JANTUNG KEGELAPAN
(Translator : Zerard)

“Ihh... Ba-bau lumut...” High Elf Archer mengeluh. Sarang ini bercampur dengan aroma dari reruntuhan tua dengan bau busuk tipikal habitat goblin.
“Ya-yah, ini memang bangunan tua... Ini, aku nyalakan api.” Priestess berkata. “Hup!” dia mendengus imut, seraya dia menggosok batu api dan menyalakan obor.
Mereka berada tepat di tengah tugu pencegah api yang telah di pasang para elf di bangunan ini, oleh karena itu cahaya dari api ini sangatlah terbatas dan lemah. Namun tetap saja, sangatlah cukup bagi keseluruhan party untuk dapat melihat. Priestess memperhatikan wajah rekan-rekannya dan kemudian menghela napas lega.
Jalan setapak di sisi lain dari gerbang sangatlah klaustraphobik. Jalan tersebut tidaklah begitu kecil sehingga harus memaksa mereka untuk merayap, namun mereka tidak dapat menyebar dan mempertahankan barisan tempur juga. Jalan itu mungkin berukuran tepat untuk para goblin, namun untuk yang lainnya...
“Ugh, aku nggak suka ini!” High Elf Archer berkata. “Jebakan pasak bisa menghabisi kita semua sekaligus.”
“Saya justru lebih mencemaskan kemampuan saya untuk dapat melanjutkan ke depan,” Lizard Priest menambahkan.
“Yeah, soalnya kemungkinan si dwarf bakalan nyangkut!”
Dwarf Shaman terlihat marah namun dengan bijak dia memilih diam.
“Ayo,” Goblin Slayer berkata acuh, dan party mereka berbaris dan mulai berjalan.
High Elf Archer berada di depan, Goblin Slayer tepat di belakangnya, di ikuti dengan Lizard Priest: mereka adalah barisan depan. Di belakang adalah Priestess, dengan gugup meremas tongkatnya, dan Dwarf Shaman, berada di ekor formasi.
Jalan yang sangat membatasi ini berlanjut semakin dalam dan ke dalam, berbelok kecil ke kiri dan kanan. Getaran gema yang mereka dengar tentunya berasal dari air bendungan.
Aku benci terowongan sempit seperti ini, pikir Priestess. Jika goblin datang dari depan, mereka tidak dapat melarikan diri. Jika mereka datang  dari belakang, maka mereka akan terjebak.
Udara pengap. Rasa suram yang mencekam. Aroma yang sangat Priestess kenali dari suatu trmpat, suatu waktu. Priestess bergegas melihat sekelilingnya, merasa bahwa jika dia tidak memperhatikan dengan seksama, maka dia akan tersesat.
“Paling nggak kita nggak perlu mengkhawatirkan langkah kaki kita,” High Elf Archer berkata santai. Mungkin karena ucapan itulah yang membuat Priestess mengjela lega. Udara di dalam terowongan tiba-tiba menjadi lebih ringan.
“Dan sepertinya kita nggak perlu mengkhawatirkan mereka menghancurkan dinding di belakang kita.” Dwarf Shaman berkata.
“Kalau nggak ada pintu tersembunyi,” Goblin Slayer berkata.
“ Dan jika mereka tidak menemukan mayat di luar,” Lizard Priest menambahkan,
“Ayo terus jalan,” Priestess berkata dengan suara bergetar, menelan liurnya. “Dengan hati-hati.”
“Ya. Terutama dengan... Apa namanya...?”
“Mokele Mubenbe,” High Elf Archer berjata seraya dia menghitung langkah selanjutnya. “Kan?”
“Ya, itu,” Goblin Slayer melanjutkan, mengangguk. “Sesuatu telah berhasil menaruh pelana di atas makhluk itu. Kita nggak boleh lengah.”
Lizard Priest meremas Swordclaw miliknya dengan lebih erat, memperhatikan sekelilingnya. “Apa anda berpikir itu adalah salah satu dari para iblis kecil?”
“Apa ada seseorang yang mempercayakan naga kepada goblin, selain goblin?”
Dwarf Shaman menelusuri dinding dengan tangan seraya berjalan. “ Aku kenal orang filisitin, tapi goblin lebih rendah dari mereka.” Dia berkata dengan gelengan kepala lelah. “Coba lihat ini. Ada lukisan di sini, dan mereka—“
Ilustrasi yang mungkin menggambarkan sejarah reruntuhan, atau mungkin adalah peringatan bagi para penyusup. Apapun gambar itu sebelumnya, gambar itu sekarang telah di nodai dan di hancurkan oleh para goblin. Ini membuktikan bahwa perusakan bukanlah tindakan penistaan bagi para goblin. Jika mereka memang benar pelayan akan Kekacauan yang mencoba untuk menodai peninggalan Ketertiban, maka mereka akan melakukan pekerjaannya dengan lebih terperinci.
Namun apa yang di sini  adalah, pemandangan yang retak, di cat di sana dini, hancur di beberapa tempat, dan di biarkan begitu saja di tempat lain...
“...Seperti anak kecil yang bosan dengan mainan,” Priestess berbisik, merinding. Dan sudah seharusnya : Adalah tindakan penghancuran hasil pekerjaan seseorang, hanya untuk bersenang-senang. Priestess sangat memahami akan bagaimana tindakan seperti itu terlihat jika beralih ke makhluk hidup.
“...”
Mungkin adalah rasa cemas dan gugup yang membuat tangan kanannyz yang bergetar menjadi kaku di tongkatnya, sementara tangan kirinya mengatur ulang genggaman pada obornya. Dia mengucap nama Ibunda Bumi dalam napasnya.
Mungkin karena itulah dia yang menyadarinya terlebih dahulu ketika hembusan angin bertiup di reruntuhan, bercampur dengan suara air.
“Ada suara...?” Tiba-tiba dia berkata, dan berhenti.
“Ada apa?” Goblin Slayer bertanya ketika dia menyadarinya. Hal itu membuat Priestess merasa sedikit lega. Adalah sebuah pengingat bahwa Goblin Slayer menjaga Priestess. Menjaga mereka semua yang berada di sini.
Priestess menyadari bahwa dia secara tidak sadar membandingkan partynya dan mereka. Dia menunduk malu.
“Tadi... Ada suara...”
“Kamu dengar suara?”
“Kayaknya, dari depan...”
Goblin Slayer membalas dengan dengusan. “Hmm. Bagaimana menurutmu?”
“Sebentar, dari tadi aku ngamatin lantai ini...” High Elf Archer mendengak, telinganya sekarang berditi tegak, mencoba mencari suara.
Fwip, fwip. Telinganya mengepak.
“...Yeah, aku mendengarnya juga. Suara seseorang. Aku nggak tahu apa dia pria atau wanita.”
“Jadi ada sesuatu yang hidup di sini selain goblin.” Dwarf Shaman berkata, mengernyit terkejut. “Kurasa kita harus merasa senang, tapi ini bakal menambah beban kita untuk menyelamatkan mereka.”
“Belum ada kepastian bahwa mereka adalah tahanan.” Lizard Priest menambahkan, memutar mata dan menyentuh ujung hidung dengan lidahnya.
“Tapi, kalau benar ada tahanan di bawah sini...” Priestess mengangkat obor setinggi yang dia bisa, seolah ingin mengusir rasa takut dan ketidakpastian. “Maka kita...kita harus menyelamatkan mereka...!”
“Ya,” Goblin Slayer berkata tanpa ragu. Dia memeriksa ulang perisai pada lengan kiri, dan kemudian beralih ke pergelangan tangan kanan, dan mengatur ulang genggaman pedangnya. “Ini nggak merubah apa yang harus kita lakukan. Ayo.”
Tidak lama kemudian, party mereka tiba pada sebuah tangga berputar yang memanjang dari dasar hingga puncak reruntuhan. Terowongan tak terhitung mengitarinya.
Suara yang bergema dapat terdengar dari bawah, jauh di bawah, seolah itu adalah suara dari lubuk neraka.
*****
“....Baunya memang seperti sarang goblin.”
Party mereka memutuskan untuk menuruni tangga, mengikuti arahan dari indra High Elf Archer.
Tangga ini memeluk dinding batu, berputar menurun. Anak tangganya begitu sempit, dan tidak terdapat gagang untuk berpegangan. Masing-masing dari mereka meletakkan tangan pada dinding dan bergerak dengan perlahan, sangat perlahan.
“Terlihat seperti sarang semut bukan.” Lizard Priest berkata, memperhatikan banyaknya terowongan yang mengarah ke bagian lebih dalam dari benteng ini.
“Mm, mereka membuat menara yang cukup bagus ya?” Dwarf Shaman menjawab.
Bendungan dan tepian sungai telah berdiri bertahan melalui banyaknya gempuran pertarungan selama paling tidak beribu-ribu tahun. Tidak lama lagi para mereka tentunya akan mencoba untuk menghancurkannya hanya dengan lima petualang. Tidak ada yang bisa menyalahkan perasaan tegang yang mereka rasakan. (TL Note : saya agak kurang paham “mereka” di sini apakah para goblin atau para petualang, “mereka akan mencoba menghsncurkannya hanya dengan lima petualang”)
“Eep!” Priestess memejamkan matanya dan menempelkan tubuhnya ke dinding seraya hembusan angin bertiup di dalam atrium ini. Kekuatan dari angin itu tidak cukup kuat, namun angin itu membawa aroma busuk yang mengisyaratkan hal-hal keji di depan mereka.
“Munh-mungkin kita harus mengikat tali pengaman di diri kita agar—“
“Nggak,” Goblin Slayer berkata, dengan acuh menolak ide Priestess. “Kita sedang berjejer satu barisan. Kita nggak tahu apakah goblin akan datang dari depan atau belakang.”
“Benar, akan sangat berbahaya untuk lebih membatasi pergerakan kita saat ini,” Lizard Priest, yang berdiri di belakang formasi, memutar mata di kepala dan menepuk lantai dengan ekornya. “Namun jangan resah, jika anda terjatuh, maka peganglah ekor saya dan terus maju.”
“Kalau bisa jangan sampai jatuh, tapi... Iya, aku akan berusah sebaik mungkin.” Priestess mengangguk, memastikan dia memegang tongkat dan obor dengan erat agar tidak menjatuhkannya.
Pada saat itu, telinga High Elf Archer berkedut.
“Goblin?”
“Memangnya apa lagi?” keseluruhan party berhenti di belakangnya dan mempersiapkan senjata mereka. “Kita ada cahaya. Mereka akan menyadari keberadaan kita saat kita mendekat.”
“Kita nggak bisa  membiarkan mereka melarikan diri hidup-hidup.”
“Pak Goblin Slayer, apa yang harus kita lakukan?”
“Mau ada tahanan di bawah sana atau nggak, kita harus mencapai dasar dari tangga ini,” Goblin Slayer berkata datar. “Dan kemudian, kita harus kembali lagi ke atas.”
“Kamu tahu apa yang mereka bilang soal labirin,” Dwarf Shaman menyela, berucap dengan nada nyanyian: “Masuk ke dalam mudah di lakukan, tetapi keluar tidak pernah menyenangkan.”
“Mm.” Lizard Priest mengangguk.
“Kita nggak akan bisa menghindari pertarungan,” Priestess berkata, “Dan kalau kita ketahuan—“
maka apa yang akan terjadi?
Darah terkuras dari pipinya, dan tiba-tiba dia merasakan kakinya menjadi goyah.
Baju di sobek. Jeritan Fighter. Suara teriakan-teriakan. Pemandangan mengerikan elf yang tertangkap. Para wanita yang di sate.
Semua kenangan ini melintas di pikirannya, mempercepat pernapasannya. Giginya mulai bergetar.
Priestess berusaha untuk menjaga napasnya tenang dan stabil. Dia memaksa kakinya, yang bersiap untuk melemas, agar dapat kembali berdiri tegak lagi.
“...Aku akan coba menggunakan Silence lagi.”
Dia akan menggunaka  keajaiban berharga lainnya. Goblin Slayer dengan cepat membuat kalkulasi dalam pikirannya.
“Kalau semuanya lancar, kita mungkin bisa beristirahat saat sampai di dasar.” Dwarf Shaman berkata seraya menggapai tas katalisnya, menengok ke bawah tangga yang tampak tak pernah ada habisnya dengan hati-hati. “Tempat ini terlalu besar untuk di patroli di semua tempat secara sekaligus, bbahkan bagi goblin.”
“Ada berapa banyak menurut anda yang sedang kita hadapi tuanku Goblin Slayer, berdasarkan dengan apa yang sudah mereka curi?”
“Mereka bahkan punya serigala,” Goblin Slayer membalas. “Nggak di ragukan lagi kalau mereka beroperasi dengan jumlah besar.”
“Tetap saja, pastinya mereka nggak punya cukup goblin untuk menjaga jeseluruhan benteng ini.”
“Kemungkinannya begitu.”
“Yah kalau begitu sudah di putuskan.” High Elf Afcher tersenyum riang, menggapai tangan untuk menepuk pundak Priestess. “Giliranmu!”
“Baik!” Priestess mengangguk dan menggigit bibirnya. Dia sangat mengetahui apa yang akan terjadi bila mereka tidak melakukan ini. Dia menggelengkan kepala, mengenyahkan ingatan yang terbang seperti rambutnya. Kemudian dia menarik napas dalam.
Dia memegang tongkat dengan kedua tangan, menghubungkan jiwanya dengan Ibunda Bumi yang bersemayam di surga.
“Bagaimana dengan mayatnya?” Lizard Priest bertanya.
“Jatuhkan,” Goblin Slayer membalas cepat dan acuh. “Goblin yang jatuh dari tangga ini bukanlah hal yang aneh.”
“Baiklah!” Priestess mengusunb tongkatnya, menikmati hangatnya obor seraya dia mempersempahkan doanya. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah kami kedamaian dalam menerima semua hal.”
Kemudian semua suara menjadi sirna.
Para goblin yang muncul dari dalam koridor, terbelalak melihat para petualang yang mendekat dengan hanya bermodalkan cahaya obor.
Panah High Elf Arvher menembus tenggorokan goblin sebelum dia dapat memanggil rekannya. Dia mengayunkan lengannya seolah seperti berenang di udara seraya dia terjatuh ke depan; Goblin Slayer memberikannya tendangan kuat.
Goblin tersebut terjatuh, menghilang ke dalam kegelapan pekat tanpa batas.
Seraya mereka melanjutkan menuruni tangga, High Elf Archer mengepakkan telinganya. Adalah dulit untuk dapat memastikan apa yang dia dengar. Dia terus menjaga matanya terbuka, mencoba mencari goblin yang mungkin datang mendekati mereka.
Di sana.
Sang archer dengan cepat mengangkat tiga jari pada satu tangan sebelum mengambil panah dari tempatnya, menarik tali busur, dan menembakkannya.
Panah itu terbang tanpa suara, menangkap penjaga pemegang tombak tepat di matanya. Goblin itu terjatuh dari tangga.
Rekan penjaganya menunjuk dan mentertawainya dan kemudian memiringkan kepala setelah menyadari bahwa suaranya sama sekali tidak terdengar. High Elf Archer bergegas melewati Goblin Slayer, sementara di belakangnya, Goblin Slayer memecahkan tengkorak makhluk itu, seolah seperti membelah kayu.
Kepala itu pecah dan otak membanjiri keluar. Goblin Slayer menjatuhkan goblin kedua ke dalam kegelapan pekat kemudian maju ke depan.
Goblin ketiga, walaupun menganga melihat kejadian tiba-tiba ini, namun dia mempersiapkan tombak di tangannya.
Dia sedang berhadapan dengan seorang dwarf dan seorang gadis manusia. Namun hanya butuh waktu sekejap baginya untuk memfokuskan pandangannya kepada sang gadis, namun dia mendapati pandangannya terhalang oleh tangan sang dwarf. Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, terdapat begitu banyak debu di matanya, dan kemudian, ekor Lizard Priest menyapu kaki gobkin tersebut.
Yang tersisa sekarang hanyalah menjatuhkannya.
Terowongan berputar ini berlanjut terus menerus. Seseorang mungkin dapat merasa pusing jika memikirkan ukuran bangunan ini.
Semua suara telah  sirna, dan satu-satunya yang dapat mereka lihat adalah cahaya yang mereka bawa. Mereka hanya dapat mencium air yang mmengalir dan keringat mereka sendiri.
Priestess terhuyung, terserang oleh rasa pusing. Seraya dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, dia mendapat tubunnya yang goyah terlilit oleh ekor Lizard Priest.
Dia bergegas melihat ke belakang. Sang lizardman memutar mata di kepalanya dan menyentuh hidung dengan lidahnya. Tampaknya dia ingin mengatakan, jangan di risaukan.
Priestess menggeleng kepalanya, dan kemudian kembali menghadap ke depan dengan obor dan tongkat di tangan dan mulai mengikuti kembali punggung rekannya yang berada di depan. Dwarf Shaman dengan baik hati telah memperlambat langkahnya demi Priestess. Goblin Slayer dan High Elf Archer tetap siaga seperti biasanya.
Aku harus terus berdoa...!
Priestess mengjela panjang seraya dia memaksa pikiran tidak penting dari pikirannya dan terus melanjutkan persembahan doanya kepada Ibunda Bumi.
Dia hanya berdiri di belakang rekannya, berdoa. Dia mulai ragu apakah doanya benar berguna.
Namun keraguan menjerumus kepada kematian di saat seperti ini.
Dan dia tidak akan membiarkan doanya kepada dewa menjadi goyah karena itu.
Semuanya ada di sini, dan aku bersama dengan mereka. Mereka melindungiku, dan aku meli dungi mereka.
Dia menarik napas kembali.
Bahkan di lubuk kegelapan ini, dia mempunyai teman di sampingnya, dan jiwanya menyentuh Ibunda Bumi yang bersemayam di surga.
Tentunya tidak ada yang perlu di takutkan.
*****
Bob, bob. Mayat Lima atau enam goblin mengalir di permukaan air.
Di dasar dari tempat ini terdapat sebuah saluran air. Apakah keajaiban Silence, atau hanya karena jarak, yang membuat para petualang tidak dapat mendengar sedikitpun suara dari goblin yang mengambang ke permukaan?
Terbendung dan kemudian tersimpan, apa yang tersisa dari air sungai terus mengalir ke hilir.
“Mungkin para iblis kecil berpikir untuk meracuni air.” Lizard Priest berbisik ketika suara kembali ke dunia. Mengingat bahwa para goblin telah membendung sungai, maka itu adalah langkah selanjutnya yang sudah pasti. Desa elf bukanlah satu-satunya yang berada di hilir, namun juga kota air.
“Goblin bertingkah layaknya goblin, pemimoin mereka mungkin sedang merencanakan sesuatu.” Dwarf Shaman menyetujui.
“Apa gunanya, selalu berpikir tentang apa yang goblin pikirkan?” High Elf Archer berkata, mengernyit. Dia memberikan helm Goblin Slayer beberapa tepukan. “Nanti kamu bakal jadi seperti mereka.”
“Seharusnya kamu lebih khawatir sedikit,” Dwarf Shaman berkata. “Ini itu soal rumahmu.” Dia menambahkan pelan, hal ini mengundang amarah “Apa katamu?!” dari sang elf. Mereka telah berhasil menjaga suara mereka cukup pelan hingga membuat Lizard Priest tidak perlu memberikan teguran.
Goblin Slayer, benar-benar tidak bergerak, mengeluarkan sebuah kantung air dari kantung peralatannya dan membuka tutupnya. Dia meneguk beberapa kali melalui celah helmnya dan kemudian menawarkan kepada Priestess di tempat gadis itu berjongkok. Priestess menerimanya, wajahnya pucat berusaha untuk menenangkan diri.
“Minum.”
“Uh, ba-baik, terima kasih...”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata, menggeleng kepalanyz. “Kamu sudah membantu kami.”
Priestess memegang kantung air dengan kedua tangan, mendekatkannya ke mulut dengan sedikit malu. Terlihat senyum tipis di wajahnya. Dia tidaklah tegang sekarang dan itu bukanlah hal yang buruk.
Mereka telah melewati satu rintangan. Satu persatu.
Dia meminum, dua teguk, tiga. Kemudian menghela puas dan menutup kembali kantung air itu.
“Terima kasih banyak,” dia berkata, menyerahkan kantung itu kembali; Goblin Slayer menerimanya dengan diam dan memasukkannya kembali ke dalam ksntung peralatannya.
Goblin Slayer menggunakan golok untuk menarik salah satu mayat mengambang ke dekatnya, memeriksa pedang yang ada di sabuk goblin itu. Dia mengambil pedang itu ke dalam sabuknya sendiri, memasukkan goloknya ke dalam sabuk goblin itu sebagai gantinya, dan menendang mayat itu kembali.
“Suaranya sudah berhenti,” dia bergumam.
Telinga High Elf Archer mengepak. “Yeah.” Dia mengangguk. “Aku nggak terlalu yakin waktu kita tadi menuruni tangga, tapi sekarang aku rasa aku sudah nggak mendengarnya lagi.”
“Kita sudah terlambat.”
High Elf Archer, memahami maksud pria itu. Dengan cepat dia memerika tali busurnya, mengikatnya kembali, kemudian memastikan bahwa dia masih mempunyai panah seraya dia berdiri. “...Itu bukan alasan untuk berleha-leha kan?”
“Benar sekali,” Lizard Priest menyetujui, mengayunkan Swordclaw miliknya. “Kita datang kemari untuk bertarung, dan membuat musuh kita ketakutan di hadapan kita. Tak ada alasan bagi kita untuk tidak memanfaatkan keuntungan kita saat ini.”
Dia mengulurkan tangan berotot dan bersisiknya kepada Priestess,
“Aku baik-baik saja,” dia berkata dengan senyum si gkat dan kemudian berdiri, bertumpu pada tongkatnya. “Oh, obornya...”
“...Mm.” Goblin Slayer, akhirnya menggelengkan kepala pelan dari samping ke samping. “Aku menyerahkannya kepadamu untuk menanganinya.”
Priestess menghela pelan melihat pria itu sekali lagi berjalan sigap di depan barisan. Namun tidak lama kemudian, menyadari bahwa dia telah di beri tugas untuk memberikan cahaya kepada party mereka, dia mengangguk penuh tekad.
“Tolong, pegang ini sebentar.” Priestess berkata keppada Dwarf Shaman. Kemudian dia mengambil lentera yang ada di dalam barang bawaannya dan memindahkan api ke dalam lentera tersebut.
“Wah, persiapanmu bagus sekali!”
“Lentera itu wajib dalam petualangan,” dia menjawab, membusungkan dadanya dengan sedikit bangga.
Peralatan Petualang adalah sebuah paket yang tidak selalu berguna walaupun tampak berguna, namun kali ini paket ini membuktikan kegunaannya. Dia menutup lentera untuk menghalau cahaya yang terlalu berlebihan, kemudian melempar obor ke dalam sungai dengan sedikit “Yah!” terdengar desisan dan asap putih, dan akhirnya oborpun telah tiada.
“...Oke, ayo.”
Anggota partynya mengangguk, dan kemudian mereka mengikuti Goblin Slayer, sebisa mungkin mencoba tidak mmenimbulkan suara.
Syukurnya, suara sungai telah membantu mereka untuk menutupi suara.
Goblin Slayer berbicara pelan kepada High Elf Archer di kegelapan. “Bagaimana di depan?”
“Mereka di sana.” Dia menurunkan pinggulnya seperti seekor kuda yang hendak berlari, namun dia terus bergerak maju dengan cepat. “Sepertinya ada semacam...batu giling atau mortar? Bersama lima...mungkin enam dari mereka, sedang bersenang-senang.”
“Jangan gunakan mantra,” Goblin Slayer berkata, menggerakkan pedang di tangan kanannya. “Kami akan mengurus mereka.”
“Namun...” Lizard Priest menjilat hidung dengan lidahnya. “Bagaimana cara anda untuk menyerang?”
“Silence lagi?” High Elf Archer menawarkan, menambahkan pada dirinya sendiri aku nggak masalah sih seraya dia menarik panahnya.
Goblin Slayer melirik kepada Priestess, yang di mana wajahnya putih pucat, dan menggeleng kepalanya. “Kita harus melakukan yang lain.”
“Aku ba-baik-baik saja...!”
“Aku nggak mau memakai taktik yang sama dua kali berturut-turut,” Dia berkata, merogoh isi tasnya. “Apa kita punya lem?”
“Ini. Ada banyak. Bentar.” Dwarf Shaman berkata, menggali ke dalam tasnya sendiri. Tidak lama kemudian, dia mengangguk dan mengeluarkan beberapa botol kecil yang tersegel.
“Bagus,” Goblin Slayer berkata dengan segera. “Kalian semua, tolong berikan aku kaus kaki kalian.”
“Priestess memegang paha dengan tangannya, tiba-tiba berwajah merah; High Elf Archer hanya terlihat bingung. “Mau kamu apain?” dia bertanya.
“Aku akan menggunakannya.”
Lizard Priest mengangguk serius. “Apa anda menginginkan punya saya juga?”
“Kalau kamu punya.”
*****
Para goblin telah menyelesaikan pekerjaannya dan sedang dalam semangat tinggi. Goblin ini hampir tidak pernah merasa mabuk, tetapi dia merasa bahwa inilah rasa mabuk itu. Alkohol curian sangat jarang bisa hinggap di tangannya—botol-botol itu selalu kering habis jauh sebelum botol itu mencapai dirinya di bawah ini. Dia mempunyai kecurigaan apakah para goblin yang di atas benar membagikan jarahan mereka secara adil, tapi seperti itulah memang goblin. Mereka tidak pernah memikirkan rekan mereka, dan masing-masing goblin selalu mengambil lebih untuk dirinya sendiri, dan sebelum kamu mengetahuinya, semuanya telah habis.
Namun goblin bawah tanah yang dermawan ini akan memaafkan mereka.
Bukan karena dia mengetahui bahwa dia akan melakukan hal yang sama jika dirinya sendiri berada di lantai atas—rasa kesal akan para bajingan tidak tahu diri di atas sudah cukup membuatnya puas, walaupun dirinya sendiri akan bertingkah laku layaknya mereka.
Tidak, alasan mengapa dia merasa dermawan adalah karena bekerja di lantai terbawah ini memiliki keuntungannya tersendiri.
Dengan gerakan santai, sang goblin mengatur dekorasi yang tergantung dari  sebuah rantai di sekitar lehernya. Kemudian dia duduk dengan kasar pada lingkaran rekannya dan menggapai makanan yang berada di tengah.
Dia mematahkan sebuah jari dari lengan yang membusuk dan melemparkannya ke dalam mulutnya. Dia mengunyah dan menghela.
Bekerja di bawah sini itu adalah yang paling buruk, dia berkata, mencoba terdengar tangguh walaupun dia mengeluh.
Terdengar beberapa rangakaian persetujuan dari yang lain, dan kemudian sesekor mencabut sebuah kaki dari makanannya.
Sesekor lainnua, tidak dapat membiarkan ini begitu saja, membuat keributan dan mencoba untuk mengambil kaki itu, hingha pada akhirnya kaki itu terkoyak menjadi dua, dan mereka berdua mendapatkan bagian kaki itu.
Seraya mereka mengunyaj daging, para goblin mengeluh bahwa para petinggi sama sekali tidak mengerti.
Salah satu dari mereka mencongkel bola mata cantik berwarna kuning dari makanannya, dan berkata, iya, mereka sama sekali nggak ngerti, kemudian menelan bola mata itu.
Keluhan para goblin semakin lantang dan lantang, namun tentu saja, pekerjaan yang di berikan kepada mereka tidaklah begitu berat. Adalah sifat para goblin , bahwa mereka yakin goblin lainnya mempunyai tugas yang lebih mudah dari mereka.
Setelah selesai menyantap makanan, para goblin berdiri. Mereka semua setuju bahwa seorang rhea sama sekali tidak enak untuk di makan begitu pula seorang elf, dan seorang elf tidaklah selezat manusia.
Sekarang perut mereka telah terisi dan kenyang, dan tampak sudah tidak ada lagi yang harus di lakukan bagi mereka selain tidur hingga ada pekerjaan lain yang harus di lakukan.
Para goblin menguap lebar, ketika—
“—?”
Yah, sekarang.
Benda apakah yanh berguling di kakinya? Sebuah obor yang padam?
Apa-apaan? Para goblin melihatnya dengan terbengong.
“?!”
Tidak lama kemudian, sesuatu yang berat dan basah mengenai wajahnya. Dia mencoba untuk berteriak, namun sesuatu yang lainnya mengenainya lagi, kali ini di mulut.
Dia berusaha menariknya, namun tangannya menempel di benda itu, dan dia tidak dapat melepaskannya.
“GROBB!!”
“GRB GBBOROB!!”
Seraya dia terguling di lantai, goblin lain menunjuk dan mentertawainya. Mereka juga mentertawai goblin yang terjatuh dari tangga sebelumnya.
“GBOROB?!”
Kali ini, benda itu menghantam wajah goblin yang tertawa. Dua dari mereka sedang mencakar wajah mereka, merintih kesakitan. Tiga secara keseluruhan.
Dua yang lainnya akhirnya menyadari bahwa ini bukanlah saatnya untuk bercanda dan menarik pedang curian mereka.
Salah satu dari mereka memakai sesuatu yang terlihat seperti peluit alarm di bibirnya—
“Satu.”
—dan dengan cepat mendapati sebuah belati yang terbang di kegelapan, menembus tenggorokannya. Darah menciprat dari luka dengan suara yang tidak seperti sebuah siulan..
”GOBBRB?!”
Menerjang suara itu munculah seorang ppetualang dengan armor kulit kotor, menyerang mereka dari hilir. Di tangan kanannya adalah sebuah pedang. Di kiri, sebuah perisai. Mata goblin terbelalak. Petualang! Benci! Ini orangnya!
“GBRO! GGBORROB!!”
Pikiran akan memanggil rekan ataupun menolong mereka telah sirna dari pikirannya, dan dia-pun terjun dalam pertarungan. Pedangnya merupakan pedang yang cukup bagus yang telah dia curi dari seorang petualang. Pedang itu bukanlah pisau berkarat.
“Hmph.”
Akan tetapi, Goblin Slayer, menangkis mudah pedang itu dengan perisainya. Dia menangkap ayunan lebar dari monster itu, yang tersangkut di perisainya, dia mmengambil langkah mundur dan menyapu kaki monster itu.
“GOBBR?!”
Sang goblin telah kehilangan pijakannya dan terjatuh dengan keras dan kemudian kembali berdiri terhuyung.
Dalam sekejap setelah itu, dia mendengar suara duk. Dan goblin itupun berhenti bernapas, tanpa pernah mengetahui mengapa.
Dia terjatuh ke depan, mata tak bernyawanya tidak lagi memandang apa yang terjadi pada rekannya.
“GORB... GRB?!”
“GROBBR?!”
Goblin lainnya, akhirnya telah dapat melepaskan cairan lengket dari wajah dan mulut mereka, hampir tidak dapat berbicara.
Tidak lama kemudian, Swordclaw Lizard Priest menyayat dari badan hingga kaki, dan Goblin Slayer menusuk sebuah tenggorokan.
Menghabisi lima goblin hanya membutuhkan sepuluh atau dua puluh detik. Itulah gunannya sebuah pengalaman.
“Tiga... Dan empat, dan lima.” Goblin Slayer menghitung mayat dan kemudian berputar kembali ke dalam kegelapan. “Tadi tembakan yang bagus.”
“Aku sudah banyak berlatih.” Priestess berlari kecil keluar kegelapan, memegang tongkatnya. Sebuah ekspresi malu tersirat di wajahnya setelah mendengar pujian sederhana Goblin Slayer. Benar, para goblin telah teralihkan perhatiannya di karenakan obor, namun tembakan gadis itu tetap mengenai sasaran tanpa bantuan, hasil dari jerih payahnya sendiri.
Priestess mengambil kaus kaki yang telah di robek goblin dari wajahnya dan melemparkanya ke samping. “...Ugh. Kurasa aku sudah nggak bisa pakai ini lagi...” dia berkata kecewa. Terdapat darah dan liur dan ingus di keseluruhan kaus kakinya. Dia bisa saja mencucinya sebanyak tiga kali dan dia tetap tidak akan ingin memakainya lagi.
“Masukan batu ke dalam kaus kaki kita, lumurkan dengan lem dan lempar ke arah goblin?” High Elf Archer, yang juga turut menyumbang kaus kakinya, sedang mengambil panahnya dari salah satu mayat goblin. “Sumpah deh, kamu itu punya imajinasi kayak anak kecil yang nakal.”
“Tapi ini berhasil,” Goblin Slayer berkata pendek, berputar mengarah tubuh yang telah termakan setengah.
Adalah pemandangan yang begitu menjijikkan hingga mustahil untuk mengetahui kelamin dari korban itu, hingga dia mengambil status peringkat berwarna biru dari kekacauan ini. Adalah seorang pria.
“Kira-kira apa dia punya keluarga ya,” Dwarf Shaman berkata, melirik dan mengambil kalung peringkat sapphire bernoda itu. “Atau sebuah party... Aku ragu kalau dia sendirian.”
“Kemungkinan begitu,” Goblin Slayer berkata, memjtarkan kepalanya dan memandang perkakas yang para goblin gunakan untuk “pekerjaan” mereka.
High Elf Archer menunjuk salah satu perkakas dengan tatapan apaan ini,  sebelum akhirnya dia menyadari apa yang dia lihat dan melompat ke belakang. “Eek?!”
Adalah sebuah batu giling—atau lebih tepatnya adalah sebuah penekan. Memutar pegangan bundar membuat alat ini bergerak, memberikan tekanan pada apapun yang berada di dalamnya. Adalah semacam benda yang mungkin akan di gunakan untuk mendapatkan minyak dari zaitun, ataupun anggur. Jadi apa yang sedang para goblin tekan dengan ini?
Jawabannya dengan segera menjadi jelas.
“Ergh.... Ah...!” Priestess terkesiap kecil dan hampir menjatuhkan tongkatnya.
Dalam celah dari mesin itu dapat terlihat tangan dan kaki kurus, masih kejang-kejang dengan sisa kehidupan terakhirnya. Kaki dan tangan ini adalah milik seorang wanita muda dengan mata berkaca yang menatap ke atad, lidahnyz menjulur keluar dari mulutnya.
Hal ini membuat jelas apa yang para goblin sedang berusaha tekan. Sebagai bagian dari alat siksaan, cara ini ini begitu keji. Sebagai bagian dari eksekusi, cara ini begitu sadis.
Tidak.
Priestess dengan cepat memahami apa arti dari semua ini.
Tumpukkan dari armor wanita yang terkoyak di ujung.
Pedang pendek terasah yang telah Goblin Slayer ambil dari goblin sebelumnya.
Kalung peringkat sapphire yang bergantung di salah satu leher mayat.
Otot di lengan yang sekarang terlungkai lemas.
Semua itu menunjukkan bahwa wanita muda ini adalah seorang petualang sebelumnya.
Dan semua ini membentuk sebuah kesimpulan yang tak terelakkan: para goblin melakukan ini hanya untuk bersenang-senang.
“...”
Merupakan pemandangan yang sungguh membuat mual, tetapi walaupun pucat, Priestess menelan kembali cairan pahit yang hendak keluar.
Mungkin—sayangnya—dia telah terbiasa dengan hal semacam ini. Mungkin ini adalah sesuatu yang harus di biasakan. Dia tidak mengetahuinya.
Seraya dia berjongkok, berdoa kepada Ibunda Bumi, sebuan cairan kental dan lengket menetes di lantai, menodai sepatu putihnya.
Cairan merah kehitaman yang telah di peras oleh goblin dari alat mereka mengalir masuk ke dalam parit di lantai, dan dari sana, mengalir menuju su gai.
“Hmm,” Lizard Priest berkata, memutar matanya. “Jika mereka menuangkan ini ke dalam su gai, bukankah ini akan menjadi semacam racun?”
“Bisa saja.” Goblin Slayer berjongkok dan mengambil sedikit bagian sampel dari cairan lengket itu, menggosokkannya di antara jarinya. Walaupun hanya setetes kecil di dalam sungai besar ini, hal i i kemungkinan akan sangat cukup fatal bagi seseorang, “Seolah mereka berpikir ‘selama ini kamu meminum, hidup, dan mandi dengan air penuh dengan darah dan tai dari kaummu.”
“Hrr—ghh...” High Elf Archer dengan cepat merasa jijik. Priestess dengan segera menawarkannya sebuah air, namun sang archer menjawab, “Nggak, terima kasih.”
“Jika begitu, saya rasa kita dapat menganggap ini sebagai bentuk dari kutukan,” Lizard Priest berkata.
“Jadi kamu berpikir begitu juga?” Goblin Slayer menarik bapas. “Makhluk,,,itu...”
“Maksudmu Mokele Mubenbe?”
“Ya, itu.” Goblin Slayer menambahkan. “Itu artinya siapapun yang menangkap makhluk itu adalah semacam pembaca mantra.”
“Dan seekor goblin...” Priestess merinding.
Sebuah gua gelap. Wanita yang tumbang. Dan seekor goblin shaman yang meracau di atas tahtanya..
Semua ini sama persis dengan ingatan yang telah tercetak di kepala Priestess. Dia meremas tongkatnya lebih erat.
“...shaman?”
“Siapapun itu, dia nggak boleh di remehkan,” Dwarf Shaman bergumam, berkata kepada Goblin Slayer dan Lizard Priest. “Aku kaget kalian berdua sangat tenang sekali...”
“Bukanlah budaya kami untuk menahan tahanan kami hidup-hidup hanya untuk bersenang-senang, namun membunuh adalah keahlian kami,” Lizard Priest menggelengkan kepala perlahan dari samping ke samping. “Pembedahan perut dari warrior tangguh dan memakan hati mereka, di anggap sebagai adat yang benar.”
“Kalau aku, aku rasa aku butuh beberapa hari untuk bisa makan daging lagi,” Dwarf Shaman mengeluh.
“Dwarf memang begitu,” High Elf Archer berkata dengan tawaan berani.
Goblin Slayer melihat kepada Dwarf Shaman dan mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju Priestess dengan langkah sigap biasanya.
“Pak Goblin Slayer, uh...”
“Kita akan berhenti di sini,” dia berkata pelan. “Saat dia sudah di kubur, kita akan istirahat.”
*****
Pada akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan mayat petualang yang hancur di laut.
Mereka membungkus tubuh itu dengan kain untuk menyembunyikan lukanya dan kemudian membiarkannya mengambang di atas kanal yang mengarah ke sungai.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan belaian tanganmu, bimbinglah jiwa mereka yang telah meninggalkan dunia ini.”
Doa Priestess menemani jiwa wanita itu ke surga, dan doa Lizard Priest memastikan bahwa wanita itu dapat kembali bergabung dalam perputaran kehidupan.
Mereka sama sekali tidak berpikir tentang adanya patroli yang melihat ke bawah menara ini (goblin selalu malas seperti biasanya), karena itu party mereka mendapatkan tempat yang paling bersih yang dapat mereka temukan, menggerai beberapa selimut dan pergi tidur.
Tidur... mereka akan beruntung jika bisa mendapatkan beberapa jam saja. Mu gkin tidaklah akan mengembalikan banyak dari tenaga mereka. Apa yang terpenting adalah, pembaca mantra mereka akan kembali mendapatkan energi spiritual yang telah mereka kerahkan.
“....” Goblin Slayer bersandar pada dinding, memeluk pedang yang dia ambil. Dia tidak ingin menyalakan sebuah api, sebagian di karenakan penangkal api para elf di tempat ini, namun sebagian lagi adalah karena dia tidak ingin asap dari api membeberkan keberadaan mereka kepada semua goblin. Sebagai gantinya, party mereka beristirahat dengan di temani cahaya lentera, penutup lentera di tutup untuk menjaga cahaya tetap remang.
Lizard Priest duduk bersila, tangannya membentuk mudra dan matanya tertutup, seolah seperti sedang bermeditasi. Dwarf Shaman telah meminum beberapa teguk dari anggur dan berbaring, mengistirahatkan kepalanya di tangan, dan dengan cepat menggorok dengan berisik.
Kemudian Priestess, tubuhnya yang tertutup selimut kecil, meringkuk di sebuah sudut. Bahkan dari jarak ini, wajahnya tampak pucat pasi.
“....Kenapa kamu nggak tidur?” Sebuah suara bertanya kepada Goblin Slaher.
“Aku istirahat,” Goblin Slayer menjawab santai.
Adalah High Elf Archer, kembali dari giliran tugas jaganya, berdiri di depan pria itu dan terlihat kesal.
Goblin Slayer mengangkat helmnya perlahan, mendengak melihat High Elf Archer. “Dengan satu mata terbuka.”
“Hei, aku mana bisa lihat ada berapa mata yNg kamu punya di dalam situ.” Dia menjawab kesal. Tangannya bertopang pinggul dan mendengus, telinga panjangnya berkedut, kemudian dia duduk dengan kasar di samping Goblin Slaher. Adalah sebuah gerakan yang begitu alami; dia tidak melihat kepada Goblin Slayer untuk meminta persetujuannya.
“Dia nggak terlihat begitu senang ya?” High Elf Archer melonggarkan tali busurnya dan kemudian mengikat ulang kembali.
“Menurutku,” Goblin Slayer berkata dari sampingnya. “Kalau kita mengingat tindakan kitam kita ini sama persis dengan goblin.”
Dia bermaksud tentang memberikan tubuh dari rekan mereka ke sungai.
Mereka telah terlambat—apakah menit, jam, atau hari. Kemungkinan satu atau dua petualang yang tertangkap akan masih hidup.
Mustahil jika ini dapat berakhir sama dengan apa yang terjadi pada biarawati di kuil itu.
“Mereka meninggal, dan kita melemparkan mereka ke sungai. Sama saja,” Goblin Slayer berkata acuh.
High Elf Archer menggigit bibirnya beberapa saat, tidak dapat berbicara, dan kemudian menggelengkan kepalanya tidak menyetujui. “...Ini beda.”
Goblin Slayer menggerutu kesal pelan.
“Kita berbeda dengan goblin. Dan kalau kamu bilang kita sama lagi, aku bakal marah.” High Elf Archer melotot kepadanya.
“Aku mungkin bakal tendang kamu,” dia bergumam, dan terdengar serius.
Goblin Slayer mengingat waktu di sebuah reruntuhan di suatu tempat, ketika sang archer ini memberikan tendangan kepadanya. Telah satu tahu berlalu. Dia bahkan merasakan sedikit bostalgia dari itu.
Namun seberapa banyak waktu itu bagi seorang elf?
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk. Dan kemudian menghela besar. “...Kamu benar.”
“Pastinya dong.”
Dengan itu, mereka berdua berhenti berbicara. Riak air yang mengalit terdengar begitu janggal. Namun sesekali, dapat terdengar tawa para goblin yang berada di atas, mengingatkan mereka akan keberadaan mereka saat ini.
Telinga High Elf Archer mengepak. Goblin Slayer melirik kepadanta, namun sang elf menggelengkan kepala seolah mengatakan bahwa itu bukanlah apa-apa.
“Begitu.” Goblin Slayer bernapas dan kemudian kembali terdiam.
“Hmm?” High Elf Archer berkata, memiringkan kepalanya, namun helm Goblin Slayer bahkan hampir tidak bergerak seraya dia berkata dua kata merespon.
“Maafkan aku.”
High Elf Srcher berkedip.
Apa Orcbolg baru saja...minta maaf?
Merupakan hal yang tidak biasa. Untuk menyembunyikan senyum yang mengancam mekar dari wajahnya, High Elf Archer mengernyit menyelidiki dan bertanya acuh. “...Untuk apa?”
“...Pada akhirnya, kita berhadapan dengan goblin lagi.”
Bego. High Elf Archer tertawa kecil. Seperti aliran ait, tawanya terdengar begitu manis di tempat ini.
“Apaaaa? Jadi itu yang bikin kamu galau?”
Tidak ada jawaban.
Mereka baru saling mengenal selama lebih  dari setahun, namun itu merupakan waktu yang cukup banyak untuk dapat mengenali seseorang.
Aku bener banget.
High Elf Archer tertawa dengan suara seperti denting lonceng kemudian meletakkan busur besarnya di lantai di sampingnya. Dia memeluk kedua lutut hingga menyentuh dada dan kemudian merebahkan kepalanya pada pundak Goblin Slayer.
“Kamu kenal aku... Aku bukan penggemar berat dari pembasmian goblin.”
Masuk akal.
Sebelum dia bertemu dengan Orcbolg, bahkan dulu saat dia masih seorang Porcelain, dia tidak pernah pergi mengambil quest membasmi goblin. Namun jumlah dari quest membasmi goblin yang di ambilnya setelah bekerja bersama pria ini, meningkat dengan begitu drastis.
Dia sama sekali tidak mempermasalahkan tentang menelusuri gua-gua. Dan bertarung dengan monster-pun juga bagus-bagus saja. Menyelamatkan tawanan, juga merupakan hal yang baik.
Tapi ini memang berbeda.
Berhadapan dengan goblin bersama Orcbolg entah mengapa terasa berbeda dengan petualangan lainnya. Tidak terdapat rasa akan pencapaian yang di dapat. High Elf Archer merasa sulit untuk menganggap ini sebagai sebuah petualangan.
Tetapi tetap saja.
“Rumah dalam bahaya.”
Meruapakan hal yang sudah jelas, namun dia tetap mengatakannya.
Dia merasakan helm Goblin Slayer bergerak.
High Elf Archer menututp matanya sejenak. Aroma darah dan minyak. Benar-benar bau yang menjijikkan.
“Aku benci kalau pernikahan kakakku di kelilingi goblin yang berkeliaran di sekitarnya.”
“...Begitu.”
“Biasanya, pasti aku yang selalu mengeluhkan ini dan itu... Tapi, hei maksudku, bukan berarti aku kesal atau lainnya.”
“Nggak.” Goblin Slayer berkata, menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mempermasalahkannya.”
“Nggak?” High Elf Archer memiringkan kepalanya terkejut. Telinganya berkedut.
“Nggak,” Goblin Slayer mengulangi pendek. “Karena aku nggak tahu bagaimana caranya untuk berpetualang.”
“Huh,” High Elf Archer berbisik, dan Goblin Slayer menghela, “Bener sih.”
“Oke deh,” High Elf Archer memulai, terdengar seperti dia akan bernyanyi. “Gimana kalau kita anggap ini impas?” dia mengacungkan jari telunjuk dan membuat lingkaran di udara.
“Menurutku—“ Goblin Slayer akan menjawab, namun kemudian dia ragu. Sulit baginya untuk menemukan kata yang dia inginkan, dan akhirnya, jawabannya datar seperti biasanya, “Nggak masalah.”
“Mantap!” High Elf Archer meloncat berdiri. Dia menguap lebar, seperti seekor kucing, dengan perlahan meregangkan tubuh langsingnya. Dia menghela panjang dan kemjdian bertanya, “Jadi apa yang kita lakukan berikutnya?”
Goblin Slayer menjawab dengan segera, “Kita akan pasang jebakan dan kemudian naik ke atas.”
“Jebakan?” matanya berkelio, dan telinganya mengayun.
“Nanti kamu akan mengerti.” Goblin Slayer membuat suara seperti merasa ini akan menjadi sangat merepotkan. High Elf Archer hanya mendengus. Ya sudah kalau begitu.”
“Tapi...sekarang kita naik ke atas?”
“Kita berhadapan dengan goblin yang tinggal di bangunan ini. Aku rasa aku tahu apa yang mereka pikirkan.”
“—?”
“Pimpinan tertinggi mereka kemungkinan akan bermarkas di tingkat paling tinggi atau paling rendah.”
“Ahh.”
Sekarang masuk akal. High Elf Archer mengangguk, tersenyum. Penjahat terburuk suka dengan tempat tinggi.
“Satu-satunya masalah adalah...makhluk itu.”
“Mokele Mubenbe?” High Elf Archer menghela kembali. “Aku sama sekali nggak percaya kamu nggak bisa mengingat namanya sampai sekarang.”
“...Siapaoun yang dapat mengendalikan makhluk itu kemungkinan adalah pembaca mantra.”
“Pembaca mantra... Hmm.”
High Elf Archer melipat tangan, namun dengan cepat dia mengabaikan pikirannya. Memikirkannya sekarang tidak akan membuat mereka mendapatkan jawaban apapun. Mereka dapat memikirkannya ketika waktu yang tepat telah datang.
Apapun itu, bisa saja dia seekor goblin shaman atau goblin apalah, aku tetap akan membunuhnya.
“Bukannya kita akan mengetahuinya kalau kita tiba di sana?”
“Nggak bisa seperti itu,” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala.
High Elf Archer menggeleng kepalanya sendiri, seolah ingin mengatakan kamu ini. “Bisa saja. Tapi kamu satu-satunya spesialis barisan depan kita. Sekarang, yang terpenting untukmu adalah tidur, Orcbolg.”
“...Ya.”
“Dengan dua mata tertutup.”
“....Aku akan coba.”
“Aku bakal bangunin kamu nanti.”
“Terima kasih.”
“Yeah, soalnya nanti aku nggak bakal bisa dapat giliran tidur.”
“Baiklah.”
High Elf Archer memberikannya lambaian memastikan dengan tangannya dan kemudian mengambil busur dengan jarinya. Dia memeriksa cepat rekan lainnya yang tertidur satu persatu, dan kemudian akhirnya duduk di tempatnya sendiri di salah satu sudut ruangan.
Di samping dirinya adalah Priestess, terbungkus dengan selimut. High Elf Archer memberikan tepukan lembut. Selimut itu bergoyang, kemudian terdiam kembali.
Kamu bisa saja menarik selimutmu sejauh yang kamu inginkan, tetapi kamu tidak akan dapat menyembunyikan perasaan yang kamu rasa dari indra seorang elf.
*****

“Aduh, kenapa sih para leluhur nggak bisa memasang elevator?”
Beberapa jam kemudian, setelah melakukan persiapan kecil, party mereka mulai memanjat tangga.
High Elf Archer mempunyai alasan yang bagus untuk mengeluh. Mereka baru saja menuruni tangga ini di hari sebelumnya, dan sekarang mereka di paksa untuk memanjatnya lagi. Perubahan arah inu sungguh terasa menyebalkan.
“Ha-hati-hatu jangan bicara terlalu nyaring...!”
Seseorang bisa mendengarmu. Cemas Priestess sangatlah wajar, dan dengan tidak adanya tempat untuk melarikan diri, jika para goblin muncul, mereka akan di paksa untuk bertarung.
Party mereka belum mengubah formasi mereka semenjak beristirahat (Saat—kemarin? Indra waktunya terasa buram), tetapi tetap saja...
“Yah,” Dwarf Shaman berkata, “Ini benteng besar. Mungkin saja ada satu kalau kita mencarinya.” Dia terengah-engah. Tubuhnya yang kecil tampak menyulitkannya dalam pendakian ini. Dia mengambil anggur dari sabuknya dan membuka penutupnya, meneguk beberapa kali dan mengelap tetesa yang mengalir di jenggotnya. “Tapi setelah semua pekerjaan yang aku lakukan, kamu sama sekali nggak berhak untuk berkeliiaran mencari elevator.”
“Dan juga, mungkin saja sebuah kunci di butuhkan untuk mengaktifkannya. Sesuatu dengan ikatan biru, sebagai contohnya.”
“Aaarrg...!” High Elf Archer menjerit, mengepakkan telinganya marah. Ucapan tenang Lizard Priest membuat tiga suara mendebat dirinya. “Orcbolg, ngomong sesuatu!”
“Kalau kita menemukannya, kita akan memakainya, tapi kita nggak punya waktu untuk mencari.”
Tidak ada bantuan darinya. High Elf Archer, menyerah, dan hanya terus bermuka masam seraya berjalan menaiki tangga.
Masing-masing dari mereka benar-benar siaga. Bahkan Priestess, memperhatikan tongkatnya dengan cemas, seraya memperhatikan sekelilingnya. Dia terus melirik kecil ke belakangnha—tentunya akibat dari ingatan terburuknya.
Mereka mungkin akan datang dari belakang.
Mereka mungkin akan menjebol melalui dinding di saat kamu tidak mendunganya.
Apakah ada pintu tersembunyi? Mereka tidak melewatkan satupun pintu, kan?
“Oops...,” High Elf Archer berkata, dan Priestess merinding.
“Ke-kenapa?”
“Tangganya menghilang.”
“Oh...” Dia dapat melihat bahwa High Elf Archer benar. Tepat di depan mereka, tangga berputar ini terhalangi oleh beberapa anak tangga yang rusak.
Mereka dapat melompati celah itu—tetapi itu jika mereka tidak memikirkan terlebih dahulu tentang apa yang akan terjadi jika mereka terjatuh. Mereka dapat mendengar air yang menggema di kejauhan, jauh di bawah.
Jika mereka masih dapat meraih tangga di bawahnya, maka itu adalah hal yang berbeda, namun jika tidak, maka ketinggian tentunya akan membunuh mereka. Jika mereka beruntung, kematian itu akan sekejap. Jika tidak, kaki mereka mungkin akan patah dan mereka harus terkapar di sana, menunggu untuk mati. Apapun itu, itu akan menjadi akhir dari petualangan mereka.
Apakah para goblin memutari celah ini atau terus melompati dengan nekat?
“Aku nggak melihat adanya penjaga,” Goblin Slayer bergumam. “Kalau ini masih siang, aku bisa memahaminya, tapi aku nggak suka ini.”
“Kurasa masalah lebih besarnya adalah apa yang harus kita lakukan dengan tangga ini,” High Elf Archer berkata seraya mengernyit. “Aku bisa melompati celahnya, tapi kurasa nggak semua dari kita bisa. Contohnya kayak dwarf itu, dwarf itu, dwarf itu.”
“Sini kamu...”
Akan tetapi, hanya sejauh itulah reapon Dwarf Shaman. High Elf Archer melipat tangan dan membuat suara berpikir. “Mungkin kita bisa ikatkan tali di seberang,” dia berkata. “Kita bisa saja ambil jalan memutar, tapi kita nggak punya waktu kan?”
“Baguslah,” Priestess berkata dan mengangguk. “Aku akan keluarkan talinya!” Dia merogoh tasnya, dengan cepat mengeluarkan sebuah pengait. Perlengkapan petualang. Dia sangat merasa senang bahwa set yang  telah di belinya “untuk berjaga-jaga,” dapat menjadi berguna. Terlebih lagi, hal yang paling membuatnya lega adalah, dia merasa menjadi berguna untuk partynya.
“Apa menurutmu akan sampai?” dia bertanya.
“Coba saja.” Goblin Slayer berkata.
Menjawab “Baik,” High Elf Arch3r mengambil tali dan melompat dengan begitu ringanya. Kelincahannya hanya dapat tersaingi oleh sebagian kecil dari padfoot atau dark elf.
Dia mendarat jauh dari celah dengan gerakan yang mengingatkan akan seekor rusa yang melompat, bergumam “Whuup” seraya dia menjaga keseimbangannya dengan hati-hati. “Kamu cuma perlu aku pasang ini kan?”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk dan mengambil tali dari sisinya. “Jadi kita ikat ini di sabuk kita dan melompat...?”
“Kalau aku gagal sampai ke seberang, aku akan menggunakan mantra,” Dwarf Shaman berkata, melihat ke dalam lubang kegelapan dengan ekspresi cemas. “Walaupun aku benci untuk melakukannya, tapi kalau memang di perlukan... Bagaimana menurutmu Scaly?”
“Ahh, selama terdapat tempat menggenggam dan berpijak di dinding, saya akan dapat melewatinya.” Lizard Priest menunjukkan cakar tajam di tangan dan kakinya, seraya memutar jarinya. “Master pembaca mantra, saya lebih mengkhawatirkan akan nona Priestess jika beliau melompat. Mungkin akan lebih baik jika saya menggendongnya.”
“Kalau begitu, satu persatu,” Goblin Slayer berkata. “Apa kamu akan baik-baik saja?”
“Oh iya!” Pristess adalah yang pertama mengambil tali yang di tawarkan. Dengan dengusan, dia mengikat hati-hati dan erat di sekitar pinggul kurusnya, kemudian dia menyelipkan tongkat di antara tali dan punggung kecilnya agar dia tidak menjatuhkannya.
“O-oke, tolong jangan ja-jatuhkan aku...!”
“Mm. Anda tidaklah berat. Baiklah, sekarang...”
Lizard Priest, dengan Priestess yang menempel di punggungnya, menggali cakar ke dalam dinding batu dan mengangkat tubuhnya ke atas.
“Eep?!”
“Berpegangan yang erat. O Velociraptor, saksikanlah tabiat hamba!”
Apa yang terjadi berikutnya adalah sesuatu yang takjub untuk di saksikan. Menggunakan cakar di tangan dan kakinya masuk ke dalam celah di antara bebatuan, Lizard Priest mulai merayap dengan lincah melewati celah.
Akan tetapi, sebagaimanapun mengesankannya, dia tidaklah cepat; jika ada seorang archer yang menunggu di suatu tempat dalam tangga berputar ini, maka dia akan menjadi sasaran yang sempurna. Goblin Slayer dan High Elf Archer berdua melihat ke dalam kegelapan, menjaga pandangan mereka tetap terbuka mengantisipasi ancaman seperti itu.
Ketika mereka telah sampai di sisi seberang, Priestess memberikan Lizard Priest sebuah anggukan menghargai. “Ma-maaf sudah merepotkan. Dan terima kasih...”
“Tidaklah perku berterima kasih. Benar, saya percaya bahwa anda sepatutnya menambahkan sedikit daging dalam tulang anda.”
“A-aku akan coba...” dia berkata, sedikit merasa malu. Lizard Priest menyeringai, kemudiam dia mengambil tali dari Priest3ss dan kembali menyebrangi celah. Berikuutnya, dia datang membawa Dwarf Shaman, dan setelah dia merasa puas karena semua telah menyebrang, Goblin Slayer melompati celah. Dalam armor dan baju rantainya, tak perlu di ragukan bahwa dia adalah yang paling berat di antara rekan partynya, namun dia tetap berhasil melompat ke seberang dengan jarak yang cukup mengagumkan.
Namun tetap saja, ketika dia terhuyung di saat mendarat, Priestess dengan cepat membantunya agar tetap stabil. “Ka-kamu nggak apa-apa?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan dan beberapa saat kemudian menambahkan, “Aku baik- baik saja.”
“Aduuuh, Aku berharap aku bisa di gendong menyebrang juga,” High Elf Archer berkata.
“Ha! Ha! Ha! Yah, mungkin akan anda kesempatan di lain waktu,” Lizard Priest terbahak-bahak.
“Ku pegang ucapanmu!” High Elf Archer berkata, namun kemudian berhenti. “Hei, lihat, tuh! Ada elevator!”
“Hmm,” Goblin Slayer berkata dengan penasaran seraya dia bergerak untuk memeriksa alat itu.
Benda ini memiliki sepasang pintu ganda yang bergulung masuk ke dalam dinding, dengan apa yang terlihat seperti panel kontrol di sampingnya. Tepat seperti sesuatu yang sering di temukan di reruntuhan seperti ini.
“Apa para goblin menggunakannya?” dia mengutarakan pikirannya.
“Pertanyaan bagus,” Dwarf Shaman berkata. “Sulit untuk memastikannya...”
“Tampaknya benda ini berfungsi seperti seharusnya. Tetapi... Hmm, apa ini?” Lizard Priest, mengutak-atik panel kontrol dengan cakarnya, menemukan sebuah papan tombol. Papan tombol itu terdiri dari beberapa nomber berbentuk kotak, tampak menunggu untuk di tekan. “Jadi ini berfungsi tidak dengan kunci, tetapi dengan kode.”
“Ah!” Priestess, melihat papan itu, menepuk kedua tangan dan mulai merogoh barang bawaannya.
Dia mengeluarkan sebuah kunci yang telah dia ambil dari goblin di pintu masuk menuju benteng ini. Adalah sebuah plat emas dengan nomor yang terukir di atasnya dan sebuah tali seperti kalung.
“Bagaimana dengan ini? Awalnya, ku kira mungkin masing-masing kunci itu bernomor, tapi...”
“Yeah, goblin nggak akan pernah membuat catatan seperti itu,” High Elf Archer berkata, dan Goblin Slayer menyetujui. Karena itu sudah tidak di ragukan lagi sekarang.
“Coba.”
“Baik pak!” Memegang plat emas, Priestess dengan hati-hati menekan tiga angka pada papan tombol.
Mereka merasakan getara halus seraya sesuatu yang jauh dan dalam berbunyi, dan akhiirnya, terdengar decitan seraya mesin itu naik ke atas.
Pintu elevator terbuka tanpa suara.
“Sepertinya aku benar,” Priestess berkata, menyeka dada kecil dengan tangan dengan helaan lega.
Di dalam elevator adalah sebuah kotak batu, seperti di luar. Tidaklah jelas apakah elevator ini bergerak dengan tenaga sihir atau mekanis, tetapi...
“Paling nggak, nggak ada sesuatu di sini yang terlalu sederhana untuk para goblin gunakan,” Goblin Slayer menjawab, melihat sekeliling interior dan menggunakan pedangnya seperti tongkat unntuk menusuk dan mengetuk.
“Tapi, aku pernah melihat mereka menggunakan ember di sumur.”
“Itu sudah cukup untuk membuatku merinding.”
Sudah nah. High Elf Archer melambaikan tangannya. Dia tidak ingin membayanhkam kemungkinan alat ini di potong selagi mereka menggunakannya, mengirim mereka jatuh ke dasar.
“...Ayo,” Priestess memaksa, tekad bulat dalam nadanya, meremas tongkatnya. Semua ini bersama dengan wajahnya yang sedikit pucat, sebuah ketegangan yang tampak jelas pada ekspresinya, dan getaran halus pada tangannya. “Kita harus...menghentikan para goblin...”
Adalah sebuah deklarasi yang mendapatkan respon langsung dari Goblin Slayer.
“Ya.”
Ekspresi Priestess sedikit melemas.
Goblin Slayer memperhatikan partynya.
High Elf Archer membusungkan dada kecilnya seolah ingin mengatakan bahwa tentu saja sudah siap.
Dwarf Shaman sedang mencari katalisnya dengan acuh.
Lizard Priest membuat gerakan tangan aneh dan memutar matanya.
Goblin Slayer memperhatikan wajah mereka satu persatu dan kemudian memerika perisai, armor, helm, dan pedangnya sendiri.
Tidak ada masalah.
Rencana mereka berjalan lancar.
Hanya terdapat satu hal yang harus di lakukan.
“Kita akan membunuh semua goblin.”
Para petualang saling mengangguk dan kemudian menaiki elevator.
“Aku berasumsi kalau benda ini akan naik ke atas,” High Elf Archer berkata, “tapi ini bisa berakhir buruk dengan cepat.”
“Bisa saja.” Goblin Slayer mengangguk.
Ujung bi ir sang elf menyeringai, dan kemudian dia bergumam sarkas, “Persetanlah, ini memang neraka...yeah, yeah.” (TL note : rada sulit bagi saya untuk translate sarkasnya High Elf Archer dalam bhs indo. Karena rada nggak nyambung kalau di artikan secara harfiahnya. Jadi saya translate sebisanya saja.)
Kemudian pintu tertutup rapat.