mengapa merasa begitu menyedihkan.

Dia mengetuk pintu belakang Guild dan memberi tahu pegawai tentang pesanan mereka yang telah di tiba. Dia mendapatkan tanda tangan pada berkasnya.

Mereka memberi tahi gadis itu beberapa detil kecil lainnya yang perlu di tangani, dan sang gadis mengernyit, telah melupakan bagian ini. Itu artinya dia harus kembali ke dalam lobi Guild. Tempat di mana pria itu berada.

“Ada masalah?”

“Oh, nggak.” Anggota pegawai tampak cemas akan gadis itu, namun Gadis Sapi hanya menggelengkan kepalanya. “Cuma hari ini panas banget.”

“Ahh. Ini hampir musim panas, bukan?”

Basa-basi biasa. Percakapan biasa yang tidak dapat dia lakukan dengan pria itu.

Gadis Sapi merasa hatinya di remas seraya dia berkata, “Baiklah.” Dan cepat permisi dari tempat.

Dia berlari kecil, merasa seperti dirinya berenang di dalam lautan petualang yang riuh, menuju Aula Guild.

Hal ini sungguh membuat sang gadi kewalahan tidak peduli seberapa sering dia melihatnya—hampir membuatnya pusing.

Terdapat begitu banyak orang di sana, menggunakan berbagai macam perlengkapan, membawa bermacam benda yang dapat di bayangkan. Dia memperhatikan megahnya perlengkapan seseorang yang berjalan dalam armor kulit kotor dan sebuah helm.

“Oh…”

Di sanalah dia—duduk pada sebuah bangku dinsudut ruang tunggu.

Gadis Sapi mendapati dirinya tidak dapat berbicara dengan pria itu.

“—”

“-----”

Dia tidak mengetahui apa yang pria itu lakukan. Namun di samping pria itu adalah sesosok wanita.

Wanita itu sangat cantik. Pakaiannya benar-benar menjiplak garis tubuhnya yang menggoda, wajahnya tersembunyi di balik sebuah topi besar.

Dia adalah seorang petualang yang dulu pernah bekerja dengan Gadis Sapi. Sekarang wanita itu sedang berbicara dengan Goblin Slayer, dengan suasana yang tampak gembiira. Sang wanita tertawa seraya dia menyerahkan semacam gulungan pada pria itu.

“…”

Gadis Sapi merasa suhu dadanya merosot, dan dia menggeleng kepalanya.

Bukan… pasti bukan dia.

Tidak mungkin, rumor mengatakan bahwa seseorang yang menggunakan jubah, seorang wanita aneh yang memberikan kesan yang sama dengan pria itu.

Bukan dia—mungkin, pikir Gadis Sapi.

“Oh…”

Prianitu menoleh kepadanya.

Prianitu hanya menggerakkan helmnya, namun entah bagaimana, Gadis Sapi mengetahuinya.

Mereka pasti telahbselesai berbicara. Prianitu mengangguk singkat kepada witchnitu, kemudian melangkah mengarah Gadis Sapi.

“Ap—Ah—Oh…”

Gadis Sapi terkejut. Dia tidak pernah menyangka pria ini akan mendatanginya.

Mungkin pria itu tidak menyadari jika sang gadis memperhatikan dirinya. Tapi bagaimana jika dia menyadarinya?

Yah, lalu kenapa? Ini bukanlah berarti sang gadis melakukan sesuatu yang salah. Namun tetap saja…

“Ada apa?”

“Ng-nggak ada, er, apa-apa.” Suaranya naik satu oktaf dan melengking pada ujung kalimat. Adalah kebohongan yang buruk, menurut sang gadis.

Namun pria itu hanya menghembuskan, “Begitu,” dan mengangguk kepala berhelm itu.

Apa—apa dia percaya aku?

Pria itu masih belum berbicara, namun sang gadis sudah merasa takut. Pria itu sering diam dan sedikit bersua bahkan ketika dia berbicara. Jadi ini adalah sesuatu yang sangat normal, akan twtapi…

Dia seperti apa ya, ketika kita masih kecil?

Sang gadis merasa dia mengingat pria itu sering berbicara. Namun itu lima tahun yang lalu. Seberapapun jernihnya ingatan yang dia rasakkan, dia mendapati detil-detil itu begitu buram.

Bagaimana dengan pria itu? Sang gadis berpikir. Seberapa banyak yang pria itu ingat tentang dirinyz lima tahun yang lalu?

“Apa kamu butuh bantuan?”

“Ng-nggak… Nggak apa-apa. Aku baik-baik saja.”

“Begitu.”

Dan sepertinitulah, tentu saja, percakapan mereka berakhir.

Gadis Sapi menggerakkan pandangannya dari lantai menuju helm itu dan kembali lagj ke lantai, kemudian dia mmenyadari petualang yang lewat sedang memperhatikan mereka.

Mungkin mereka berdiri terlalu dekat dengan pintu masuk. Para petualang berlalu, melirik memgarah mereka.

Aku biasa saja, taapi kurasa dia terlalu mencolok…

Gadis Sapi tersenyum sedih pada dirinya sendiri. Dia menjulurkan tangan mengarah lengan bajunha, namun pada akhirnya, dia membiarkan tangannya terjatuh.

“Ayo kita ke sana, oke?”

“Ya.”

Bukanlah hal yang baik untuk menghalangi jalanan. Dia berpindah ke samping beberapa langkah, dan kemudian, priamitu mengikutinya.

….Sepertinya dia… lebih tinggi dari sebelumnya, mungkin.

Sang gadis tidak pernah mengangkat matanya untuk melihat wajah pria itu di masa lalu.

Dia selalu percaya bahwa dia dapat mengalahkan pria itu dallam pertarungan, balap lari, atau apapun.

Nggak lagi.

Perasaan itu menjadi sebuah helaan yang terlepas dari bibirnya.

Seperti prediksi, pria itu memiringkam helm baja dan bertanya, “Ada apa?” namun sekali lagi sang gadis mengulangi, “Nggak apa-apa.”

Tidak ada satupun hal di dunia ini yang tidak berubah.

Dalam jangka waktu lima tahun, semuanya telah berubah.

Apa aku ini…merepotkannya.

Pria itu tidak mengatakan apapun. Tentunsaja tidak. Dan Gadis Sapi tidak memiliki keberanian untuk bertanya. Percakapan para petualang yang berada di sekitarnya semakin lantang. Dia tidak dapat menahannya.

Dia membuka mulutnya, walaupun dia tidak yakin apa yang akan dia utarakan dengan bibirnya. “H-hei, um…”

“Kamu di sini!!”

Tepat pada saat itu, sebuab suara yang terdengar seperti denting lonceng menembus ributnya keramaian. Gadis Sapi menoleh terkejut dan berputar untuk melihat sesosok figur kecil bergegas mengarah mereka.

Deru angin meniup buka tudung orang itu, menunjukkan sebuah wajah cerdas, mata berkilau—seorang wanita.

Dia mendatangi mereka seperti seekor kucing yang menerkam mangsanya…

“Oh…”

“Kamu nggak datang hari ini, jadi aku pasrah buat menemuimu. Astaga, dan aku sudah menunggumu di sana dari tadi!”

Dalam sekejap wanita itu telah melewati Gadis Sapi dan memeluk erat pria itu.

Pria itu menghiraukan tatapan terkejut dari Gadis Sapi, dan hanya berkata, “Begitu,” dan mengangguk.

“Tapi, diriku yang penuh belas kasih ini, akan memaafkanmu! Mengingat keuletanmu membuatmu sulit untuk di cari.”

“Benarkah?”

“Benar sekali!”

Sang wanita—bahkan Gadis Sapi dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang wizard—terus melanjutkan dekapan girangnya dengan pria itu, dan terus bercakap. Anehnya, gumaman di sekeliling mereka tampaknya sama sekali tidak menyadari keberadaan pembaca mantra ini. Hanya pria itu dan Gadis Sapi yang menyadari wanita ini. Gadis Sapi berkedip, merasa dunianya telah terkoyak.

“Harapan dan mimpi akan segera terwujud, tapi ada masalah! Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, bagaimana?”

“Goblin?”

“Sayangnya, sedihnya, dan gembiranya, benar sekali!”

“Begitu,” dia berkata kembali, helm itu berputar untuk memperhatikan sekelilingnya.

Gadis Sapi merinding seraya tatapan di balik helm itu tertuju kepadanya.

“Maaf, tapi aku ada quest.”

“Erm ah-q-quest?”

“Ya.”

Gadis Sapi menggigit bibirnya, mengepal kedua tangannya bersama.

Dia tidak dapat menerima ini. Bagaimana mungkin dia dapat menerimanya?

Dia tidak dapat menerima ini, namun mereka adalah pemberi quest dan petualang, atau seperti itulah yang di katakan oleh pria itu. Dan jika begitu…

“…Kalau begitu satu-satunya pilihanku cuma bisa untuk mengerti.”

“Begitu.”

Masih satu kata yang sama, masih ujung dari percakapan. Gadis Sapi tidak dapat mengatakan hal lainnya, menurunkan mata menghadap kakinya kembali.

Itulah mengapa dia tidak menyadarinya. Tidak melihat sang wizard—Arc Mage—celingak-celinguk antara pria itu dan Gadis Sapi dan mengangguk memahami.

“Aduh-aduh. Ya sudah. Kamu, pergi dan siapkan persediaan dari rumah makan.”

“Mm.” Pria itu mendengus, namun dengan cepat mengulangi, “Aku?”

“Iyalah, kamu nggak bermaksud untuk menyuruh seorang gadis membawa kargo kan,” Arc Mage berkata, dia menjentikkan jsrinya seolah sedang melakukan mantra sihir dan mengeluarkan koin emas, “Sari apel juga pastinya. Lama-lama saja memutuskan apa yang kita butuhkan—anggap saja itu perintah dari pemberi questmu.

“…Aku?”

“Ya, kamu.”

Goblin Slayer mendengus kembali, kemudian hanya berkata, “Baiklah,” dan mengambil koin itu.

Wajah Gadis Sapi mulai bersedih, seperti seorang anak kecil yang telah tidak di ajak bermain.

“Astaga,” Arc Mage berkata, dan tertawa tidak nyaman. “Jangan buat wajah seperti itu. Ini bukan seperti apa yang kamu pikirkan.”

“…Benarkah?”

“Aku janji. Tidak bakal, tidak akan pernah.” Arc Mage, tertawa dan membelai wajah Gadis Sapi. Gadis Sapi terkena napas wanita itu: gerakan ini terasa seperti sesuatu yang di lakukan seorang ibu, walaupin dia sudah tidak mengingat seperti apa sensasi itu.

Ketegangan surut dari tubuhnya dan dia merasakan kehangatan yang mulai menjalar ke dalam hatinya. Terasa begitu lembut sehingga sekali lagi dia berpikir bahwa dirinya akan mengangis, walaupun kali ini untuk alasan yang berbeda.

“Aku ini sedikit lamban,” Arc Mage berkata. “Terutama, sedikit lamban untuk menyesali berpikir lamban.”

“…Uh. Jadi, jadi kamu…” Gadis Sapi kesulitan mencari kata. “Kamu…pemberi questnya?”

“Dan seorang wizard dan mungkin sage. Sulit untuk menjelaskan seseorang dengan satu kata.”

“Uh-huh,” Gadis Sapi berkata, tidak begitu memahami.

Bahkan sama sekali tidak mengerti, arti yang di maksud. Oleh karena itu  Gadis Sapi berkata “Uh-hih” lagi dan kemudiam, “Terima kasih.”

“Berterima kasih sama aku? Setelah aku sudah begitu melukaimu? Walaupun nggak sengaja sih.” Arc Mage memberikan Gadis Sapi tatapan penuh arti dan tertawa kembali. Bahkan Gadis Sapi mengerti apa yanh wanita itu maksud dan menjadi terisupu malu. Dia menyadarinya sekarang betapa memalukan sikapnya tadi. Dia berharap ada lubang yang dapat dia masuki.



“Sudah, sudah,” Arc Mage berkata, tidak dapat menahan tawa kecil lainnya. “Aku kasih tahu kamu sebuah rahasia. Tapi bukan sebagai permohonan maaf. Cuma karena ingin saja. Ini sesuatu hal spesial kecil yang aku sendiri baru pelajari.”

“…Rahasia…” Gadis Sapi berkedip. “Maksudmu sihir?”

“Semua kata adalah sihir. Siap? Dia—”

Dia mungkin memang dangkal dan sulit untuk di ajak bicara, tapi kalau kamu berkata sesuatu kepadanya, dia akan mendengar.

Beberapa menit kemudian, pria itu kembali, dan Arc Mage membiarkan Gadis Sapi untuk pergi mendatangi pria itu. Gobli  Slayer mengangguk sekali kepada mereka berdua, kemudian hanya berkata, “Aku pergi.” Dan mulai berjalan.

Gadis Sapi melihat mereka berangkat, kemudia  pergi menuju meja resepsionis untuk menyelesaikan berkas dokumen yang telah dia lupakan.

Pastilah karena panas dari musim panas di pagi hari.

Yang hanya dapat di ingat Gadis Sapi akan wanita itu—akan Arc Mage—adalah satu percakapan itu.

Hanya sebuah satu kenangan sederhana.