PENYIHIR ELEKTRIK 
(Translator : Zerard)

“Mm… Ergh… Ooh?”
Gadis Sapi membuka matanya pada apa yang tampak seperti suara pelan dan sesnsasi sesuatu yang bergerak.
Tubuhnya masih kaku dan panas: tenggorokannya terbakar dan kepalanya terasa sakit.
Apa aku ketiduran?
Dia terbaring di meja, dan ketika dia duduk, dia meraskan sebuah selimut terjatuh ke lantai. Pamannya pastilah telah memasang selimut itu kepadanya.
Langit sudah begitu terang di luar, namun udara masih terasa dingin yang menggigit kulitnya.
Gadis Sapi menggosok kedua matanya, memperhatikan sekliling ruangan yang di terangi cahaya pudar akan sinar subuh.
“--?”
Dia tertegun ketika melihat sebuah bayangan bergerak di pojok. Dia mengeluarkan suara, namun dengan cepat menjadi santai kembali ketika dia menyadari siapa bayangan itu.
“Oh, Cuma kamu….”
“Jadi kamu bangun.” Terdapat sebuah dentingan seraya pria itu menaruh sesuatu yang tampak seperti kantung kulit di atas meja.
Sosok berarmor, terllumuri dengan noda kotor, baru terlihat di balik keremangan. Ini sangat tidak baik bagi jantung.
Gadis Sapi menghela lega, menyentuh dada dengan tangan untuk menenangkan nadinya yang terpacu.
“Hei… Gimana kalau kamu lepas benda itu pas di rumah?” Nadanya terdengar bingung dan gundah.
“Aku nggak boleh lengah,” dia menjawab—pelan, tidak lama kemudian, Gadis Sapi merasa tidak begitu memahami apa yang pria itu maksud.
“Yah, sudah.” Dia berkata,.mengesampingkan kebingungannya dan mulai berdiri. “Gimana kalau aku bikin roti--?”
“Nggak perlu,” dia berkata sebelum gadis itu dapat menyelesaikan kalimatnya. Gadis Sapi terdiam.
“Aku akan keluar sebentar lagi,” dia melanjutkan. “Berburu goblin.”
“Uh, tapi…”
Bingung kembali, Gadis Sapi tidak cukup mengetahui apa yang harus dia lakukan dengan kedua matanya. Kedua matanya menatap kesana kemari, memperhatikan dapur yang sangat dia kenali. Dan di dalamnya, sesuatu yang tampak mirip dengan seseorang.
Dia menelan liur, suaranya sedikit bergetar seraya dia bertanya. “Tapi kamu…kamu baru saja pulang, kan…?”
“Aku sedang mengurus sesuatu yang lain hari ini.” Suara pria itu begitu pelan, acuh. Gadis Sapi mencurigai bahwa memang seperti itulah cara dia berbicara kepada orang lain, tidak hanya kepadanya. Entah bagaimana, hal ini mengingatkannya terhadap hembusan angina yang bertiup melintasi lahan di dalam kegelapan malam. “Tapi sekarang, aku akan pergi kerja.”
Kemudian dia berlajan melewati gadis itu, dan menggenggam gagang pintu dengan tangan.
“Tapi—Kamarmu—Aku membersihkan kamarmu dan mencuci sepreinya…”
“Begitu.”
Hanya itulah yang dia katakana. Kemudian dia membuka pintu dan menutupnya kembali di belakangnya, dan sekarang sang gadis telah sendiri.
Gadis Sapi tidak dapat mengatakan kepadanya bahwa mungkin pria itu harus tidur, atau setidaknya makan.
Hargh. Dia menghela dan melemas di kursi kembali.
“Aku sama sekali nggak mengerti…”
Dia telah memutuskan untuk melakukan yang terbaik. Memutuskan untuk tidak mengeluh dan merengek. Jadi apa yang harus dia lakukan sekarang?
Gadis Sapi sama sekali tidak mengetahu jawaban apa dari pertanyaan itu. Dia menyandarkan dahinya pada meja, masih hangan dengan suhu tubuhnya sendiri.
Dia pergi lagi….daasar dangkal banget!
Pria itu memiliki pekerjaan yang harus di lakukan, jadi mungkin hal ini tidak dapat di hindari, namun Gadis Sapi merasa seperti pria itu telah menghabuiskan waktunya jauh lebih lama di luar rumah di bandingkan di dalam rumah.
Apakah mungkin…seperti itu?
Namun pikirann sang gadis buram, dan tidak peduli seberapapun dia mencoba, dia tidak dapat menemukan jawabannya.
Hingga lima tahun yang lalu, ayah dan ibunya selalu berada di rumah bersamanya. Dan kemudian setelah itu, pamannya selalu ada untuk dirinya. Namun bagaimana dengan seorang anak kecil yang orang tuanya merupakan pedagang keliling? Gadis Sapi menyadari bahwa orang seperti itu mungkin tidak dapat mengingat nama mereka—bahkan mungkin wajah mereka.
“Agh…” Gadis Sapi menghela kembali, panjang dan lama. Tiba-tiba dia mendengar suara decitan.
“Menghela panjang di pagi hari?”
“Paman…” Gadis Sapi berdiri tegak dan berkata “Selamat pagi” dengan suara yang terlihat menyedihkan bahkan bagi dirinya.
Pamannya, baru saja bangun, meregangkan tubuh kakunya dan bergumam sesuatu yang terdengar seperti kekesalan. “Kamu bisa demam kalau tidur di sana.”
“Aku tahu. Kamu benar, tapi…”
Dia mendapati dirinya tidak dapat mengatakan aku tadi menunggu pria itu. Alih-alih, ssecara perlahan dia berjalan.
“Sarapan… Aku akan mengurusnya. Tapi Cuma ada sup tadi malam.”
“Terima kasih.”
Sekarang adalah pamannya yang duduk di kursi ruang makan, sementara Gadis Sapi bergegas menuju dapur. Dia memasang celemek dan mengintip mengarah kompor. Kompor itu telah benar-benar menjadi dingin, hanya terdapat tumpukan abu dingin dan sebuah panci tanah liat di dalamnya.
Gadis Sapi memulai mengorek abu menjadi satu, secara hati-hati memasukannya ke dalam kendi, memastikan tidak ada yang terjatuh di atas lantai. Abu sangatlah berharga untuk membersihkan mangkuk atau cucian baju. Akan sangatlah sia-sia untuk membuangnya.
Saat bagian dalam kompor telah bersih, dia menumpuk kayu dan gemuk untuk menyalakan api. Kemudian dia menarik panci keluar dan menggunakan sepasang puputan untuk menyalakan bara api.
Dengan riang api membara, dan kompor mulai memanas.
“Oke deh.” Gadis Sapi menepuk tangan pelan untuk menghilangkan debu yang menempel seraya dia berdiri.
“…Hmm?” Sementara itu, pamannya tampak seperti menyadari adanya kantung kulit di atas meja.
Gadis Sapi menginting dari sebelah ruangan. “Oh, dia meninggalkan itu tadi.”
“Hrm, dia kembali?”
“Dan pergi lagi.”
Heh-heh. Dia tertawa malu, atau mungkin pahit. Gadis Sapi kembali bekerja, merasa tidak nyaman.
Dia meletakkan panci rebusan turun, kemudian memutuskan untuk menyate beberapa roti dan memasaknya.
“Uang kontrakan eh?” Terdengar dentingan metalik. Pamannya telah membuka kantung itu dan menemukan uang di dalamnya.
Gadis Sapi melirik ke dalam ruangan lagi. Hanya untuk melihat koin perunggu dan perak yang mengisi kantung itu, tetapi terdapat jumlah koin tersebut cukup banyak.
“Wow,” dia menghela, menyebabkan pamannya menoleh mengarah gadis itu dan ikut menghela.
“Baik sekali dia, mengingat dia jarang sekali tidur di sini.”
“Mungkin dia sibuk?” Gadis Sapi mengaduk panci. “Walaupun, aku harus akui…ini sama sekali bukan bayanganku tentang para petualang.”
“Mungkin. Aku juga nggak mempunyai banyak pengalaman dengan mereka..”
“Huh.” Hanya itulah jawaban yang Gadis Sapi berikan.
Mungkin mereka akan mendapatkan sedikit pengalaman seraya waktu berjalan. Dan kemudian suatu hari mereka mungkin akan menyadarinya.
Mereka mungkin akan menyadarinya, sebagai contoh, seperti apa kehidupan para petualang, bagaimana cara mereka untuk menolong. Hal semacam itu…
Seraya Gadis Sapi berlutut untuk memeriksa api, dia mendengar pamannya bergumam, “Atau mungkin dia mempunyai kekasih di suatu tempat.”
“------!”
Untuk alasan yang Gadis Sapi tidak dapat pahami, sekuju tubuhnya tertegun dan melompat berdiri.
Matanya bertemu dengan mata paman yang terkejut dan melirik. “Ka-kamu nggak apa-apa?”
“Aku ngg-nggak apa-apa…”
Namun kemudian, tetap saja, itu mustahil. Kepalanya terasa pusing, berputar dan berputar.
“Ke-kekasih… Pa-paman nggak bermaksud seperti itu…kan?”
Apa yang terjadi? Mengapa suaranya begitu terba-bata?
“Mungkin memang nggak.” Pamannya berkata. “Kalau seseprang sedang jatuh cinta, pastinya dia akan lebih memperhatikan penampilannya.”
“I-iya, bener banget!”
Gadis Sapi menghela lega.
“Tapi pria seumuran dia. Sekarang dia mempunyai cukup banyak uang. Aku rasa mencari pasangan di antara para pelacur bukanlah sebuah—“
“Paman ini menjijikkan!!”
Ucapan paman yang berkelanjutan telah menimbulkan sesuatu yang melonjak dari dalam hati gadis itu, wajah sang gadis tersipu merah dan meneriakan kalimatnya. Dia melempar celemek dan bergegas keluar rumah.
Pamannya menangkap  celemek itu dan di tinggal duduk di sana, memengang celemek itu dengan tangan kiri dan terlihat heran. Terkejut, dia melihat dari balik celemek itu dengan mata terbelalak.
“…”
Dia memainkan celemek itu untuk beberapa saat, tidak yakin apa yang harus dia lakukan dengan ini: kemudian dia mendengak mengarah langit-langit dan bergumam pasrah. “…Aku sama sekali nggak bisa memahaminya.”
Sama sekali tidak masuk akal. Gadis seumuran dia—ah, itu dia. Dia sedang dalam umur itu juga.
“…Aku rasa pelacur bukanlah topic terbaik untuk di ungkit.”
Tulang pria itu berbunyi sama nyaringnya dengan kursi seraya dia berdiri dan pergi ke dapur yang telah di tinggalkan keponakannya. Dia memeriksa api, kemudian rebusan yang telah di aduk gadis itu. Adalah sisa makanan dari malam sebelumnya.
“Tetap saja…”
Pria muda itu termasuk dari daftar banyak hal yang sang paman tidak dapat pahami.
Pria muda itu bukanlah seseorang yang benar-benar tidak di ketahui. Pria tua ini memiliki ingatan buram akan pernah melihatnya sewaktu dia masih seorang bocah muda.
Dan bocah it uterus hidup. Menjadi petualang. Dan keponakan pria tua ini memiliki semacam perasaan kepada bocah itu. Itu semua masih baik-baik saja.
Permasalahannya adalah…
“…’Goblin Slayer’…?”
Seseorang yang membunuh goblin. Pembasmi para goblin.
Pamannya telah menyimpulkan bahwa ini adalah apa yang banyak orang memanggil pria muda itu sekarang, hingga bahkan terkadang pria muda ini sendiri menggunakan nama itu untuk menyebut dirinya sendiri terkadang…
“Aku harap nggak ada…hal aneh yang terjadi pada gadis itu…”
Kalimat itu keluar dari mulutnya sebelum dia menyadari bahwa dirinya telah berbicara dengan sendirinya. Hal ini terdengar bagi dia seperti seorang ayah yang takut anak perempunya sedang di goda oleh beberapa pria mencurigakan, dan dia-pun mengernyit. Pikiran ini tampak tidak sopan bagi adik perempuan sang paman dan suaminya.
*****
Goblin Slayer membayar sari buah apel di rumah makan di dalam bangunan Guild, dan kemudian bergegas berjalan, arunika menyinari dirinya.
“Sudah telah hari ini.” Arc Mage telah berkata. “Datang lagi besok pagi.”
Dia menyesali karena tidak bertanya waktu untuk bertemu. Jam berapa sebenarnya “pagi”?
Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk pergi sepagi mungkin, jika dia terlalu cepat, maka dia akan menunggu di sana.
Dia telah terbantu dengan kenyataan bahwa rumah makan, yang di mana harus melayani bahkan pada dini hari para petualang bangun, sudah terbuka dan beroperasi pada jam itu. Sang koki rhea sangat merasa girang untuk menjual sari buah itu kepadanya, yang sekarang bergantung pada pinggul pria itu.
Berjalan tanpa suara, Goblin Slayer dengan segera telah tiba di pinggir sungao. Terdapat sebuah gubuk pada tempat yang sama di hari sebelumnya.
Walaupun dengan melimpahnya cahaya mentari, tempat ini terasa begitu janggal persis seperti hari kemarin. Decitan roda air masih berputar; asap masih mengepul dari dalam perapian. Hanya sebuah rumah kecil. Hampir seolah, rumah ini sendiri, telah terpotong dari sebuah gambaran yang lebih besar.
Dia memikirkan hal ini untuk beberapa saat, kemudian berjalan mengarah pintu dan memberikan beberapa ketukan keras nan acuh dengan pengetuk kuningan pintu.
Sebuah suara menyambutnya dari dalam. “Oh, terbuka kok. Masuk aja.”
Goblin Slayer membuka pintu dan memasuki rumah hanya untuk mendapati bahwa rumah ini masih remang di dalam. Dia merajut langkahnya di antara kumpulan sampah dan tumpukan buku yang menghalangi jendela.
Dan di sanalah dia: Arc Mage, bermain dengan kartunya.
“Aku sudah coba untuk nggak menumpuknya seperti itu. Kelembaban dari jendela-jendela ini sama sekali nggak bagus buat buku loh.” Ucapan wanita itu terdengar seperti sebuah alasan. Kemudian dia tertawa kecil dan memutar kursinya. “Apa aku kelihatannya seperti sedang main-main?” Sekarang menghadap Goblin Slayer, dia mengibaskan kartu-kartu dengan begitu anggun. “Sage dan pengganguran itu beda tipis banget! Tapi ini merupakan bagian dari penelitianku—aku sedang mengkompilasi risalah sihir.”
 Arc Mage menumpuk kartu itu menjadi satu kembali, menjadi satu tumpuk. “Sekarang,” Dia tersenyum, membagi kartunya. “Kamu di sini karena tentang hadiahmu. Aku tahu aku bilang pagi, tapi aku nggak menyangka kamu datang sepagi ini.”
“Apa aku perlu menunggu?” Goblin Slayer bertanya, yang di mana wanita itu menjawab. “Ahhh,” dengan gelengan kepalanya. “Waktu nggak akan pernah berhenti mengalir. Untuk terus bergerak, lebih awal adalah yang terbaik.”
Tapi—infomasi tentang goblin? Wanita itu tidak dapat menahan gelak tawanya, air mata mulai terbentu di kedua matanya. “Untuk petualang pria yang masih hijau melakukan semuanya sendiri, aku bisa jamin tujuh puluh persen dari mereka akan memilih tubuh…”
Goblin Slayer memperhatikan pundak wanita itu yang mulai bergoyang dan menunggu satu gelak tawanya lagi. Wanita itu telah mengelap air matanya dengan jari telunjuk, namun walaupun begitu, bibirnya tampak bergetar terhibur.
Arc Mage meregangkan tubuhnya, seolah ingin memamerkan dirinya, tubuh wanita itu tercetak pada pakaiannya, memperlihatkan bentuk akan tubuhnya dengan begitu jelas.
“Ngomong-ngomong, itu adalah satu hal yang aku cukup bangga sebagai wanita.”
“Begitu.”
“Sedangkan sisanya, dua puluh persen akan mengatakan benda sihir. Dan sisanya algi akan meminta pengetahuanku.”
“Begitu.”
“…Kamu ini aneh ya?”
“Begitu.”
Goblin Slayer, tidak yakin untuk mengatakan apa, hanya mengulangi hal yang sama berulang kali. Sejujurnya membahas hubungan yang terjadi antara pria dan wanita sama sekali tidak mengusiknya sekarang, namun hal ini tetap membuatnya tidak tahu harus bagaimana untuk menjawab.
Akhirnya, dia memberikan dengusan pelan dan terdiam. Dengan kata lain, dia memutuskan untuk melakukan apa yang selalu dia lakukan.
Arc Mage menopang dagung dengan tangannya, mengeluarkan helaan  seraya dia memposisikan beban tubuhnya. “Apa kamu nggak mau bertanya padaku tentang apa yang aku maksud, dengan tubuh seperti ini?”
“Kamu mau aku bertanya?”
“Oh, tanya saja.” Dia membuka lengannya lebar seolah sedang ingin memeluk.
“Hmm,” Goblin Slayer bergumam. “Apa maksudmu, berbicara tentang tubuh seperti itu?”
“Maksudku aku bisa menggunakan ilusi kepadamu agar aku dapat memiliki semua kesenangan yang aku inginkan, kemudian merajut mantra kecil akan kelupaan dan mengirim kamu kembali tanpa mengingat satupun hal yang terjadi.”
“Begitu.” Goblin Slayer menjawab, namun kemudian sebuah pikiran melintas, dan helmnya sedikit miring bertanya. “Bukannya itu penipuan?”
“Nilai bukanlah hal mutlak loh—itu relative.” Mata Arc Mage menyipit di balik kacamatanya; wanita itu terdengar seperti mengada-ada seraya dia terus berkata.
Goblin Slayer berpikir sejenak, kemudian timbul pada sebuah kesimpulan bahwa ini tidak ada gunanya.
Hal ini mengingatkannya kepada permainan teka-teki dari masternya yang dulu sering di mainkan kepada dirinya. Nilai dari teka-teki ini sendiri tidak memiliki arti, sama sekali. Yang terpenting adalah dapat menerka makna sesungguhnya dari balik kalimat itu
Aku mengerti. Itu memang relative.
“Kalau begitu,” Goblin Slayer berkata, mengetahui jawabannya sekarang, menaruh botol yang ada di pinggul ke atas meja. “apa ini mempunyai nilai? Untukmu pastinya.”
“Aku baru dapat itu beberapa kemarin, tapi mungkin saja aku kena tipu. Nggak salahnya untuk menyimpannya.”
Di atas meja wanita itu,botol baru lain yang di maksud telah setengah kosong. Akan tetapi, yang hanya pria itu dapat cium adalah aroma manis akan apel, tidak ada aroma alkohol di udara. Arc Mage tertawa kembali, tidak tampak sedikitpun mabuk.

“Goblin, goblin… Itu yang mau kamu pelajari kan?”
“Benar.”
“Aduh-aduh, kalau begitu kamu datang di waktu yang tepat.”
Arc Mage mengangkat botol sari apel itu, memberikannya sedikit ciuman, dan kemudian meletakkannya di ujung meja. Kemudian dia mengambil selembar dokumen kertas kulit domba, membersihkan debu yang terkumpul di atas ketas itu.
“Ini tadi sedikit nggak terpikir dari kepalaku,” dia berkata—walaupun dia tidak yakin pria ini mempercayainya, dan aroma akan apel tercium dari napas wanita itu—“tapi saat ini, aku menyetujui untuk membantu merevisi buku Monster Manual.”
“…” Goblin Slayer berpikir sejenak, kemudian bertanya. “Dari permintaan Guild?”
“Revisi dan ralat selalu di lakukan secara regular—ini bukan pekerjaan muda.”
Bahkan Goblin Slayer sadar bahwa ekologi monster terkadang berubah dan bergerak. Adalah tidak mustahil bagi manusia untuk merekam dan menangkap segalanya yang ada di dunia ini. Pemahaman seperti itu adalah tanda akan kesombongan—walaupun orang jarang sekali menyadari hal ini.
“Masterku yang dulu meminta bantuanku. Sepertinya mereka telah di beritahu untuk melibatkanku. Aku! Merepotkan benget.”
“Dan bagaimana kalau aku menulis apapun yang aku inginkan? Itu yang aku ingin ketahui. Eh? Apa mereka akan mengeluh padaku?!”
Pria itu mengingat rhea tua yang bergumam hal semacam itu pada dirinya sendiri seraya dia menulis di atas buku catatan.
Goblin Slayer pernah bertanya kepadanya tentang apa yang dia tulis.
“Puisi,” datanglah jawaban. Kemudian kemudian sebuah celotehan. “Apa kamu tahu cara membaca puisi, apa kamu tahu cara menulisnya?”
Ingatan itu tergiang kembali ketika Goblin Slayer mendengar ucapan masternya; dia mengenyahkan pikiran itu kembali. Menyatukan informasi yang dia miliki, Goblin Slayer menyimpulkan satu hal dan dengan cepat menyuarakannya.
“Apa goblin?”
“Tepat sekali, memang goblin.” Wanita itu memberikan anggukan yang berlebihan, kemudian mencodongkan tubuhnya mengarah Goblin Slayer. Wanita itu begitu dekat, dia dapat menyentuhkan bibirnya pada helm baja itu.
Goblin Slayer menatap dari dalam helm, menatap mata wanita itu.
“Aku ingin membedah beberapa goblin, mungkin untuk mengamati mereka di dalam habitat alaminya. Dan semua yang aku pelajari, aku akan segera membaginya dengan kamu, itu yang aku pikirkan.” Mata Arc Mage tampak berkilau dari balik kaca matanya. Bibirnya menggubah kalimat beraroma apel. “Kamu itu seseorang yang sepesialis dalam membasmi goblin kan?”
*****
Adalah quest yang benar-benar seperti biasa.
Goblin, konon telah muncul di luar sebuah desa perkebunan kecil di perbatasan. Lima tahun telah berlalu semenjak pertarungan besar itu. Adalah hal yang biasa untuk melihat beberapa gerombolan goblin.
Namun para goblin mulai menjarah lahan padi, kemudian mencuri ternak. Dan ketika para pria muda dari desa mendengar bahwa salah satu wanita muda mereka telah di serang ketika sedang bekerja, mereka menjadi marah.
Terdapat seorang pria di antara mereka yang pernah bekerja di dalam militer dan yang lainnya yang mendengar dari dari atah dan kakek mereka tentang cara bertarung. Mereka mempunya perkakas dari gudang mereka; mereka bahkan menemukan beberapa aroma usang jika mereka mencari. Dan mereka berjumlah banyak.
Lebih dari cukup untuk mengusi goblin berikutnya yang akan datang menyelinap masuk ke dalam desa.
Permasalahannya adalah setelah itu,
Para pria muda, semangat menggebu, terburu-buru melakukan penyerangan menuju sarang goblin. Namun kepala desa menghentikan itu. Sungguh tidak perlu bagi para remaja akan desanya untuk melakukan sesuatu yang berbahaya, dia berkata. Sebagai penggantinya, sewa petualang…
“Kalau begitu. kamu bilang ini hal seperti biasanya…? Secara harfiah templat?”
“Ya.” Goblin Slayer berkata. :Walaupun nggak ada gadis yang di culik… Tapi ya.”
Mereka sedang berada di dalam hutan yang gelap bahkan di siang hari, berbicara seraya mereka berjalan melintasi hutan yang tidak mempunyai jalan.
Goblin Slayer berjalan melewati semak-semak, mengikuti tanda yang telah di tinggalkan para pria muda di dalam pengejaran mereka beberapa hari sebelumnya. Arc Mage sedang memegang keliman dari jubah panjangnya, walaupun anehnya, dedaunan tampak sama sekali tidak menempel pada jubah itu.wanita ini tampak seperti sedang berjalan-jalan dengan riang, tampak lebih menjalani ini dengan mudah di bandingkan Goblin Slayer.
Aku rasa itu perbedaan dari level, bukan kemampuan. Goblin Slayer memutuskan untuk melirik kebelakang pada wizard yang bersenandung.
Sekarang setelah dia memikirkannya—apakah wanita ini memiliki level yang spesifik? Dan jika dia memilikinya, apa itu?
Dia tidak begitu mempedulikannya, oleh karena itu dia dengan sengaja telah melupakan untuk bertanya..
Alih-alih, dia mulai menyadari celotehan yang terus berlanjut dari belakangnya.
“Itu artinya gerombolan goblin memiliki hirarki mereka sendiri.”
Arc Mage tampak tidak berbicara kepada pria itu, melainkan kepada dirinya sendiri.
“Mereka baru saja menetap di sini kan? Pengelana, mencoba untuk menculik wanita. Mereka sepertinya ingin memperbesar anggotanya.” Seraya sarang semakin besar, serangan pada desa akan semakin menjadi; langkah kedua. Dia menghitung dengan jarinya. “Dan kemudian mereka akan tiba pada langkah ketiga…”
“Menghancurkan desa.”
“Ya, itu benar.” Arc Mage mengangguk seperti menyetujui instrukturnya. “Demin dan sekte jahat dan dark elf—dengan setiap Mereka Yang Tidak Berdoa, kamu akan mendapati jalan mereka berakhir di sana.” Seraya dia berkata, Arc Mage mengambil sebuah kendi alkohol dari pinggul menuju bibirnya. Dia meminum dengan nafsu, dan memberikan ahhh puas, dan menarik botol itu menjauh dari bibir dengan liur yang bergantung seperti benang silver. Dia menjilat tetesan terakhir dari bibirnya seraya dia berkata.” Baiklah kalau begitu, apa ada langkah ke empat?”
“…”
“Itu pertanyaan yang aku harapkan kamu akan tanyakan, tapi aku nggak pernah mendengar adanya satang yang cukup besar untuk mencapai level itu.”
Sebuah kerajaan goblin. Dia bersenandung ucapan itu, namun Goblin Slayer tetap diam dan berfokus untuk melewati semak-semak.
“Mereka oportunistik, iblis kecil kasar. Bahkan jika mereka mempunyai raja, aku yakin kerajaannya akan segera retak… Atau dia di bunuh.”
“Ada petualang juga.” Goblin Slayer berkata acuh. Dia berbicara dengan sama pelannya seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Kemudian dia menambahkan. “Kadang-kadang.”
“Yah, sejarah belum pernah menyaksikan adanya pemerintahan yang sempurna. Berdoa atau tidak.” Kemudian Arc Mage tertawa riang kembali.”
Tidak lama setelah itu, mereka telah tiba pada bukit kecil yang bersarang di hutan.
Tidak, itu bukanlah bukit kecil. Adalah sebuah kuburan, tertutupi dengan tanah berlapis lumut.
Sebuah gundukan makam—mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Mungkin makam ini adalah milik raja atau jendral di jaman dulu, nama tidak di ketahui, makam ini sekarang hampir tidak terlihat.
Seekor goblin berdiri di luar pintu masuk, sedang berpatroli, menguap lebar seraya dia memegang sebuah tombak dengan noda merah karat…
“Argh, makhluk kecil ini sama sekali nggak tahu nilai apa yang mereka miliki.” Arc Mage berkata, nadanya terdengar begitu ringan di banding ucapannya. Kemudian dia berkedip kepada Goblin Slayer. “Jadi gimana menurutmu?”
“Hrm.” Dia mendengus.
Dia berjongkok di balik semak-semak bersama wanita itu, mengamati keadaan. Sang goblin masih menguap.
Kesimpulan Goblin Slayer sangat sederhana.
“Kita bunuh dia.”
“Kalau kita menunggu dengan cukup lama, seseorang mungkin akan menggantikan dia, atau dia akan pergi kan?” Arc Mage melirik ke atas kanopi pepohonan, pada arah matahari. “Pokoknya, dia kelihatan capek. Mungkin mereka makhluk malam?”
“Kemungkinan.” Goblin Slayer mengingat baik-baik ucapan wanita itu seraya dia memeriksa senjatanya. Dia mengulas kembali rencana di dalam pikiranny, memastikan langkah yang akan di ambil, termasuk apa yang akan dia lakukan seandainya dia gagal. Tidak ada masalah. “Tapi kita akan tetap membunuhnya.”
“Kenapa?” Arc Mage hampir terdengar terhibur, seperti dia sedang mengerjai pria itu.
Goblin Slayer tanpa ragu menjawab, “Karena pada akhirnya, kita akan membunuh semua goblin.”
“Yah, masuk akal.”
Kalau begitu, tunjukan apa yang kamu bisa. Di saat bisikan itu terlepas dari bibir Arc Mage, Goblin Slayer sudah bergerak. Dia menstabilkan pernapasannya, kemudian meloncat keluar dari semak-semak dan melempar pisaunya.
“GOROGO?!”
Sebelum goblin dapat berteriak apapun, dia telah berteriak kesakitan dari pisau yang menancap di pundaknya. Goblin Slayer berdecak. Tadi dia berusaha untuk membidik tenggorokan makhluk itu.
Dia menarik pedang dan memboarkan momentum membawanya ke depan untuk membenamkan pedang itu masuk ke dalam leher sang monster.
“GBRROB?! GOB?!”
Sang goblin tersedak dan berbuih darah; dan meronta, makhluk itu berhasil menghajar pundak Goblin Slayer dengan batang tombaknya. Namun Goblin Slayer memberikan putaran kasar pada pedangnya, dan tubuh goblin mengejang keras dan berhenti bergerak.
“Satu.”
“Mantap.” Arc Mage berjalan mendekatinya, bertepuk tangan. Goblin Slayer berdiri di samping mayat, terengah-engah dan blepotan dengan darah. “Jadi begitu, tenggorokan akan segera membunuhnya. Mungkin mereka nggak terlalu berbeda dengan orang. Aku punya firasat mereka lebih mirip dengan rhea.”
“Aku nggak tahu.” Goblin Slayer menarik pisau dari pundak goblin dan membersihkannya dengan kain. Dia juga membersihkan darah dari pedang yang dia gunakan untuk menusuk tenggorokan makhluk itu dan memasukkannya ke dalam sarungnya. Kemudian, akhirnya, dia mengambil tombak goblin, memeriksa kualitasnya.
Ujung tombak itu terlalu berkarat untuk di gunakan, namun senjata ini akan berfungsi sebagai tiang. Dia memasukkannya ke dalam sabuk di punggungnya.
“Terkadang serangan di tenggorokan bisa gagal untuk menghabisi mereka.”
“Huh. Kadang-kadang bukan serangan kritikal. Eh? Menarik banget.” Arc Mage menggoyakkan tubuh makhluk itu dengan tongkatnya, kemudian mengintip apa yang berada di balik kain celana goblin dan tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian, dia berkata, “Baiklah kalau begitu,” dan melihat kepada pria itu dengan riang. “Kita bedahnya nanti saja—waktunya untuk menuju sarang!”
“Baik,” Goblin Slayer berkata, namun dia tidak segera bergerak. Dari belakang pelindung helmnya, dia menatap Arc Mage dengan tatapan yang sangat serius.
“Kenapa?” dia berkata dengan memiringkan kepalanya, tersenyum menggoda.
“…Mereka mungkin akan menyadari aroma seorang wanita.”
“Ooh.” Dia berkata, matanya berkilau, membuktikan bahwa dia sama sekali tidak terusik dengan kemungkinan bahwa dirinya akan menjadi sasaran. “Mereka pengendus yang bagus ya? Nggak sangka—makhluk jorok seperti itu, tinggal di dalam lubang bau seperti ini.”
“Ada beberapa waktu di mana aku yakin bahwa aku sama sekali nggak di lihat atau di dengar…” Goblin Slayer berkata, memikirkan lagi pengalaman pada pertarungan pertamanya. “…Tapi mereka tetap menyadari keberadaanku.”
“Wah, wah.” Arc Mage mengangguk, kemudian dia mengibaskan jubahnya. Di balik jubah itu adalah sebuah jaket pendek yang menunjukkan likuk garis lembut yang menjalar pada pusarnya dan sepasan celana pendek. “Tunggu sebentar.”
Dia melempar jubah miliknya mengarah Goblin Slayer, kemudian mengambil sebuah pisau kecil dengan likuk yang aneh dari pinggulnya. Dia membenamkannya ke dalam mayat goblin, membedah makhluk itu, dan menarik isi tubuh dari mayat itu.
Dia mencelupkan kedua tangannya ke dalam jeroan hitam yang muncul, melumuri dirinya dengan jeroan seolahh dia sedang mandi.
“Kebtulan aku suka jubah itu, sedangkan untuk baju ini…. Eh.” Dia berputar seperti seorang gadis desa yang sedang memamerkan pakaiannya. “Gimana menurutmu?”
“Nggak masalah.” Goblin Slayer berkata. Kemudian menambahkan. “Menurutku”
Hidung itu di rancang untuk menyaring aroma dari rekanmu dah hal lain yang kamu temui setiap hari.” Arc Mage mengambil jubahnya kembali dari pria itu, kemudian setelah membiarkan lumuran di tubuhnya menetes sebanyak mungkin, dia memakai jubahnya kembali. “Sebagai contoh, kamu nggak bisa menyadari aroma dari kulit atau metal baru kan?”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala. Kemudian dia menoleh mengarah pintu masuk makam. “Tapi goblin bisa.”
“Tepat!” Arc Mage berkata seolah maksud dari ucapannya telah di mengerti, kemudian dia memberikan tanda dengan tongkatnya dan menyeringai lebar. “Jadi ayo cepat dan masuk ke sana!”
Goblin Slayer hanya menjawab untuk mulai berjalan. Arc Mage mengikuti di belakangnya.
Dalam sekejap, tampak seperti terdapat aroma apel.
Tidak—tentunya sebuah ilusi.
Akan sangat tidak masuk akal jika sarang goblin akan beraroma lain selain goblin.
*****
Goblin Slayer mengintip di dalam kegelapan dan menghela. Dia mengambil sebuah obor dari kantung, menyalakannya dan kemudian menggenggamnya dengan tangan kiri, sisi yang sama dengan perisa yang terikat di lengannya.
“Bukannya akan lebih baik nggak menggunakan cahaya?”
“Mereka mempunyai penglihatan malam.” Dia menjawab kepada Arc Mage. “Aku nggak punya.”
Sangatlah tidak beralasan untuk membuat dirinya berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan.
“Huh,” Arc Mage berkata, tampak sangat tertarik dengan ini, dan memanyunkan bibirnya berpikir. “Mungkin ini bukan tentang pengelihatan malam. Mungkin di karenakan manusia dan goblin hidup di dalam dunia yang benar-benar berbeda.”
Dia sedang bergumam pada dirinya sendiri lagi. Goblin Slayer mendengarkan wanita itu, namun dia tidak dapat memahaminya.
“Ahh,” Arc Mage berkata ketika dia menyadari, dan tertawa. “Aku rasa apa yang penting bagimu adalah apa benar mereka bisa melihat di dalam kegelapan. Malam ataupun nggak.”
“Begitu?” Dia berusaha untuk mengingat ini. Bukan malam, tapi kegelapan. Ini akan menjadi perbedaan yang besar.
“Hei, apa goblin pernah pake jebakan?” Arc Mage bertanya, memperhatikan gambar yang tampak dari cahaya obor. “Buku monster manual sebelumnya ada sedikit menyinggung itu…”
“Terkadang mereka menggali terowongan di bagian dinding belakangku.” Goblin Slayer menjawab, memperhatikan daerah sekitar dengan hati-hati.
“Suara dari sepek goreng, huh?”
“…Apa?”
“Lanjutkan.”
“…”
Dia memikirkan seberapa besar makam ini dari tampak luar, dan dari tempat di mana dia berdiri sekarang, lebar dari jalan, ketebalan dinding. Apa goblin akan dapat menembusnya? Dia memikirkannya, namun dia masih belum dapat memberikan jawaban. Kesiagapan akan di butuhkan.
“Mereka juga menggunakan lubang dan terkadang melakukan penyergapan.”
“Hal sederhana. Aku rasa kalau kamu tinggal di lubang, kamu akan menghancurkan beberapa dinding dan lantai… Mungkin mereka dapat belajar menggunakan jebakan di reruntuhan juga, melalui pengalaman….”
“Beberapa berasumsi mereka nggak bisa melakukan hal itu…Aku selah satunya.”
“Kurasa itu tergantung dari tempat tinggal mereka. dan apakah kamu bisa mempelajari semua hal itu dari pengalaman. Tempat bersalju, gurun… geografi yang berbeda artinya jebakan yang berbeda…” Arc Mage hanyaut dalam pikirannya kembali, namun kemudian dia tertawa lebar. “Tapi bukan berarti semua itu akan masuk ke buku. Mereka menggunakan jebakan primitive. Tuh, selesai.”
Masih menyeringa, dia menujuk pada sebuah mayat akan makhluk hidup yang telah di gantung mencurigakan. Sebuah simbol, di letakkan oleh para goblin di sana sebagai bukti akan buah dari pembunuhan, makanan, dan pemerkosaan mereka.
“Kamu tahu apa yang nggak ada di buku? Aromanya. Seberapa sulitnya berjalan di sini. Klaustraphobia, kedengkian. Semua rincian kecil itu.”
Goblin Slayer memikirkan hal ini sejenak, kemudian berkata. “Aku rasa goblin bukanlah satu-satunya yang seperti itu.”
“Kamu benar—aku baru saja menjabarkan keseluruhan buku!” dia berkata dan kemudian tertawa.
Ucapan Arc Mage memiliki alur lirik dari sebuah music, dan tampak tidak akan berhenti. Hal ini membuat Goblin Slayer merasa tidak nyaman. Dia memperhatikan sekelilingnya secara terus menerus, melebarkan telinganya, mencoba untuk menangkap suara sekecil apapun.
Dia mendengar bunyi dan suara yang tampaknya milik sesuatu yang bukan dari dirinya sendiri dan para goblin, merasakan kehadiran sesuatu itu. Sesuatu sedang bergerak.
Apa aku teralihkan?
Tidak, tidak. Itu artinya terdapat satu atau dua hal yang perlu dia perhatikan.
Dia menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan aroma busuk dan lembab, kemudian secara perlahan menghelanya. Semacam cairan kotor menempel di sepatunya dan tampak akan menimbulkan suara ketika dia berjalan. Dia harus berhati-hati.
Jika di pikir kembali, tampaknya dia hampir tidak dapat mendengar suara langkah kaki wanita yang bersamanya…
“Hmmm?” Tiba-tiba, tersadarkan oleh suara terkejut dari Arc Mage, laju pikiran Goblin Slayer terhenti, dan dia bertanya.
“Kenapa?
“Lihat ini,” wanita itu berkata, menunjuk sebuah kotoran di lantai dengan tongkatnya. “Ini tahi binatang.”
Goblin Slayer berlutut, tanpa ragu mencelupkan tangannya ke dalam kotoran itu.
Dia mengingat bentuk ini. Kakak perempuannya telah mengajari dia dulu sekali, ketika dia masih kecil.
“Sepertinya ini bukan dari goblin…”
“Nggak pasti bukan, ini kemungkinan…” Wanita itu berpikir, memperhatikan jalanan makam. Goblin Slayer mengangkat obornya, walaupun sedikit terlambat.
Dinding dan lantai, namun bukan langit-langit, berkelip dalam cahaya, seolah dinding dan lantai itu terlapisi bingkai kawat.
Dan kemudian dari kejauhan datanglah sebuah gema, suara sama. Terdengar seperti…
“Serigala.” Arc Mage berkata.
Suara akan lolongan seekor binatang.
“Kamu ada mantra?” Goblin Slayer bertanya pelan.
“Jangan kamu remehkan aku,” Arc Mage menjawab. “Aku benci sekali kalau kamu sampai berpikir wizard nggak bisa melakukan apapun selain menembakkan fireball dan petir. Tapi…” Sang penyihir elektrik mulai merogoh tumpukan kartu yang dia keluarkan dari kantung dan tertawa seolah keseluruhan hal ini adalah sebuah lelucon besar baginya. “…Aku pemberi quest hari ini. Sudah menjadi tugasmu untuk melakukan sesuatu tentang ini, bukan aku.”
“Begitu…”
Cahaya itu sekarang menunjukkan dua serigala, melolong seraya mereka mendekat, mencipratkan kotoran. Tidak terdapat percabangan jalan hingga titik ini. Mereka harus berhadapan dengan makhluk itu secara langsung. Bersembunyi adalah mustahil.
Membiarkan pikiran ini terus berlanjut di ujung pikirannya, Goblin Slayer dengan cepat mengangkat obor di tangan kiri. Terdengar sebuah benturan seraya dia membenturkan serigala pertama, yang melompat mengarahnya, menghantamkan makhluk itu ke dinding.
Goblin Slayer menggunakan obor yang dia miliki sebagai pentungan, sementara menarik pedang dengan tangan lainnya.
“Hrgh…?!”
Namun sang serigala menang dalam kecepatan dan berat tubuh. Goblin Slayer menebas makhluk itu dari pundak ke dada, namun ketebalan bulunya membuat luka itu menjadi tidak mematikan, momentum dari serangan monster itu membuat Goblin Slayer terhuyung ke belakang. Pedang terjatuh dari tangan, terpantul di lantai batu, dan kotoran menciprat naik hingga mengenai helm bajanya.
Taring menganga dengan aroma akan daging terbuka lebar tepat di depan helmnya.
Kalau itu mengenai leherku, aku akan mati…!
Tanpa ragu, Goblin Slayer melepaskan obor, mengangkat perisai untuk menghalai taring.
Binatang yang telah di hajar ke dinding mulai berdiri dan mendekati juga. Tidak ada waktu.
Dia mengabaikan pikirannya untuk mengambil pedangnya kembali, sebagai gantinya, menggapai tombak yang ada di punggung.
“Terima…ini…!”
Dia menggerakan tombak itu seperti sebuah tuas, membelahnya menjadi dua, dan kemudian menggenggamnya secara terbalik, menusukkan pantat dari tombak itu masuk ke dalam mata serigala.
Sebuah raungan. Kaki makhluk itu bergerak menjauh, namun dia menangkap kaki makhluk itu, semakin membenamkan tombak itu ke dalam bola mata. Menggali hingga mencapai otak.
“…Berikutnya!”
Dia mendorong serigala yang kejang dan berbuih itu ke samping dan berdiri. Binatang lain melompat mengarahnya, liur menetes dari mulut serigala itu.
Goblin Slayer menunduk dan berguling ke depan, melewati bagian bahwa makhluk itu. Dia mengambil obor dari lantai dengan tangan kiri seraya dia melakukannya.
“Hrr—ahh…!”
Dia berputar kembali, mensukkan obor itu ke dalam perut serigala. Sang makhluk menjerit, dan terdapat aroma busuk yang membakar daging dan bulu.
Sebuah obor, tentu saja, tidak di peruntukkan sebagai senjata. Api dengan segera menjadi padam.
Akan tetapi, Goblin Slayer memasukkan secara paksa ujung dari batang obor yang masih bercahaya ke dalam mulut serigala, mengantarkan serangan terakhir walaupun dengan api yang telah padam.
“Bagus sekali. Pertarungan dengan pertimbangan yang bagus.”
“Misi sesungguhnya masih belum datang.” Menenangkan pernapasannya, Goblin Slayer mengambil pedangnya kembali. Dari dalam kantung peralatan, dia mengeluarkan obor baru, yang kemudian dia genggam di tangan kiri, sama seperti sebelumnya.
“Arma…inflammarae…offerro. Berikan percikan kepada senjata.” Tak di sangka, terdengan sebuah jentikan jari, dan kemudian lidah api.
Api yang berkelip menyinari udara dan terhubung dengan obor dan membara.
Arc Mage mengetuk lantai dari sarang goblin menjijikkan ini dengan tumit sepatunya, kemudian tersenyum. “Atas nama sihir merah. Sekarang pergi dan jaga pemberi questmu, Goblin Slayer kecilku.”
“Baik.” Goblin Slayer menjawab singkat, kemudian dia mengambil postur bertarung, bersiap untuk sebuah pasukan yang langkahnya dapat terdengar menderu di depan mereka.
Helm yang terlihat murahan, aromor kulit yang kotor, ibir dan pedang dengan kepanjangan yang aneh di tangan, perisai bundar kecil di lengan.
“Goblin—Aku akan membunuh mereka semua.”
Pertarungan di mulai.
*****
“GOROB! GOROBG!”
“GOOROGGB!!”
Petualang. Seorang petualang yang lemah. Dan seorang wanita juga. Bunuh! Perkosa!
Para goblin bergegas maju, senjata sederhana di tangan mereka, liur menjijikkan bergantung dari mulut mereka.
Goblin Slayer menghadapai mereka pada sebuah koridor sempit.
“Dua… Tiga!”
“GGB?!”
“GOROG! GBBG?!”
Menjaga Arc Mage tetap di belakangnya, dia menangkis sebuah belati berkarat dengan perisainya, kemudian membalas serangan dengan pedang. Dia menendang mayat pertama yang masih kejang-kejang menjauh, menuju jalan goblin kedua yang mendekat. Kemudian dengan gerakan yang sama, dia melempar senjatanya pada monster ketiga yang melamum.
“GBGB?!”
“Empat—lima!”
Dia menarik belati yang tertancap di perisai, membenturkannya ke tengkorak goblin ketiga, yang sedang menyingkirkan mayat dengan kekesalan yang jelas di wajahnya. Musuh ini tumbang, tangan tergantung tak bernyawa; Goblin Slayer mengayunkan pentungan dan menggunakannya pada monster ke empat yang menyerang.
“GOROGORB?!”
Termasuk dengan penjaga pertama, dengan ini semua menjadi lima.
Akan tetapi, ayunan kecil akan senjata dengan hantaman dengan perisainya, tidak akan memperlambat para goblin.
“Wow brutal banget! Aku takut bisa-bisa sampai jatuh cinta di sini.” Arc Mage yang mendekat, memperhatikan pertarungan, berkata sesuatu yang di luar dugaan, dan kemudian tertawa lantang. “Tapi, mengandalkan jumlah? Benar-benar goblin banget dan kuno—Uppsss!”
Dia terdengar seperti penonton theater yang terkejut dengan perputaran jalan cerita.
“GOROGB!”
“GBB! GROGOB!”
Goblin Slayer menjentikkan lidah. Suara goblin itu datang dari belakangnya. Jadi mereka telah berputar, dan menyergap mereka dari arah pintu masuk!
“Masuk akal. Mereka nggak bisa menggali dinding di sini, namun dengan melakukan ini, mereka mendapatkan hasil yang sama. Apa kira-kira mereka punya pintu belakang ya?”
“Berdiri di depan dinding!” dia berteriak.
“Oh, baik.” Arc Mage menjawab dan menurut berputar. Goblin Slayer berdiri di depannya.
Di tangan kanan, dia memegang pentungan, di tangan kiri, sebuah obor. Dia menjulurkan lengan, menakuti para goblin di kedua sisinya. Jika tidak ada serangan dari belakang, hal ini akan dapat membuat dia melindungi wanita itu—paling tidak selama dirinya bertahan hidup.
“Enam!”
“GOBOGOR?!”
Menahan goblin di kanan dengan pentungan, dia menghajar goblin di kiri dengan obor. Api sihir membara dan membakar kepala goblin, memanggangnya hingga hangus.
“GGOB?!”
“Suka nggak? Sudah ku bilang banyak dari kami yang bisa lebih dari sekedar melempar bola api.”
Enchant Fire.
Goblin Slayer sama sekali tidak tertarik dengan nama mantra yang dapat di rapalkan wanita itu. Menendang menjauh goblin yang mengerang kesakitan, dengan segera dia memindahkan api pada obor ke pentungannya.
Sekarang dengan dua senjata terbakar, Goblin Slayer mulai menyerang monster di sisi kiri dan kanannya.
“Tuju… Delapan! Sembilan!... Sepuluh!”
Kanan, kiri. Setiap kali dia mengayunkan salah satu senjata, kilau percikan mengiktui, mengambang di udara.
Senjata sihir tidaklah wajib untuk membunuh goblin—namun sihir api, sangatlah cukup untuk membuat mereka menghentikan serangan. Para monster tidak mengetahui apa yang harus di lakukan di hadapan api yang membara, namun mereka terus melancarkan serangan.
“GGBGOR?!”
“GOB?! GGOBOGOG?!”
Terdapat aroma akan daging goblin yang terbakar, bau dari darah mendidih, dan otak dan pecahan tengkorak yang terbang ke segala penjuru.
“Tapi, ini benar-benar sihir yang terlalu berlebihan banget untuk di gunakan di pentungan…”
Goblin Slayer mendengar gumam Arc Mage di saat yang sama ketika api pada pentungannya padam.
Dia telah membunuh lebih dari sepuluh goblin, dan gelombang para monster mulai mereda.
Goblin Slayer menghela panjang. Pundaknya naik turun, dan dia mengelap keringat dari matanya. Dia masih hidup, wanita itu masih aman.
Dia dapat melihat, namun obor dan pentungan telah mencapai batasannya; dengan acuh dia membuang kedua benda itu. Dan sebagai gantinya, dia berjalan menuju jari salah satu mayat, mengambil pedang yang paling kokoh yang tersedia.
Dia berupaya keras untuk menjaga pernapasannya seraya dia bertanya. “…Berapa banyak lagi?”
Ketahanan, tenaga fisik, bukanlah permasalahan yang dapat di selesaikan sekaligus bersamaan—namun sekarang, lebih dari apapun, dia sangat merasa bahwa dia perlu terus berlatih.
“Pertanyaan bagus,” Arc Mage menjawab riang. “Kalau mengingat ucapan penduduk desa dan jumlah dari jejak kaki yang kita lihat di pintu masuk, aku rasa kita hampir selesai.” Wanita itu duduk  pada sebongkah batu dinding yang terlepas, dan dia tertawa. “Tapi, kamu benar-benar petarung yang sesuatu banget. Aku jadi takut benar-benar jatuh cinta sama kamu.”
“Begitu.”
“Kamu ini susah di buat gembira.”
“Aku nggak mau menanggapi kamu serius kalau kamu bercanda.”
“Kalau aku nggak bisa membuat orang kege-eran dengan hanya sedikit kalimat, yah, aku nggak tahu harus gimana… Ups, mereka datang.”
Tentu saja, Goblin Slayer tidak memerlukan wanita itu untuk memberitahukannya; dia mendenganya juga. Langkah kaki, berat dank eras, bum, bum. Mereka datang mendekat melalui reruntuhan, dan mereka terdengar seperti sesuatu yang pernah pria itu dengan di hari yang lalu.
Sebuah sosok besar mengisi jalanan—namun bukan hanya itu saja. Pada kaki sosok itu bersembunyi bayang-bayang yang merayap.
“Hob, dan…”
“…Ah-ha, salah satu dari shaman itu. Jadi sarang ini sudah hampir mencapai tahapan keduanya.”
Goblin raksasa itu tampak benar-benar tolol. Goblin yang berada di kakinya menggenggam sebuah tongkat dan tampak lebih cerdas.
Dia tidak mengetahui siapa pemimpinnya di antara mereka. namun dia takin bahwa dia pada akhirnya berhadapan dengan pimpinan dari gerombolan ini.
“Kurasa itu artinya dekorasi tadi adalah totem atau semacamnya,” Arc Mage bergumam menyadari.
Goblin Slayer tidak begitu memahami. Dia sedang memperhatikan sesuatu yang lain.
Hobgoblin itu memiliki sebuah “perisai” di tangannya.
Perisai itu berbentuk sesosok manusia. Seperti boneka dengan tangan dan kaki terikat pada sudut yang janggal.
“Ah… Ee…”
Tidak ada laporanya akan adanya wanita desa yang di culik. Wanita ini pastilah seorang pengelana, atau mungkin pengembara. Sang hobgoblin mendorongkan perisainya seolah ingin memamerkan wanita itu. Wanita itu menjerit seraya buah dadanya di hantamkan ke dinding.
Sang goblin terkekeh. Ini bukanlah tentang rekan mereka yang mati; mereka sedang gembira akan keadaan menyedihkan dari perisai ini, dan para petualang yang tentunya bukanlah ancaman bagi mereka.
“…..”
“Wah, mengerikan juga,” Arc Mager berkata, seolah hal ini sama sekali tidak mengkhawatirkan baginya. “Apa kira-kira wanita itu hamil ya. Aduh… aku ingin lihat bayi itu.”
Goblin Slaye rmenghiraukan dia, dan menenangkan pernapasannya. Secara perlahan dia memutar pedang yang ada di tangannya.
Dunia bergetar. Dia menahan napas. Menatap sasarannya. Sedikit merendahkan lengannya.
Dia telah belajar sesuatu dari pertarungan sebelumnya.
Mereka nggak tahu cara menggunakan perisai.
“GOROGOBOGOR?!?!”
Sang goblin—hobgoblin—meraung lantang. Sang monster tidak memahami apa yang telah terjadi kepadanya, namun tidak di ragukan dia tidak akan percaya walaupun dia mengetahuinya. Dia tidak akan pernah percaya aka nada sebuah pedang yang menusuk masuk ke dalam pahanya, yang di mana berada tersembunyi di balik perisai…
“Hrrr—ahh!” Goblin Slayer menggapai bagian belakang dengan tangan kanan, menarik sebuah tombak patah, dan melompat ke depan.
Sang goblin shaman, mengetahui kesalahan memalukan dari hobgoblin, memukul dan mengayunkan tongkatnya.
“GOBOOGOB…!”
“Mantra datang!” Arc Mage berteriak. Tidak masalah. Pria itu mengetahuinya.
“GOROOGOB?!”
“Heeek…?!”
Sang hobgoblin memutar tawanannya di udara. Goblin Slayer menangkap wanita itu. Wanita itu sangat ringan. Hal ini tidak akan menghentikan momentumnya. Dia melompat ke depan, mengusung tombak dengan satu tangan.
“Sepuluh—dan satu!!”
“GOBOOROG?! GOBOG?!”
Dia memperpendek jarak, tidak khawatir apa yang dia tabarak selama dia dapat menghentikan mantra itu. Mulut dan lidah. Menghancurkan tenggorokan. Ujung tombak berkarat pecah seraya tertancap pada batang tenggorokan shaman. Monster itu meraung.
Goblin Slayer menendang makhluk itu yang tersedang dengan darahnya sendiri ke samping dan berputar mengarah hobgoblin.
“GORGGBBB…!”
“Dua belas…!”
Dia tidak menggenggam apapun di tangannya. Namun terdapat sebuah senjata tepat di depannya.
Berlari zig-zag, Goblin Slayer menunduk dan menendang goblin di selakangannya.
“GOOOBBGBGRBGBG?!”
Dan terdapat sebuah pedang juga tentunya.
Pedang itu tertancap dalam hingga mencapai hulu pedang; dia dapat merasakan senssasi lembek akan organ dalam tubuh.
Tapi aku tahu ini nggak akan cukup untuk membunuhmu.
“GOROGBB?!?!”
Dia merebahkan tahanan itu di lantai dan bergegas menuju hobgoblin yang meronta. Perisai pada lengan kirinya di angkat. Akan lebih mudah jika dia lebih mengasah perisai ini. Dia merasa menyesal akan hal ini.
Ujung metal itu menghantam masuk ke dalam tengkorak hobgoblin. Kemudian satu hantaman lagi. Otak menciprat.,
Beberapa kejangan mengikuti dan itu saja. Gempa akan ronta kematian membuat tubuh tebal itu menjadi kaku.
Dan itulah akhirnya.
*****

Api berdecak dan berkelip, asap mengambang bersama dnegan aroma busuk di udara. Bau di dalam reruntuhan remang ini jauh lebih buruk dari sebelumnya.
“Ini bagian perit, dan ini usus kecilnya… Tapi kurasa kamu sudah tahu itu kan?”
“Ya.”
“Ini tempat di mana makanan di cerna. Di sini kandung kemih dan testisnya. Bagian pria…kamu tahulah. Itu point utamanya.”
Arc Mage memiliki sebuah kain yang melapisi mulut dan sedang menggunakan sebuah pisau yang melengkung seperti cakar kucing untuk melakukan autopsi.
“Nggak tahu apa ini besar atau kecil.” Wanita itu terdengar seperti membuat lelucon, namun Goblin Slayer mendengarkan dengan seksama.
Terbaring di depan mereka adalah goblin, perut makhluk itu terbelah dengan begitu mengerikan dan isi perutnya terburai keluar. Makhluk ini bukanlah satu-satunya; beberapa dari mayat goblin lain juga telah di bedah seperti ini.
“Ini sudah cukup untuk membuat seorang wanita menangis.” Arc Mage tertawa, menarik organ tubuh goblin dengan jarinya. “Tapi sepertinya memang benar kalau mereka sama sekali nggak memiliki betina. Nggak ada satupun dari mereka yang ada di sini mempunyai Rahim atau telur.”
Pertarungan telah berakhir, dan matahari telah terbenam, membawa malam, yang di mana merupakan waktu bagi para goblin. Apakah dia harus membiarkan seorang wanita yang menggunakan celemek berlumur dengan darah kental goblin untuk melakukan pembedahan dengan santai seperti ini? Goblin Slayer masih memikirkan hal ini seraya mereka berdua di kelilingi oleh banyak isi tubuh.
“Kalau masih ada yang tersisa, mereka mungkin akan datang lagi.” Arc Mage berkata, namun entah mengapa, dia adalah yang menyarankan untuk berkemah di sini untuk malam ini.
Goblin Slayer masuk sulit untuk memahami pola pikir wanita ini. Apakah dia ingin bergegas dan melakukan pembedahan sebelum sisa goblin datang, ataukah rencana wanita itu adalah untuk bekerja sembari menunggu sergapan dari para goblin…?
“Pastinya kita nggak mau wanita itu di serang goblin lagi kan?” sebuah tawa. Arc Mage menunjuk kepada gadis itu, yang telah di berikan P3K, terbalut dengan selimut, dan di buat tertidur dengan sihir/
Apapun itu, hal ini membuat mereka rentan di serang seraya bergerak, mencoba untuk membawa mayat goblin dan mantan tahanan secara bersamaan. Yang hanya di lakukan Goblin Slayer hanyalah mengangguk, dan setelah itu, hanya terdapat satu tindakan yang dapat di lakukan.
“Tolong bantu aku dengan pembedahannya.” Gerakan Arc Mage sangatlah liahi dan anggun. Matanya memantulkan kelipan yang seperti kucing seraya dia melakukan operasi ini, jari pucatnya menjadi ternoda dengan noda hitam.
“Posisi dari hati dan ginjalnya nggak terlalu berbeda dari manusia,” dia berkata. “Tapi nggak tahu untuk struktur bagian dalam ras lain sih.”
“Begitu.”
“Kamu tahu seberapa langkanya kamu bisa mendapatkan kesempatan untuk membedah seorang elf atau dwarf? Dan rhea pencuri juga nggak pernah menunjukkan dirinya.” Dia menggali di antara organ goblin dengan piawai, meanrik hati. “Lancarkan serangan di sini, dan bakalan sakit banget; coba saja kamu tusuk, dan ini akan bocor ke segala arah. Bakal perlu keajaiban untuk bisa menyelamatkanmu.”
“…Dulu, para goblin terkadang dapat terus bertahan hidup walaupun aku menusuk mereka di perut.” Goblin Slayer berkata, mempertanyakan pertanyaan yang telah lama dia miliki. “Kenapa?”
“Kekerasan… Atau mungkin seharusnya aku bilang titik kena.”
Arc Mage dengan rajin menujuk bahwa dia tidak dapat yakin jika tidak melihatnya sendiri, sebelum dia memulai berbicara. Mereka belum lama saling mengenal, namun Arc Mage tampak seperti seseorang yang akan mengakui jika dia tidak memahami sesuati dan tidak akan mengumbar sesuatu yang dia tidak ketahui. Itu adalah kualitas yang di mana Goblin Slayer sangat merasa berterima kasih.  Hanya terasa lebih sedikit menyebalkan untuk mempercayai nasihat tidak benar di bandingkan merasa seperti orang bodoh.
Kalau kamu berniat untuk makan bersama keluarga jauhmu, lakukan penelitian dulu tentang mereka terlebih dahulu, masternya telah memberi tahu dirinya.
“Terkadang kamu mengenai titik vital, tapi mereka nggak mati seketika,” Arc Mage berkata. “Atau mungkin mata pedangnya terhenti di karenakan otot atau lemak dan nggak mencapai tempat yang dapat menyebabkan kematian.”
“Masuk akal.” Goblin Slayer menyentuh pedang yang bersama dengannya dengan setia (walaupun dia tidak memikirkan pedang ini seperti itu). Merupakan pedang sekali pakai, dengan panjang yang tidak biasa. Terlalu pendek untuk di gunakan di medan tempur secara benar, terlalu panjang untuk di bawa kemana-mana hanya untuk perlindungan pribadi. Ukuran yang tepat untuk membunuh goblin di dalam ruang terbatas—namun mungkin dia harus mencoba untuk menghindari menusuk goblin besar dengan ini…?
Namun menusuk jauh lebih memastikan untuk membunuh di banding menebas. Akan sangat bodoh bagi dirinya untuk menghiraukan sesuatu yang terbukti telah berhasil.
“Di mana aku harus membidik?”
“Hmm, tolong tunggu sebentar.” Arc Mage terdengar seperti seseorang yang sedang melayani pria ini di dalam restoran. Diamulai menggali di antara perut goblin kembali.
Memperhatikan wanita itu, Goblin Slayer menyadari betapa kasar dan tidak piawainya dia melakukan pembedahan sebelumnya. Kehadiran pengetahuan seorang spesialis dan teknik  tampak begitu nyata di dalam detil-detil kecil. Goblin Slayer terpaku menatap wanita itu dan mendenagrkan dengan seksama agar tidak ada satupun gerakan berpengalaman atau ucapan yang dapat luput darinya.
“…Oke, ada beberapa nadi utama di paha, di bawah ketiak, dan di leher. Sistem pernapasannya kurang lebih sama dengan orang juga. Itu sasaranmu.”
“Leher… Tenggorokan?” Goblin Slayer mengangguk dan memikirkan hal ini. Hancurkan tenggorokan. Hal ini telah berhasil sebelumnya. Hal ini sangatlah jelas. Namun dia juga mengingat akan bagaimana pisau yang telah dia lempar pada penjaga telah meleset. Adalah jelas apa yang harus dia lakukan.
“Aku perlu berlatih.”
“Heh-heh.”
Arc Mage memberikan tatapan melotot, kemudian berjalan menuju kegelapan reruntuhan. Tatapan wanita itu menyuruhnya untuk mengikutinya telah menggiring Goblin Slayer pada sebuah tumpukan sampah. Mungkin ini di gunakan sebagai persembahan atau semacamnya; di antaranya terdapat banyak senjata yang di makan karat yang tampak akan hancur jika di gunakan untuk menusuk apapun. tetapi, di antara senjata itu, adalah sesuatu seperti kulit di jahit tambal, sesuatu yang di temukan jauh di dalam sebuah sarang.
“Pelana,” Arc Mage menghela. “Siapa yang bisa sangka?”
Goblin Slayer mendengar kalimat itu tanpa ekspresi.
Goblin rider.
Goblin yang menyimpan serigala sebagai tunggangan.
“…Apa ini juga, dari pertarungan lima tahun lalu?”
“Nggak ada yang tahu apakah mereka melihat ras lain melakukannya, atau seseorang mengajarkan ini pada mereka. tapi terkadang, goblin belajar cara menunggang.” Arc Mage menarik kain menjauh dari mulutnya, secara hati-hati mengelap kedua tangan dan membersihkannya dengan alkohol. Kemudian dia menopang kedua siku pada lutunya dan dagu pada tangan dan menyipitkan mata seraya dia melihat Goblin Slayer. “Semua makhluk hidup beradaptasi pada  lingkungan tempat mereka hidup.”
Tatapannya yang tampak terlihat janggal, seolah dia sedang memperhatikan seekor serangga. Dia tampak begitu tertarik dan juga tidak tertarik di saat yang sama dengan apa yang akan terjadi pada subyek pengamatannya…
“Kamu tahu nggak? Manusia yang hidup di tempat dingin memiliki tubuh yang lebih besar. Seperti barbarian di utara.”
“…Aku pernah dengar ceritanya.” Goblin Slayer mengingat masa dongeng tidur yang di kisahkan oleh kakak perempuannya.
Barbarian di utara. Pria gagah berani. Seorang prajurit dan bajak laut. Memiliki banyak petualang, semua harta yang dia jarah dan tahta yang dia gulingkan. Dengan hanya pedang di tangan, dia bangkit dari perbudakan hingga tentara bayaran, hingga jendral, dan akhirnya menjadi raja, seorang pria besar dalam kisah besar.
Bagi Goblin Slayer, kisah ini adalah sejarah, mitos,legenda dan juga dongeng tidur. Hal ini sama sekali tidak berarti apapun baginya walaupun cerita ini benar terjadi atau tidak.
Baginya, kisah kepahlawanan ini adalah benar.
“Mereka adalah yang memperkenalkan baja.”
“Tepat sekali.” Arc Mage mengangguk, melepaskan apron dengan gerakan santai dan membiarkannya terjatuh di lantai. Dia duduk di samping api unggun, menepuk lantai di sebelahnya, mengundang pria itu untuk duduk bersamanya.
“Kamu tahu?” Goblin Slayer berkata pelan, seolah dia tidak dapat mempercayai apa yang dia dengar.
“Kegelapan gulita dan Negara malam. Dari cara dia mengutuk orang yang mengejeknya di karenakan kejantanan sederhananya, tidak pernah mengetahui kemuliaan dia yang sesungguhnya.”
Ya, benar. Goblin Slayer mengangguk. Dan kemudian setelah berpikir sejenak, dia duduk di samping tahanan yang masih tertidur, di seberang Arc Mage.
Arc Mage memperhatikan pria itu. “Bagu-bagus aja sih.” Doa berkata dengan senyum tipis dan kemudian dia menatap pada api. “Tapia da sesuatu yang masterku pernah katakana ke aku… Sesuatu tentang ucapan para lizardmen. Dulu, dulu sekali, ada jaman akan dingin membeku luar biasa.”
Itu legendanya. Arc Masge tidak benar-benar mengucapkan kalimat itu, hanya membentuknya dengan bibirnya.
“Dan mereka mengatakan kalau goblin sudah ada sejak jaman itu—jadi hobgoblin ini, mungkin adalah makhluk yang kembali ke asal muasal mereka.”
Goblin Slayer menoleh pada mayat yang terbaring di kejauhan. Adalah goblin besar yang dia bantai dengan jerih payah—hobgoblin. Makhluk ini hampir tidak tampak seperti goblin, dan dia berpikir sejenak kembali, tetapi…
“Jadi maksudmu otot mereka sangat besar hanya karena perubahan dalam bentuk tubuh mereka…?”
“Mungkin saja. Ini bisa juga berarti leluhur para goblin berkelana bebas di keseluruhan lahan, di bandingkan tinggal dalam gua.” Arc Mage menggiring botol sari apel ke bibir, dan meneguknya. “Goblin melakukan penyerangan ke desa kalau mereka sudah cukup kuat…kan.?”
“…” Goblin Slayer mendengus pelan, kemudian mengangguk. “Terkadang.”
“Itu bisa berarti keadaan nutrisi mereka mempunyai peranan dampak. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi, kalau mereka mempunyai makanan enak biasa?”
Goblin Slayer terdiam. Dia tidak dapat membayangkannya.
Goblin jorok makan seperti manusia, menjalani hidup seperti manusia. Merupakan pemiikiran yang mengerikan.
Bagkan di wilayah yang di kendalikan oleh kekuatan Kekacauan, goblin hanyalah prajurit terendah. Kenyataan itu tidak akan berubah hingga goblin menggulingkan setiap dari mereka yang dapat berbahasa di empat sudut dunia.
Goblin tidak membuat apapun untuk diri mereka sendiri—mereka menjarah dan mencuri segalanya.
“Oh iya, apa kamu tahu tentang penelitian tentang tubuh ikan yang bergerombol dan yang sendiri ?” Arc Mage tidak pernah berbicara, Goblin Slayer di paksa untuk berpikir tentang hal berikutnya.
“Aku nggak tahu.” Dia menjawab pada pertanyaa tidak di sangka itu dengan acuh. Tidak ada alasan untuk bingung. Adalah lebih baik di bandingkan harus di lempari batu di saat kamu mencoba menjawab sebuah teka-teki. “Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku nggak menyalahkanmu sih.” Arc Mage mengangguk dan melanjutkan. “Aku dengan dari masterku. Mereka bilang kalau kamu membandingkan ikan yang bergerombol dengan ikan yang hidup sendiri, ikan yang hidup sendiri itu jadi lebih besar.”
“…Itu terdengar seperti hal yang wajar bagiku.”
“Kesarjanaan itu tentang meneliti ‘wajar’. Kalau nggak, kamu nggak akan bisa melampaui kewajaran itu.” Arc Mage terdengar gembira atas dirinya sendiri. Dia membusungkan dada ranumnya dan tersenyum. “Dalam gerombolan besar, pertumbuhan jadi terhambat, dan air menjadi terpolusi dengan tahi. Ikan menjadi kesal dan siap untuk bersiap kanibalisme…”
“…”
“Sederhananya, mereka menjadi goblin. Ngerti maksudku?”
Goblin Slayer, masih tidak berbicara, memperhatikan kayu seraya berdecak di atas api. Dia dapat merasakan senyum Arc Mage kepadanya, seolah wanita itu dapat melihat melewati helm dia.
Tapi memangnya kenapa? Goblin Slayer berkata, “Cara kamu berbicara kedengaran aneh bagiku.”
“Sudah ku bilang, masterku itu seorang lizardman. Dan aku adalah muridnya. Murid paling bandel, dengan kata lain.” Arc Mage mengintip dalam api melewati botolnya, kemudian menjilat beberapa tetes dari ujung botol. “Tapi lizardmen membenci meninggalkan catatan tertulis. Jadi aku harus mengingat semuanya.”
Rhea menulis apapun yang mereka suka, dwarf nggak suka pembicaraan yang merepotkan, dan para elf hanya menganggap ‘itu sudah sewajarnya’
“Wizard abadi hanya menulis beberapa catatan—otak mereka membusuk sirna.”
dia meneruskanm tersenyum dan berbicara yang tampak seperti omong kosong, namun pria itu hanya menyela  dengan “Begitu.” biasanya.
“Kamu tahu, naga, mereka dapat mengingat segalanya tanpa harus menuliskannya. Dan mereka nggak pernah mati, jadi mereka nggak pernah lupa.”
Goblin Slayer mengacak api dengan batang kayu terdekat dan menjawab. “Begitu.”
“Pastinya dong.” Arc Mage berkata, tertawa kecil di dalam tenggorokan. “Naga suka menimbun. Pengetahuan itu sendiri adalah harta karun bagi mereka. mereka nggak akan membaginya dengan orang lain tanpa harga.” Arc Mage mulai bergumam pada dirinya sendiri. Beberapa percikan terbang, menambahkan decakannya ke dalam percakapan.
Pengetahuan adalah harta.
Lihat, perhatikan sang sage yang berada di dalam gua ini. Perhatikan seberapa banyak pengetahuan yang menuntut wizard sage ini hanya untuk satu halaman buku.
“Tapi di saat yang sama, kalau kamu membunuh mereka, pengetahuannya menghilang. Pencuri paling lihai di dunia, nggak mungkin bisa masuk ke dalam kepala seorang naga.”
Goblin Slayer tiba-tiba mendapati dirinya memikirkan masternya sendiri, sang rhea tua.
“Kenapa aku harus repot-repot mengajari bocah cecunguk yang nantinya akan di bunuh oleh goblin?!”
Dengan itu masternya berteriak, dan kemudian memukuli dia dengan kasar tentang kepala dia yang tidak berguna.
Dia tidak memiliki harta untuk di berikan pada orang bodoh yang tidak belajar, seseorang yang tolol yang hanya memiliki kepercayaan diri sederhana bahwa dia akan berhasil menang.
Mungkin, Goblin Slayer berpikir, master Arc Mage, sang lizardman, adalah seorang naga. Namun keteratrikannya hanya sampai di situ; tidak pernah terlintas baginya untuk bertanya lebih lanjut.
“Tapi kalau kamu bisa membuat naga membagi pengetahuannya denganmu…” Pipinya menjadi sedikit merah, namun Goblin Slayer tidak dapat mengetahui apakah itu dari sari apel atau hanya kilauan api. Tetapi tatapan wanita itu tampak lembut, seolah berpangku pada helm pria itu. “…Kalau kamu mempunyai kesempatan itu, dan kamu memberitahunya kamu ingin mengetahui tentang goblin? Itu akan membuatmu menjadi pria yang aneh memang.”
“Begitu.” Goblin Slayer berkata. Percakapan ini terdiam kembali.
Api berdecak seraya ranting kayu patah. Goblin Slayer mendengarkan dengan seksama, namun dia tidak mengengar adanya langkah goblin. Yang hanya dia dengar hanyalah napasnya sendiri dan hela-hembus napas rekannya. Bahkan pernapasan sang wanita yang tertidur.
Satu-satunya yang dia rasakan hanyalah aroma manis akan apel yang tercampur dengan bau jorok akan darah da nisi tubuh.
Pada akhirnya, Arc Mage memecahkan keheningan. “Pokoknya, aku rasa yang perlu di pelajari itu adalah biologi, tingkah laku, asal muasal, subspecies, habitat, pengetahuan, kecerdasaan, dan budaya, kurasa itu cukup.” Dia terdengar begitu riang. “Dan aku juga ingin belajar hal lain selain yang ku pelajari. Seperti…bahasa, anggap aja, bahasa goblin…”
“Apa ada yang seperti itu?” adalah pertanyaan yang menyindir, yang wanita itu suarakan beberapa kali dalam beberapa hari terakhir.
“Ada.” Goblin Slayer berkata datar. Tidak ada keraguan di dalam pikirannya.
“Kamu yakin soal itu? Itu mungkin Cuma teriakan kebinatangan. Aku tahu suara gob-gob seperti mereka sedang berbicara, tapi kamu nggak pernah tahu.”
Namun Goblin Slayer tidak perlu mendengar mereka untuk mengetahuinya. Dia telah mengetahui itu selama lima tahun sekarang.
“Aku melihat mereka menunjuk para tahanan, tertawa dan mengejek mereka.”
“Jadi budaya goblin juga termasuk humor, maksudmu begitu?” Arc Mage mengangguk riang, sekali lagi mengemban nada akan seorang professor yang memuji muridnya.
Goblin Slayer, tidak dapat memahami dengan benar apa yang wanita itu maksud, kembali terdiam.
Melalui pelindung helmnya, dia dapat melihat Arc Mage tampak tidak cemas; wanita itu terus berbicara.” Aw, kenapa? Itu penemuan baru! Salah satu hasil jerih payah tentang pengetahuan goblin yang kamu cari.”
“…Begitu?”
“Uh-huh. Penelitian—tentang apapun, bukan Cuma monster—adalah akumulasi lambat dari hasil eksperimen.”
 Dracomicon,  Demonicon, atau, dari sudut pandang berbeda, Sebuah panduan menuju Skaven.
“Aku nggak tertarik,” Goblin Slayer berkata, sekali lagi tanpa ragu.
Kenapa? Arc Mage hampir tidak menyuarakan kalimatnya. “Mencari tahu di mana goblin datang bisa memberi tahumu cara yang lebih baik untuk menghadapi mereka.”
Dengan tenang Goblin Slayer memberikan jawaban yang telah dia temukan bertahun-tahun lalu kepada wanita itu. “Karena di saat aku melakukan itu, goblin akan menghancurkan desa.”
“—“
Adalah giliran Arc Mage yang terdiam. Bagi Goblin Slayer, hal ini tampak seperti wanita itu terbengong. Namun jawaban dirinya sudah terjangkar. Jawaban itu telah bersamanya selama lima tahun—tidak, benar, jauh lebih lama dari itu.
“Dan juga,” Goblin Slayer melanjutkan. “Aku sudah tahu di mana goblin berasal. Bulan hijau.”
Dia tidak meneruskan. Kakak perempuannya telah memberitahu ini kepada dirinya. Dan kakak perempuannya tidak pernah salah dalam hal apapun.
“Dia. Kakakku yang mengajariku.”
“…” Arc Mage tidak mempunyai jawaban langsung. Dia meminum apelnya, mengelap bibirnya, dan kemudian menatap ke bawah, jauh dari api unggun. “Planewalking, maksudmu begitu?” (TL Note : Planewalking = seseorang yang dapat menyebarangi berbagai macam dunia.)
Adalah kata yang misterius. Kata para wizard selalu begitu misterius.
Dan Arc Mage terlihat begitu tegang—senyum yang tersirat pada wajahnya entah mengapa tampak di paksa.
“Itu cuam cerita buatan, dongeng untuk menakuti anak kecil. Dan untuk tawaan orang dewasa…kan?”
“Aku nggak pernah menganggapnya lucu.”
“…”
Itu adlah percakapan terakhir mereka hingga senja menyingsing. Arc Mage tidak mengutarakan satu kata lagi, begitu juga Goblin Slayer tidak berbicara kepadanya.
Pada akhirnya, arunika awal mentari menerangi di antara bebatuan. Goblin Slayer berdiri.
Tidak terdpat goblin lagi di  sini. Dia telah membunuh mereka semua. Satu-satunya yang tersisa untuk di lakukan adalah kembali ke desa, mengembalikan gadis ini kepada mereka, dan pergi pulang.
Dia mulai berjalan, sang gadis pada punggungnya, dan Arc Mage mengikuti tanpa suara di belakang dia. Mereka meninggalkan reruntuhan ini untuk mendapati cahaya matahari yang menembus di antara celah kanopi hutan, menyengat mata mereka seperti jarum. Goblin Slayer menyipit di balik helmnya dan mulai berlajan perlahan melewati hutan.
“Kegelapan tanpa akhir.” Tiga ucapan pendek datang secara tiba-tiba dari belakangnya, dari Arc Mage. “Melewati ujung meja ini, melampaui kehampaan, di sisi lain keabadian yang jauh, pencarian tanpa henti.”
Tak satupun ucapan yang di utarakan Arc Mage masuk akal bagi Goblin Slayer. Wanita itu terdengar sedih, hampir seperti kesepian, namun Goblin Slayer tidak merasa adanya rasa tertarik spesial tentang ini juga.
“Yah, untuk berkelana, memang harus mempunyai rekan jalan…. Tapi aku rasa kita semua nggak akan pergi ke tempat yang sama.”
Goblin Slayer tidak tertarik, dan oleh karena itu dia tidak akan berupaya untuk mengingat percakapan ini secara lebih di banding percakapan lainnya.