AMELIA DI WONDERLAND
(Translater : Fulcrum)

Di suatu hari berawan di akhir Agustus 2095.
Berdiri di depan gerbang taman bermain menunggu kedatangan temannya adalah seorang gadis muda dengan rambut merah rubi dan mengenakan sebuah jaket gaya militer berkantung banyak dan sebuah rok mini.
Nama gadis itu adalah Akechi Eimi, yang juga dikenal sebagai Amelia Goldie, murid di SMA 1 yang berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional.
Dengan libur musim panas yang hampir berakhir, dia berencana untuk pergi ke taman bermain bersama teman-teman kelas 1 nya. Karena mereka bergabung di klub yang berbeda, biasanya mereka tidak punya banyak waktu untuk jalan-jalan bersama.
(Sepertinya aku kecepatan……..)
Sekarang masih setengah jam sebelum waktu pertemuan. Ini akan jadi hal yang masuk akal saat kau pergi berkencan, tapi biasanya tidak akan ada orang yang seperti ini saat hanya untuk pergi jalan bersama teman yang gendernya sama. Eimi sendiri biasanya jelas tidak akan seperti ini. (Kebetulan, karena Eimi belum punya pengalaman sama sekali dengan lawan jenis, semua asumsinya tentang lawan jenis masih bisa dibilang sedikit)
Alasan dia datang sangat cepat adalah karena panggilan telepon intenasional panjang tadi pagi.

◊ ◊ ◊
Suara notifikasi panggilan videophone kamarnya lah yang membangunkannya dari dunia mimpi.
Jam digitalnya menunjukkan pukul lima.
Berpikir “Mengganggu sekali”, Eimi melihat ke jendela pesan dan melihat kalau orang yang menghubunginya adalah nenek dari ibunya, janda dari keluarga sihir Goldie yang terkenal di Inggris dan wanita dengan otoritas nomor dua di keluarganya.
Mata Eimi sekejap terbelalak.
Orang tuanya tidak terlalu mampu bangun pagi, mereka tidak akan bangun jika belum waktunya, tidak peduli jika ada truk yang menabrak rumah mereka, mereka tetap akan tidur. Akibatnya, sudah menjadi aturan tak tertulis di Keluarga Akechi kalau Eimi, yang tidak menggunakan sound-sleeper yang merupakan alat untuk mempernyenyak tidur, yang akan mengurus semua panggilan dan tamu di pagi hari.
“….Sudah lama sekali, nenek.”
Eimi menolak menyapa dengan ‘Selamat pagi’.
“Karena aku masih belum berpakaian rapi, tolong maafkan aku yang hanya menggunakan panggilan suara saja.”
“Selamat pagi, Amelia.”
Sepertinya nenek juga sadar dengan perbedaan waktu mereka, pikir Eimi saat ia mendapat sapaan itu.
Saat musim panas, ada perbedaan waktu sebanyak delapan jam antara Jepang dengan Inggris. Di sana, sekarang jam sembilan. Jika neneknya memang tahu jam di Jepang, sebenarnya, Eimi benar-benar berharap kalau neneknya bisa menunggu beberapa jam lagi untuk menelepon.
“Di sana sepertinya cukup panas, apa kau baik-baik saja? Apalagi tubuhmu lemah.”
Kalau kau tahu aku memang lemah, lalu aku berharap kau akan membiarkan aku tidur sedikit lebih lama, keluh Eimi. Tentu saja, dia tidak mengatakan permintaannya.
“Aku baik-baik saja, nenek. Gelombang panas beberapa hari lalu sudah mulai mereda.”
Itu hanya kalimat manis agar neneknya bisa tenang. Kenyataannya gelombang panas minggu lalu benar-benar parah, meski minggu ini sudah lebih baik.
Lagipula sebentar lagi musim panas berakhir.
“Apa begitu? Jangan terlalu memaksakan dirimu, Amelia.”
“Ya, terima kasih banyak, nenek.”
Bahkan saat dia menjawab dengan sopan, Eimi masih tetap memiringkan kepalanya ke samping. Tepat sambil bertanya-tanya mengapa neneknya menghubunginya.
“Sebenarnya, untuk menghindari panas, aku akan tinggal di vila di pegunungan Swis mulai minggu depan sampai akhir musim gugur. Aku akan sangat senang kalau kau bisa ikut, Amelia.”
“…..Aku, pergi ke Swis?”
Keraguan Eimi menunjukkan kalau dia sadar akan ajakan itu.
“Ya. Aku selalu menginginkan liburan yang panjang dan indah bersamamu, Amelia.”
“Aku juga, nenek. Ada banyak hal yang aku ingin untuk nenek ajari, tapi…”
Itu mustahil. Sekitar seminggu lagi semester kedua akan dimulai.
Selagi Eimi mencoba menolak ajakan itu dengan sopan dan penjelasan, neneknya tidak dengan mudah menyerah begitu saja.
“Kalau kau mengkhawatirkan tentang sekolah, ada juga sekolah sihir yang prestisius di Swis. Tidak apa-apa kalau kau bersekolah di luar negeri selama setengah tahun ‘kan? Aku bisa mengurus urusan sekolahmu.”
Hanya karena kau mengenal kepala Universitas Sihir sejak lama jadi kau berkata seperti ini, pikir Eimi sudah tidak sabar.
Tidak akan ada orang yang terkejut kalau neneknya juga kenal dekat dengan para elit masyarakat sihir di Jepang.
Dengan larangan belajar sihir di luar negeri, kesempatan bagi murid SMA untuk studi ke luar negeri bisa dibilang mustahil, setidaknya itulah yang Eimi tahu. Tapi, dengan neneknya, hal yang mustahil itu bisa tercapai.
Dengan begini meski dengan penolakan Eimi, sepertinya dia akan harus terpaksa belajar ke luar negeri.
Dia berhasil berkompromi dengan neneknya dengan alasan emosionalnya. Setelah panggilan itu berakhir, bukan rasa lega, tapi kegelisahan yang Eimi rasakan.
Meski ibunya menikah masuk ke keluarga lain, sampai sekarang neneknya tidak pernah ikut campur masalah kehidupannya. Selagi kunjungannya selama ini bertujuan untuk memastikan Eimi tetap bersikap baik meski dimanja, semua urusan yang lain sepenuhnya diserahkan pada Eimi.
Tetapi sekarang untuk alasan tertentu neneknya ingin dekat dengannya.
Namun, tanpa tahu apa alasan neneknya, kegelisahan tiada akhir ini hanya akan membuat dia makin tidak bisa tidur. Karena itu, Eimi berakhir berangkat jauh sebelum jam pertemuan.

◊ ◊ ◊
“Eimi!”
Saat dia menoleh ke arah suara itu, Eimi melihat seorang gadis yang akan menemaninya melambaikan tangan.
“Sakura!”
Saat Erika melambai balik, gadis itu segera berlari ke arahnya.
Gadis yang mengenakan gaun one piece gaya lolita itu adalah Sakurakouji Akaha.
Walaupun kanji nama depannya seringkali dibaca ‘Momiji’, tapi nama gadis itu dibaca Akaha.

Di hari di mana kedua teman sekelas ini pertama bertemu,
“Kanjinya ‘Akaha’ bagaimana?”
“Momiji, tulisannya sama seperti ‘Momiji’ tapi dibaca ‘Akaha’.”
“Hee? Jadi sakura dan akaha, itu artinya sakura dan momiji digabungkan. Bagus sekali.”
“Tapi kau tahu, sayangnya mereka hanya bunga musiman.”
“Aha, benar-benar wabi-sabi[1], huh?”
“Tapi kau tidak kelihatan seperti orang yang bisa cocok dengan orang wabi-sabi. Kau sangat cantik dan ceria.”

Setelah pembicaraan itu, mereka berdua tertawa palsu. Itulah bagaimana mereka berteman. Takdir memang misterius.

“Sakura, apa kau datang bersama Subaru?”
“Ehehe….”
Meski pertanyaan Eimi tidak punya maksud apa-apa, Akaha mulai tertawa tidak jelas.
Eh, apa dia orang seperti itu? Eimi mengangguk, tidak diketahui Akaha, tentunya.
Tapi saat Eimi sekali fokus ke orang yang di sebelah Akaha, dia merubah kembali opininya dan merasa “Mungkin, aku sedikit paham maksudnya”.
Sekilas, dia tampak seperti laki-laki muda cantik mengenakan baju musim panas. Kacamata bingkai bawahnya semakin memperkuat kesan kelaki-lakiannya.
Namun, kenyataannya laki-laki itu juga teman sekelasnya.
Eimi mulai mengenal Subaru Satomi setelah mereka satu tim di Kompetisi Sembilan Sekolah. Mereka belum lama berteman, tapi hubungan mereka sudah sampai di titik di mana mereka bisa berbicara “Subaru, apa penampilanmu seperti laki-laki agar kita tidak ditaksir laki-laki lain?” atau “Nona, saya akan senang menemani Anda”. Terlebih lagi saat mereka tengah berbicara, mereka berdua akan tersenyum, tidak, menyeringai tanpa alasan.
“Apa ada yang salah, Eimi?”
Saat Eimi membiarkan pikirannya dipenuhi fantasi tentang Akaha, Subaru memandangi wajahnya dengan curiga. Dihadapkan dengan wajah sopan dan tampan seorang laki-laki yang memandanginya dekat, Eimi merasa kalau detak jantungnya sedikit cepat, menolak fantasinya menguasai dirinya, dia menjawab “Tidak apa-apa” dengan kepala yang digelengkannya.
“Apa benar?”
Seringaian lebar Subaru mengejeknya dan Eimi benar-benar merasa sudah salah ambil langkah, tapi jika ia melanjutkannya maka ini semua bisa membuatnya semakin malu, jadi dengan semampu mungkin dia berusaha berpura-pura tidak menyadarinya.
“Untunglah. Kalau begitu, ayo masuk.”
Sebenarnya, usaha Eimi untuk mengabaikan itu tidak terlalu bekerja dengan baik, tapi Subaru tidak terlalu memerdulikannya. Tahu kapan harus berhenti menjadi kelebihan Subaru. Namun, dianggap ‘menawan’ oleh sesama perempuan adalah sesuatu yang Subaru sendiri agak enggan menerimanya.
Tanpa berpikir panjang, sekalian tidak membuat waktu lagi, Eimi tidak komentar apa-apa.
“Oh ya, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ke taman bermain.”
Saat Eimi mengatakannya dengan bersemangat,
“Taman hiburan.”
Untuk alasan tertentu, Akaha menyelanya dengan nada tidak senang.
“Taman hiburan. Wonderland bukan taman bermain, ini taman hiburan.”
Seperti yang diharapkan dari pengunjung yang sering datang, sepertinya Akaha tidak tahan mendengar kata ‘taman bermain’.
“Maaf, maaf, Wonderland itu taman hiburan.”
Walaupun Eimi merasa sedikit aneh, itu bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Eimi segera membetulkan perkataannya. Namun, nada bicara berdua Eimi dan Subaru yang agak tidak sopan tidak terlewat oleh mata Akaha, tapi dengan Subaru dan Eimi yang berjalan ke gerbang masuk, dia segera mengejar mereka.
Dengan suasana hati yang bahagia, mereka berdua berjalan memasuki gerbang masuk tanpa perlu mengantre dan menikmati Wonderland.

◊ ◊ ◊
Wonderland adalah taman hiburan bertemakan sihir.
Mungkin karena itu, semua interior dan atraksi yang ada ditempatkan seakan membentuk labirin. Ditambah lagi, setiap atraksi yang ada dibuat seperti semacam teka-teki. Sulit sekali untuk keluar setelah masuk, bahkan kalau kau tidak mencoba semua atraksi sekalipun. Karena tampilan taman hiburan ini, daripada dibilang ‘masuk’ ke taman, akan lebih cocok kalau pengunjungnya dibilang ‘hilang’ di taman.
Dan sekarang, ada seorang gadis yang tersesat di dalamnya.
“Yang benar saja! Pakai LPS (Local Positioning System) memang akan merusak atmosfer bermain, tapi kenapa GPS juga tidak bisa bekerja!?”
Setelah masuk ke tiga atraksi, Eimi entah bagaimana terpisah dari kedua temannya dan sekarang sedang menggerutu pada terminal portabelnya.
“Apa yang kau harapkan? Itulah daya tarik mereka.” Subaru lah yang mengatakannya.
“Tapi mereka memblok sinyal! Mereka sudah kelewatan!”
“Semua akan baik-baik saja. Apa kau tidak melihat ada peta di sekitarmu?”
Bahkan kekesalan Eimi sedikit lebih tenang setelah mendengar jawaban Subaru; dia selalu lembut dan tahu bagaimana cara berhadapan dengan perempuan (meski dia sendiri juga perempuan).
“Aku sudah mencari itu sejak beberapa saat yang lalu….. tapi jangankan peta, petunjuk jalan saja tidak ada dimana-mana.”
“Benarkah…..? Kalau begitu, kau memang tidak bisa, nyalakan saja beberapa petasan dan akan kujemput setelah kulacak dengan sihirku.”
Keahlian Subaru adalah Sihir Tipe Lompatan. Ditambah lagi, dia memiliki kemampuan unik yang bernama ‘Awareness Block’, yang membuatnya sulit untuk dilacak. (Sikap flamboyannya itu caranya menanggapi ketidakpedulian di sekitarnya)
Meski memiliki kemampuan ‘Awareness Block’, dia masih belum bisa menyaingi konselor SMA 1, Ono Haruka, yang identitas aslinya adalah investigator Keamanan Publik. Namun, jika hanya membuatnya dirinya tidak terlihat saat melompat di udara adalah barang mudah baginya.
Di sisi lain, keahlian Eimi ada pada Sihir Tipe Artileri yang merupakan pengembangan dari Sihir Tipe Gerakan, yang mampu mengakselerasi benda besar dalam kecepatan tinggi dalam waktu yang singkat. Saat lomba Pillars Break di Kompetisi Sembilan Sekolah, dia menggunakan sihirnya pada pilarnya sendiri sebagai bola bowling yang diluncurkan ke teritori lawan, yang menghancurkan semua pilar lawan seketika. Untuk Eimi, bukanlah hal yang sulit untuk menggantikan benda besar itu dengan massa udara terkompresi lalu menembakkannya ke langit untuk membentuk suara ledakan sekeras kembang api.
“Subaru, tidak bisa. Menggunakan sihir untuk alasan seperti itu bisa membuat kita kena masalah.”
Namun, Akaha ikut dalam pembicaraan itu melalui terminalnya sendiri dan menolak saran Subaru.
Hukum sudah mengatur dengan jelas penggunaan sihir. Dan jelas, menggunakan sihir untuk alasan seperti mencari teman yang tersesat bisa membuat mereka berhadapan dengan polisi.
“…..Tidak ada pilihan lagi, Eimi. Apa kau bisa melihat Tower of Sages dari tempatmu?”
Tower of Sages adalah atraksi simbolik di Wonderland, dan itu adalah bangunan paling tinggi di taman hiburan itu.
“Ya…. Aku sedikit melihatnya.”
Eimi berputar mencari ke sekitarnya, menemukan pucuk menara itu, yang terlihat seperti batu putih yang dikelilingi pagar.
“Kalau begitu kita bertemu di sana.”
“OK, aku mengerti,”
Mengakhiri pembicaraan itu, Eimi memandang Tower of Sage dengan intens, seakan-akan dia sedang melihat orang yang membunuh ayahnya, tapi, mungkin itu sedikit berlebihan, setidaknya ia seperti melihat pembunuh anjing peliharaannya.
◊ ◊ ◊
Subaru memikirkan sesuatu saat ia memandang alat komunikasi terminal informasinya dengan intens; lampu indikator panggilan sudah mati sekarang.
“Ada apa, Subaru?”
Normalnya, sikap seperti ini akan membuat orang lain jadi curiga. Menjawab pertanyaan Akaha yang terdengar setengah penasaran dan khawatir, Subaru sedikit tersenyum dan berkata,
“Hmm, tidak apa-apa… Aku hanya penasaran kenapa Eimi bisa terpisah dari kita.”
“Karena dia terlalu hiperaktif?”
“Tunggu dulu, itu…”
Akaha menjawab blak-blakan tanpa berpikir, membuat Subaru tidak bisa berkata untuk sesaat.
“Masih masuk akal kalau ini semua terjadi sebentar, tapi dia tidak sadar kalau ia terpisah dari kita setelah lokasi kita sudah terpisah jauh. Aku rasa situasi ini tidak normal.”
“Hmm~ … Apa Eimi itu buta arah?”
“….Umm, Sakura, walaupun aku memasang penasaran bagaimana kalian melihat satu sama lain, tapi ini bukan waktunya….”

Subaru menggelengkan kepalanya, mencoba untuk tidak mendesah, lalu membuat nada bicaranya serius.
“Selain itu, Eimi tidak buta arah. Dia anggota Klub Berburu dan dinilai sebagai anggota berbakat di antara anak kelas 1. Jelas itu tidak mungkin bisa dinilai dari kemampuannya menembak di lomba menembak dalam ruangan, tapi orang yang buta arah tidak mungkin bisa memburu burung dan hewan di pengunungan.”
Penjelasan Subaru membuat Akaha berpikir kalau Eimi mungkin memang hilang saja.
“Dan juga, taman ini dibuat untuk anak kecil. Ini mungkin dirancang seperti labirin, tapi kau seharusnya tidak bisa tersesat di dalamnya, sampai tidak tahu lokasimu sendiri di mana atau tidak bisa melihat petunjuk jalan.”
“…..Kau mungkin benar. Karena ini adalah daya tarik taman, tidak mungkin ini akan menyusahkan orang untuk bermain di sini.”
Bertukar tatapan serius, kedua gadis itu segera pergi ke Tower of Sage saat Subaru berkata “Ayo sekarang kita ke sana”.

◊ ◊ ◊
Tidak seperti teman-temannya yang dibingungkan oleh banyak keraguan selagi mereka menuju ke titik pertemuan, Eimi saat ini malah semakin frustasi dengan ketidakmampuannya mencari jalan ke tempat pertemuan, membuatnya tidak bisa berpikir hal lain.
Saat ini, puncak menara itu masih terlihat jelas. Tapi setiap kali dia mencoba untuk berjalan ke arah sana, dia akan selalu ketemu jalan buntu yang memaksanya mencari jalan lain.
Subaru menilai kalau Eimi ‘tidak buta arah’ tapi itu terlalu konservatif.
Lebih tepatnya, insting arahnya sangat tajam.
Insting arah Eimi dan kemampuannya memetakan suatu medan membuatnya sadar kalau dia hanya berputar-putar di tempat yang sama.
Dengan tujuannya yang terlihat tapi tak bisa dijangkau, memahami situasinya tapi tidak bisa mencari jalan keluar, semua ini makin menambah frustasinya.
Dan sekarang, sebuah pagar mawar berduri menghalangi jalan Eimi. Dihalangi oleh berbagai jalan buntu dia sudah tidak sabar lagi, Eimi sudah habis kesabarannya.
Bahkan laki-laki sekalipun akan kesulitan melewati pagar mawar berduri seperti itu, jadi perempuan tidak mungkin bisa melewatinya.
Tapi Eimi bukan perempuan biasa.
(Lihat saja akan kuledakkan pagar ini……!)
Benar-benar kesal, Eimi merogoh saku rok mininya, lebih tepatnya, dia merogoh lubang di roknya yang terlihat seperti saku. Meraih sebuah sarung yang diikat di pahanya, dia mengeluarkan sebuah terminal CAD panjang, kurus.
CAD utamanya bermodel shotgun tapi itu bukanlah barang yang bisa dibawa-bawa di jalanan. Tapi tetap saja, CAD cadangan ini sudah lebih dari cukup untuk menghancurkan halangan seperti itu. Terbiasa mengoperasikan CAD bentuk pistol dengan satu tangan, Eimi menggunakan kedua tangannya untuk membentuk rangkaian aktivasi di CADnya.
“Tunggu! Akechi-san, apa kau serius?”
Namun, sebuah suara terdengar dari belakangnya di waktu yang tepat. Eimi terkejut seakan wajahnya disiram air. Rangkaian sihirnya menghilang begitu saja di tengah-tengah aksinya.
Tertangkap menggunakan sihir sembarangan.
Lebih tepatnya, dia gagal melakukannya, tapi saat ini, apa yang ingin Eimi lakukan sudah jelas di mata semua penyihir. Tidak mungkin ada orang yang salah mengira aksinya. Dan juga, orang itu mengenalnya, yang mana membuat semuanya jadi semakin buruk. Memikirkan semua itu di kondisinya yang di tengah keputusasaan, Eimi merasa terpojok tanpa jalan keluar, bahkan dia tidak tahu siapa orang yang mengenalinya itu, mungkin masih bisa untuk memohon kepada orang itu untuk melupakan semua ini.
Eimi berbalik badan dengan gugup, lalu diam membeku terkejut. Dia tidak menduga hal itu.
Orang yang memanggilnya adalah badut bertubuh pendek. (Pendek untuk ukuran laki-laki, tapi dia masih lebih tinggi dari Eimi.)
Sirkus biasanya punya badut yang akan melakukan atraksi-atraksi kepada penonton, jadi tidaklah aneh kalau di tempat seperti Wonderland, yang bertemakan sihir, punya staf yang berkostum seperti ini.
Namun, badut itu tidak mengenakan baju longgar badut pada umumnya. Tubuh bagian kanannya warna hitam sementara bagian kirinya berwarna putih. Lengan kanannya ada pola garis-garis horizontal hitam putih sementara lengan kirinya ada pola garis-garis vertikal hitam putih. Celananya warna hitam di kanan dan putih di kiri. Rompinya putih di kanan dan hitam di kiri sementara, dan warna ditukar di punggungnya. Itu adalah kostum yang cukup aneh.
Dia memakai sarung tangan putih di tangan kirinya dan yang hitam di kanannya. Daripada menggunakan topi badut biasanya, dia memakai sebuah topi tinggi dengan garis-garis hitam putih seperti yang lain.
Di bawah topi itu ada wajah yang dilukis hitam putih. Tidak, itu bukan wajah yang dilukis, itu topeng.
Sisi kanannya menunjukkan wajah menangis dengan warna putih sementara kirinya menunjukkan wajah tersenyum dengan warna hitam.
Atmosfer seram ini, daripada seperti badut, ini lebih seperti…
“Phantom?”
Eimi teringat suatu karaker opera.
“Huh? Akechi-san, apa yang kau katakan?”
Suara familiar itu, berbicara dengan akrab, segera menyadarkan Eimi.
“…..Tomitsuka-kun?”
“Ya, aku Tomitsuka.”
Badut itu melepas topengnya menunjukkan sebuah wajah yang familiar.
Tomitsuka Hagane, Kelas 1 B dari SMA 1 yang berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional.
Teman sekelas Eimi.
“Kenapa kau pakai baju seperti itu?”
“Ini kerja paruh waktuku.”
Eimi bertanya dengan terkejut yang mana dijawab Hagane dengan santai selagi memasang kembali topengnya.
“Kerja? Kenapa?”
SMA 1 tidak melarang muridnya kerja paruh waktu.
Apa yang dimaksud Eimi, “Kenapa kau kerja jadi staf Wonderland, pekerjaan yang akan dipilih murid-murid biasa?”
Bukan hanya Tomitsuka Hagane murid SMA Sihir, dia juga murid Golongan 1 di SMA 1.
Dia peringkat lima baik dalam kemampuan praktik dan teori sihir. Nilai keseluruhannya membuatnya murid teladan yang berperingkat empat di angkatannya.
Karena keahliannya tidak cocok dengan perlombaan yang diadakan, dia tidak terpilih untuk ikut dalam Kompetisi Sembilan Sekolah. Tapi dari segi kemampuan tempur sihir dimana sihir dikombinasikan dengan bela diri tangan kosong, dia dirumorkan nomor satu di SMA 1 meski tubuhnya yang pendek dan masih kelas 1. Eimi tidak mengerti rasanya jadi anak nomor satu di SMA 1, tapi yang jelas, dia adalah sebuah penyihir yang luar biasa.
Mereka yang punya kekuatan sihir hebat, meski mereka hanya pemula, tidak akan kesulitan menemukan pekerjaan sementara. Untuk penyihir, lowongan pekerjaan yang ada memberikan pekerjaan yang lebih baik daripada kebanyakan pekerjaan.
Eimi tidak bisa membayangkan gaji per jam untuk pekerja di taman hiburan ini, tapi itu tidak mungkin lebih tinggi dari gaji untuk penyihir.
“Urusan keluarga.”
“…..Oh jadi begitu.”
Dia terpuaskan mendengar jawaban itu.
Seratus Keluarga, Tomitsuka.
Keluarga Tomitsuka adalah salah satu keluarga top di Seratus Keluarga. Selain itu, diantara penyihir di Jepang, mereka juga mempunyai kekayaan yang besar. Ini mungkin berarti kalau Keluarga Tomitsuka punya investasi di perusahaan yang mengelola taman ini atau di perusahaan induknya, sebuah firma pembangunan besar.
Memintanya bekerja sebagai staf mungkin termasuk mengatasi situasi yang berhubungan dengan sihir.
Kalau begitu, Eimi punya sesuatu yang ingin dikatakan kepada Hagane.
“Tomitsuka-kun, jujur saja ya, bukannya ini sudah kelewatan?”
“….Apanya yang kelewatan?”
Eimi mendadak menunjukkan kekesalannya, membuat Hagane mundur kebingungan. Meski wajahnya ditutupi topeng, wajahnya mungkin sekarang sedikit bingung.
“Pagar ini! Aku tidak tahu tentang ‘membuat tempat yang menakjubkan’, tapi menghalangi jalan orang dengan barang seperti ini apa tidak kelewatan? Berkat ini, aku terjebak berputar-putar di tempat yang sama!”
Namun, keadaan mental Hagane kembali kosong setelah mendengar protes Eimi.
Hagane tidak mengerti apa maksudnya.
“Tunggu dulu, Akechi-san. Tidak ada hal seperti itu di Wonderland.”
“Huh?”
Mengira akan mendengar alasan-alasan, mulut Eimi ternganga kaget mendengar jawaban Hagane.
“Bukannya itu sudah jelas? Desain konsep disini adalah ‘membuat sesuatu seperti labirin’ tapi bukan labirin yang sebenarnya. Pada akhirnya, kalau pengunjung tidak bisa menikmati taman ini, maka jumlah pengunjung akan makin berkurang, mengurangi pendapatan.”
“Eh….. tapi…….”
“Lagipula, ini area konstruksi. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke sini. Bahkan para staf sekalipun hampir jarang ke sini. Bagaimana caranya kau tersesat sampai ke sini?”
Eimi hampir panik mendengar penjelasan itu, tapi memaksa tangan dan bibirnya untuk bergerak.
“Kalau kau tanya aku masuk dari mana….. aku masuk dari situ.”
Eimi menunjukkan pagar yang baru saja akan diledakkannya.
“Huh?”
“Aku bilang, aku masuk dari situ! Tadinya tidak ada pagar!”
“…Yang benar saja?”
“Aku serius. Walaupun aku seperti ini, aku tidak buta arah.”
Melihat tampang serius Eimi, pandangan Hagane mendadak tajam di balik topengnya. Memandang pagar itu, di mengeluarkan suara “Hmm…”.
Pagar yang terbentuk dari mawar berduri. Setahu Hagane, tidak ada benda seperti itu di tempat ini. Bahkan jika dia melupakan sedikit detail, area ini tidak seharusnya mendapat akses listrik, karena itu mustahil ada benda yang bergerak. Untuk memastikan, Hagane mengeluarkan terminal  informasinya untuk memastikan kondisi di area itu. Dan memang benar, tidak ada benda yang beroperasi sama sekali di area itu.
“…..Akechi-san, kuizinkan kau melanjutkan apa yang mau kau lakukan.”
“Apa?”
Perkataan mendadak itu….. Atau bisa dibilang, perintah itu, membuat Eimi bingung menanggapinya.
“Tidak apa-apa, ledakkan saja….. Tipe pagar yang digunakan Wonderland tidak pernah berduri sehingga pengunjung tidak akan terluka jika bersentuhan dengan pagar. Setahuku seharusnya tidak ada pagar di sini.”
“Jadi begitu.”
Paham apa yang dikatakan Hagane, Eimi mengulang kembali rangkaian sihirnya yang gagal sebelumnya.
“Kalau begitu aku tidak akan menahan diri…. Tomitsuka-kun, kau yang tanggung jawab ya!”
Sihir Eimi aktif bersamaan dengan dilontarkannya perkataan itu.
Sihir Tipe Gerakan ‘Exploder’.
Itu adalah sihir yang membuat semua objek di jangkauannya, mendorongnya objek ke lokasi sihir digunakan, membentuk sebuah pola melingkar. Sihir itu bisa digunakan pada objek seperti reruntuhan dan barikade, yang terdiri dari objek-objek kecil, tapi sihir ini tidak efektif digunakan pada sebuah struktur besar seperti tembok atau batuan besar. Tapi dengan menganggap setiap mawar itu satu objek dan memerluas area jangkauannya, maka ‘Exploder’ bisa menciptakan sebuah ledakan di tengah semak-semak. Daun-daunnya terlepas, bersamaan dengan batang mereka. Akhirnya, menyisakan sebuah lubang di tengah pagar itu.
Eimi mengangguk, puas, dan berjalan menuju ke lubang yang dibuatnya.
“Tunggu!”
Tapi dia dihentikan suara temannya.
“Apa?” tanyanya, mengganggu kesenangannya yang akhirnya muncul setelah berputar-putar di tempat yang sama.
“Aku rasa aku tahu sesuatu…..”
Tapi dilihat dari ekspresi Hagane (meski begitu, wajahnya ada di balik topeng), dia tidak sadar rusaknya suasana hati Eimi selagi terus memandangi lubang di pagar itu.
“Apa? APA YANG TERJADI?”
Eimi sengaja menaikkan suaranya. Hagane akhirnya menyadari kekesalan yang dirasakannya dan segera menjawabnya dengan cepat.
“Akechi-san, lihatlah. Pagar itu tidak punya akar. Ataupun rangka untuk sulur mawar itu.”
“Iya juga…..”
Beberapa kali tinggal di Inggris, pagar seperti ini sudah menjadi hal yang familiar bagi Eimi. Sebagai tumbuhan yang tidak terlalu kokoh, mawar tidak akan bisa tumbuh tinggi tanpa adanya rangka untuk menyangganya dan tidak mungkin bisa membentuk pagar setinggi dua meter seperti ini.
“Benar, Akechi-san. Ini pagar yang dibuat dari sihir!”
Hagane memasukkan tangannya ke lubang hasil ledakan sihir Eimi.
Seketika, sulur-sulur tanaman itu berkumpul untuk memangsa lengan kanan Hagane.
Dari segi kecepatan, sulur-sulur itu memang terlihat seperti ‘memangsa’ lengan Hagane, bukan ‘menarik’nya. Sulur-sulur itu, penuh dengan duri-duri tajam, hampir menembus lengan baju hitam putih Hagane, menusuk lengan kanannya. Itulah yang seharusnya terjadi.
“Naif sekali!”
Namun, sihirnya berhasil menghalau sulur-sulur itu.
Perlahan melepas gelombang kejut, lengan kanan Hagane meledakkan pagar mawar itu.
“….Apa itu?”
Bagi Eimi, Hagane hanya terlihat melepas gelombang Psion biasa.
Tapi Psion tidak akan bisa bekerja pada suatu materi secara langsung.
Sebuah gelombang Psion seharusnya tidak bisa meledakkan suatu benda.
“Bukan apa-apa, itu cuma Sihir Akselerasi. Dengan membuat gelombang Psion, aku menonaktifkan sihir yang bekerja di pagar itu, lalu aku menggunakan ‘Explosion’.”
‘Explosion’ adalah sihir yang mengakselerasi semua objek dalam jangkauannya. Itu seperti kembaran ‘Exploder’ kecuali prosesnya menggunakan Sihir Tipe Kecepatan bukan Sihir Tipe Gerakan.
Dengan kata lain, selagi sulur-sulur pagar menyentuh lengannya, Hagane menggunakan sebuah Sihir Non Sistematik untuk menghancurkan sihir yang bekerja pada pagar itu, melepaskan lengannya dengan membalik momentum sulur-sulur sebelum duri-durinya menembus kostumnya.
“’Gram Demolition’………?”
Eimi berbisik terkejut dan takut. ‘Gram Demolition’ adalah Sihir Non-Sistematik yang mampu menghentikan sihir lain, menggunakan tekanan dari gelombang Psion. Hampir tidak ada penyihir yang bisa menggunakan sihir itu.
Tapi Hagane menggelengkan kepalanya dengan ekspresi canggung (meski begitu, wajahnya masih tertutupi topeng).
“Yah, sayangnya…. Aku tidak bisa menyalurkan gelombang Psion sebesar itu kalau tidak terjadi kontak tubuh denganku.”
Itu membuatnya Eimi mengingat julukan Hagane.
Julukannya adalah ‘Range Zero’. Eimi pernah mendengar julukan ini sebelumnya yang menggambarkan jarak serangnya. Meski julukan itu mengindikasikan kalau dia tidak ahli dalam sihir jarak jauh, julukan itu juga dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Dulu saat Eimi pertama kali mendengarnya, dia bertanya-tanya kenapa dia bisa punya julukan seperti ini mengingat dia tidak punya pencapaian besar. Setelah melihat langsung, dia akhirnya mengakui kekuatannya.
Satu sentuhan saja darinya akan memunculkan pelindung anti sihir untuk melindungi dirinya, lalu dapat membalas lawannya yang lengah dengan mudah. Selain itu, menyalurkan Psion dalam jumlah besar ke tubuh manusia mampu mengganggu ritme biologis orang tersebut, membuat korban tidak mampu berdiri dengan baik.
“….Omong-omong, cukup tentang sihirku….”
Hagane mungkin salah mengerti sikap Eimi, membuang mukanya malu (tapi karena dia pakai topeng, ekspresinya… tunggu dulu, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi), berbisik dengan suara kecil yang tak terdengar jelas dari balik topengnya.
“Ada yang datang. Apa target mereka kamu, Akechi-san?”
Tidak ada yang tahu apa ini cuma kebetulan ada apa saat atau mereka sengaja menunggu sampai pagar mawar itu dihancurkan, di saat yang sama muncul sekelompok pria, berbaju hitam, topi hitam, muncul mengelilingi mereka berdua.
“MIB[2]?”
“Setahuku tidak ada staf taman ini yang pakai baju seperti itu.”
Baik kejengkelan Eimi atau komentar Hagane, tidak ada dari mereka yang terlihat terbawa suasana mencekam di tempat itu.
Atau mungkin mereka mencoba mengatasi aura mengintimidasi milik orang-orang berbaju hitam itu.
Tapi kalau memang begitu, usaha mereka berakhir sia-sia.
Orang-orang berbaju hitam itu mendekat, dan semakin mengelilingi mereka.
Ketenangan Hagane mulai hilang.
Untuk alasan tertentu, Eimi mengembalikan CAD di tangannya ke balik roknya.
Merasa aneh, Hagane menaruh tangan di wajahnya. Dan bukannya melepas topeng itu, dia malah semakin menekan topeng itu ke wajahnya.
Eimi segera menyadari kenapa dia seperti itu. Jika ditekan, maka topeng akan semakin melekat ke wajah, membuat penglihatan kita semakin jelas karena lubang mata yang semakin besar.
“Apa bisa saya tanya apa urusan Anda ke sini?”
Hagane bertanya dengan sopan, mungkin mengingat statusnya sebagai staf taman ini dan kemungkinan dia juga tidak tahu siapa yang sedang diajaknya bicara.
Namun, dia sendiri tidak mengharapkan adanya balasan.
Aturan utama di film horor untuk membuat atmosfer menakutkan adalah dengan diam.
Itu juga yang dilakukannya saat ini.
Setelah muncul, sambil menyembunyikan identitas mereka, mereka segera menyegel semua jalan keluar, memberikan tekanan diam, lalu bernegosiasi dengan target yang sudah jatuh secara mental dan fisik. Para orang berbaju hitam itu mengikuti prosedur dengan baik sampai bagian menyegel semua jalan keluar.
“Madam Goldie.”
Tapi tidak seperti dugaan Hagane, salah satu dari mereka angkat bicara dengan sopan.
Daripada memanggilnya ‘Nona’, mereka menggunakan gaya kuno dengan memanggilnya ‘Madam’.
“Kami tidak punya maksud apa-apa dengan Anda.”
Meski dia berbicara dengan Bahasa Inggris, bukan hanya Eimi tapi Hagane juga lancar berbahasa Inggris.
“Kami hanya ingin menyerahkan sesuatu kepada Anda. Biasanya, kami tidak akan membuat permintaan tanpa kompensasi. Sebagai gantinya, kami akan memberi apa yang akan Anda butuhkan mulai sekarang.”
“Aku takut kalau aku salah mengerti maksudmu.”
Saat berbicara dengan Bahasa Inggris sebagai ‘Amelia’, bicara Eimi jadi semakin panjang nan rumit daripada saat ia berbicara Bahasa Jepang sebagai Eimi. Mungkin itu karena, aura terhormatnya membuat dia terdengar seperti orang lain. Meski merupakan anggota keluarga cabang, dia masih bagian dari Keluarga Goldie yang prestisius, karena itu aura itu mungkin cocok dengan dirinya.
“Maafkan kelancangan kami. Kalau begitu kami harus lebih jelas lagi menjelaskan.”
Orang yang berbicara dengannya tetap terdengar sopan tapi mereka yang mengeliingi Eimi dan Hagane semakin mendekat, meningkatkan tekanan yang mereka berdua rasakan.
“Madam Goldie, tolong ajari kami Sihir Tipe Artileri, ‘Magic Bullet Tathlum’. Yang akan kami berikan sebagai gantinya adalah bantuan untuk menghentikan pembunuh yang mengancam Anda.”
Hagane sebelumnya berpikir kalau mereka ini ingin melakukan penculikan, setidaknya begitu lah yang dipikirkannya.
Namun, jalannya percakapan ini jauh dari dugaannya, membuatnya ketinggalan kesempatan untuk buka mulut dan mengatakan sesuatu atau mengambil tindakan.
Eimi merespon kepada lelaki berbaju hitam dengan nada bicara kaku tapi tidak gentar sedikit pun.
“Itu sihir rahasia Keluarga Goldie, hanya diajarkan kepada mereka yang diakui oleh keluarga utama. Dengan aku yang tinggal di Jepang jauh dari keluarga utama, apa menurutmu orang sepertiku bisa mempelajari ‘Magic Bullet Tathlum’?”
Memang benar, Keluarga Goldie, berdiri sebagai salah satu penguasa di dunia Sihir Modern di Inggris, yang sebenarnya mewariskan Sihir Kuno dari satu ke generasi ke generasi selanjutnya. ‘Magic Bullet Tathlum’ adalah kartu andalan mereka saat masa perkembangan Sihir Modern, menggabungkan Sihir Kuno ke dalam Sihir Modern. Tapi tidak ada informasi lain yang diketahui selain sihir itu menggunakan proyektil fisik.
Setidaknya, Hagane yang berasal dari Keluarga Tomitsuka, tidak pernah tahu sejauh ini.
“Daripada memercayainya atau tidak, lebih tepatnya kami sudah tahu.”
Namun, dilihat dari respon mereka pada Eimi, Hagane menyimpulkan kalau temannya itu sudah pernah mempelajari ‘Magic Bullet Tathlum’. Segera setelah ia mencapai kesimpulan itu, Hagane tidak bisa menahan rasa ingin tahu yang memenuhi dirinya.
“Melalui jaringan kami, kami tahu bahwa Nyonya Goldie telah mengajari Anda ‘Magic Bullet Tathlum’.”
Sementara itu, Eimi sudah hampir menyelesaikan semua teka-teki ini.
Neneknya mengajari sihir itu kepadanya; itu kebenarannya, tapi itu adalah sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh orang Keluarga Goldie. Eimi tidak pernah menggunakan ‘Magic Bullet Tathlum’ dimanapun di luar rumah Keluarga Goldie bahkan jika ada orang luar yang melihatnya berlatih itu, mereka tidak akan tahu kalau itu ‘Magic Bullet Tathlum’.
Alasan kenapa ‘Magic Bullet Tathlum’ disebut sihir rahasia adalah karena rangkaian aktivasinya. Umumnya, penyihir hanya bisa mengenali sihir melalui efek atau efek potensialnya. Hanya melihat dari efek perubahan fenomenanya, mustahil ‘Magic Bullet Tathlum’ dikategorikan sebagai Sihir Tipe Gerakan.
Tapi orang ini tahu kalau dia sudah belajar ‘Magic Bullet Tathlum’, dengan kata lain….
(Ada konflik internal di dalam keluarga…… Pantas saja nenek mendadak mengeluarkan keputusan seperti itu….)
Ini semua kemarin belum ada, baru saja tadi pagi masalah ini muncul. Eimi, sebagai orang yang bersangkutan, sampai mau ketawa melihat betapa cepatnya semua hal ini berjalan.
“Madam Goldie, bagaimana? Kami telah mendapat informasi tak terbantahkan kalau akan ada beberapa orang yang akan membayakan Anda. Maafkan saya yang lancang, tapi kedua orang tua Anda hanyalah penyihir biasa. Kekuatan mereka saja tidak cukup untuk menjamin keselamatan Anda.”
(Jadi kalau aku menolak, kalian yang akan menjadi ‘ancaman’ bagiku.)
Eimi sedikit mendesah.
“Kenapa kau menginginkan sihir itu?”
Eimi merasa sedikit bersalah menyeret Hagane ke dalam masalah ini, mengingat dia hanya sebatas teman sekelasnya.
“Tapi, aku sudah tahu jawabannya.”
Mereka bukan orang yang akan pergi begitu saja setelah urusan selesai.
“Sihir itu adalah bukti sah anggota Keluarga Goldie.”
Kalau begitu, dia sudah tidak bisa mengharapkan jalan yang damai lagi.
“Bahkan kalau orang itu lahir di keluarga utama, tapi tidak bisa menggunakan sihir itu, mereka tidak akan diakui sebagai anggota keluarga utama.”
Eimi sadar akan itu.
“Biasanya, hak waris mereka akan dihapus juga.”
Segera setelah Eimi berkata seperti itu, aura pembunuh dapat dirasakan muncul dari para orang berbaju hitam yang mengelilingi mereka.
“Itu sangat mudah dipahami.”
Eimi kembali berbicara Bahasa Jepang dan mengejek mereka, sementara itu pertarungan sudah akan dimulai.
“Anda menolak bekerja sama? Sayang sekali.”
Para orang berbaju hitam juga berganti bicara Bahasa Jepang pada paruh akhir perkataanya.
“Tangkap Madam Goldie. Luka ringan tidak apa-apa. Habisi bocah yang satunya itu.”
Dengan perintah orang itu, sebuah kilatan perak muncul dari balik lengan baju mereka.
Sebuah belati kecil, yang biasa dilempar, muncul di tangan mereka.
Itu tidak sesuai dengan tema yang diusung Wonderland, tapi mereka punya belati dibalik lengan baju mereka.
Belati itu berguna untuk dua hal: pertarungan jarak dekat dan untuk dilempar. Belati-belati di tangan mereka sudah dipegang untuk dilempar. Pertarungan jarak dekat dengan melempar belati adalah taktik cocok untuk melawan penyihir.
Namun, sebelum belati itu dilemparkan, posisi mereka berubah.
“Menghabisiku? Oh tolonglah, jangan memutuskan sesuatu yang berbahaya bagimu sendiri.”
Sebelum mereka melempar belatinya, monolog sang badut sudah menyerang mereka terlebih dahulu.
Badut itu tidak menerjang mereka dengan kecepatan tinggi sampai tidak bisa dilihat mata telanjang.
Dia hanya berlari seperti biasa ke arah musuhnya. Meski dia cepat, siapapun juga bisa sepertinya dengan sedikit latihan. Selagi pemimpin orang berbaju hitam itu sedang berbicara dengan Eimi, badut itu sudah mulai beraksi.
Dia dengan mudah tidak menarik perhatian, bersembunyi seperti hantu di bayang-bayang.
Hagane bertopeng monokrom sedikit menekan telapak tangannya pada dada satu orang itu.
Itu terlihat seperti sentuhan lembut.
Tapi orang yang disentuhnya terlontar ke belakang sejauh sepuluh meter sebelum akhirnya terjatuh.
Si hitam putih itu bergerak dengan gesit.
Permainan sembuyi-sembunyinya membuat dirinya sulit dilihat.
Tebasan karate Hagane mengenai bahu salah seorang di sampingnya.
Membuat suara retakan yang cukup keras.
Daripada dibilang tebasan keras, dia hanya sedikit menepuknya, dengan lembut.
Meski begitu, tebasan Hagane berhasil mematahkan tulang humerus orang tersebut.
“Seni Sihir!?”
Pemimpin orang berbaju hitam itu berteriak kaget.
‘Seni Sihir’ adalah sebutan singkat dari Seni Bela Diri Sihir.
Seni Bela Diri Sihir berisi teknik-teknik tarung tangan kosong yang dikombinasikan dengan sihir.
Menggunakan titik kontak sebagai titik rangkaian aktivasi, menghilangkan proses penentuan koordinat lokasi target sihir. ‘Sihir Kontak’ seperti ini adalah salah satu teknik dasar Seni Bela Diri Sihir.
Mungkin mendengar teriakan pemimpin mereka, yang lain segera mengepung Hagane dan memperbaiki posisi mereka.
Melihat mereka menjadi lebih hati-hati, lebih serius, Hagane tersenyum.
“Pelanggan yang terhormat, area ini belum dibuka untuk publik.”
Dengan sigap, Hagane menaruh tangan kanannya di dadanya sambil mengangkat tangan kirinya menyamping dan menapakkan kaki kanannya di belakang kaki kirinya.
“Saya minta maaf tapi saya harus meminta Anda semua untuk pergi.”
Dengan mudah memberikan tundukan.
“Atau mungkin, perlu saya antar? Ke kantor polisi.”
Hagane mengejek mereka dengan suara penuh hormat.
Mereka di belakangnya perlahan mendekat untuk menyerangnya. Satu orang menyerang, membuat sela di lingkaran yang mereka bentuk. Itulah yang diinginkan Hagane.
Memanfaatkan apa yang mereka lakukan, Hagane berbalik badan dan menerjang orang itu.
Orang-orang itu juga bukan orang sembarangan.
Sambil memegang belati, dia menusuk Hagane.
Daripada berusaha menyerang kepala yang dapat dengan mudah dihindari, serangan itu diarahkan ke tengah badannya, dibawah taju pedangnya (area sekitar perut).
Namun, warna-warna monokrom itu membuatnya tidak bisa mengarahkan serangannya dengan baik. Dengan mudah, Hagane menghindari tusukan orang itu dan mendaratkan pukulan ke rahang bawahnya.
Itu bukan sihir asli tapi itu sihir panggung, menggunakan ilusi optik untuk menciptakan trik yang membuat orang pusing.
Itu seperti tarian sihir yang memanfaatkan seluruh bagian tubuh, bukan sesuatu yang bisa dipelajari dengan mudah.
Kostum aneh Hagane bukan cuma dibuat untuk keperluan perkerjaannya sebagai staf taman hiburan tapi juga disesuaikan untuk pertarungan.
Termasuk si pemimpin, orang-orang itu memfokuskan perhatian mereka pada Hagane.
Itu adalah kesempatan Eimi.
Eimi merogoh saku jaket militernya.
Mengeluarkan sebuah CAD bentuk terminal.
Membuka kartu reminya membentuk kipas di kedua tangannya.
Sambil memegang kartu-kartu itu, Eimi mengayunkan tangannya.
Terlepas dari tangannya, kartu-kartu itu melayang di udara.
Beberapa kartu itu meluncur lurus dan sisanya berputar melengkung.
Terbang cepat sampai tidak bisa diikuti mata, kartu-kartu itu menembus baju mereka, menusuk tubuh mereka.
Darah terciprat.
Tidak ada yang terluka parah, tapi juga tidak terluka ringan.

“Puas sekarang?”
Eimi bertanya dengan Bahasa Jepang kepada pemimpin mereka.
Tidak gentar sedikit pun melihat darah sebanyak itu, dia seperti melihat jus tomat tumpah.
“Ini ‘Magic Bullet Tathlum’ yang kau mau. Tapi kalau cuma dilihat, kalian tidak akan tahu sihir apa ini.”
“Tidak mungkin….. ‘Magic Bullet Tathlum’ seharusnya menggunakan kerang-kerang kecil….”
Orang itu mungkin tidak sadar kalau dirinya sedang berbicara Bahasa Inggris untuk menjawab Eimi yang menggunakan Bahasa Jepang.
Rasa sakit yang intens membuat mereka tidak sadar akan itu.
Daripada begitu, mengingat hanya dia seorang yang tersisa, dia memang pantas menyandang gelar pemimpin.
Namun, Eimi tidak terkesan melihatnya. Tapi dia juga tidak peduli.
“….Jadi kau bahkan tidak tahu tentang ini? Sepertinya aku sudah bicara terlalu banyak.”
Mata Eimi terus ke kanan kiri, menunjukkan kalau dia sedang berpikir bagaimana caranya berbohong atas apa yang barusan dilakukannya. Dia menyesal sudah ‘memberitahu’ kalau dia menggunakan sihir itu, ‘Magic Bullet Tathlum’. Dia jadi terbawa suasana saat dia sadar musuhnya tahu tentang sihir itu.
Tidak peduli apa akibatnya, Eimi segera merubah ekspresi bingungnya menjadi ceria.
“Uh~ kau salah. Proyektil yang digunakan ‘Magic Bullet Tathlum’ tergantung pada penggunanya masing-masing. Yang menggunakan kerang kecil, seingatku adalah kaket buyutku yang meninggal tahun lalu? Omong-omong, dia punya cucu yang juga dua tahu lebih tua dariku? Aku belum pernah bertemu dengan sepupu jauhku ini, tapi dia mungkin majikanmu, bukan?”
Dengan satu tangan di pinggangnya, Eimi membentuk gestur pistol di tangan yang lain, meneruskan bicaranya “Bagaima tebakan jeniusku?” Eimi ingin menguasai arah pembicaraan ini, tapi sepertinya orang itu tidak terintimidasi.
Akhirnya, dia tidak merespon sama sekali.
“Permisi…….. Akechi-san?”
Selagi Eimi menunggu orang itu untuk menjawab, Hagane berbicara kepadanya dengan nada sedikit hati-hati.
“Hmm?”
“Orang itu sudah pingsan.”
“Huh?”
Walaupun dia tidak takut darah, Eimi segera berlari menuju orang-orang itu.
“Tunggu dulu, jawab dulu pertanyaanku sebelum pingsan!”
“Jangan meminta yang tidak tidak.”
Eimi berlari ke orang diam itu, melihatnya seperti akan menamparnya. Mengira kalau dia bisa menghentikannya sebelum terlambat (karena jika lebih parah lagi, mereka mungkin akan mati), Hagane segera berlari dan terlihat jengkel dan lega di saat yang sama melihat Eimi bisa menahan diri.

“Oh…… T-Tomitsuka-kun?”
Melihat Hagane di sebelahnya terlihat jengkel, tapi karena dia pakai topeng, Eimi mendadak diam dan melihatnya dengan situasi agak canggung, mencari kata-kata yang pas.
Eimi kembali ke dirinya yang biasa berbeda dengan ia beberapa menit yang lalu. Meski Hagane berpikir seperti itu, dia entah kenapa takut mengabaikannya, jadi ia menjawabnya.
“Ya, Akechi-san, ada apa?”
“Umm….. Maaf menyeretmu ke masalah ini!”
“Oh, jadi begitu.”
Eimi menundukkan kepalanya dan meminta maaf, menimbulkan reaksi kecewa dari Hagane.
“Meski aku cuma paruh waktu, aku juga anggota patroli Wonderland. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihat aksi penculikan yang mungkin terjadi di taman ini, bahkan kalau aku tidak melakukan apapun. Selain itu, jelas ini semua kesalahan kami membiarkan orang mencurigakan sebanyak ini masuk ke sini, jadi jangan dipikirkan.”
Eimi seketika kembali ceria setelah mendengar jawaban Hagane.
Melihat antusiasmenya, Hagane hanya bisa tersenyum kecut.
Merasa kalau situasi sudah menghangat, Hagane mengatakan sesuatu tanpa pikir panjang.
“Dan juga, aku bisa melihat sesuatu yang langka…… Jadi itu Sihir Tipe Artileri, ‘Magic Bullet Tathlum’. Sihir yang menggunakan rangkaian aktivasi pada suatu objek yang membuatnya menjadi proyektil. Aku tidak tahu kalau sihir bisa digunakan seperti itu, bahkan saat digunakan, kau tidak perlu pakai CAD atau membuat rangkaian sihir. Aku mengerti sekarang, sihir itu jelas bisa dibilang sihir andalan Keluarga Goldie.”
Tepat setelah dia selesai berbicara, Hagane segera menyadari perubahan suasana di situ.
“…Bisa tahu sebanyak itu dalam sekali lihat, apa harus kubilang, seperti yang diharapkan dari keturunan Keluarga Tomitsuka, salah satu yang terkuat di antara Seratus Keluarga?”
“Oh? Umm….. Akechi-san?”
“…Sayang sekali, kukira kita bisa berteman……”
“Huh? Eh? Kenapa kau bilang seperti itu?”
“Tomitsuka-kun, kuberitahu kau satu berita bagus.”
Suatu alarm berbunyi keras di kepala Hagane.
Untuk alasan tertentu, kakinya tidak bisa bergerak.
“Uh….. Apa……?”
“Yang namanya sihir rahasia berarti itu harus dirahasiakan apapun yang terjadi.”
“Woa! Tunggu dulu!”
Kartu-kartu yang ada di tangan kanan Eimi dibuka kembali seperti kipas, membuat Hagane melambai-lambaikan tangannya dengan panik.
Bukan hanya itu, dia juga segera melepas topi dan topengnya.
“Aku tidak akan bilang siapapun! Aku akan tutup mulut! Lihat saja wajahku! Aku tidak kelihatan seperti pembohong, ‘kan!?”
Dia sepertinya melepas topengnya hanya untuk mengatakan itu.
Hagane mendadak berlutut, dengan ketegangan yang sudah menurun, Eimi akhirnya tidak melanjutkannya lagi.
“…..Ah, terserah. Lagipula, aku juga tadi bisa melihat tarianmu yang unik.”
“Y-ya.”

Kali ini ganti Hagane yang terlihat kebingungan, sambil masih berlutut.
Dengan begitu saja sudah cukup buat Eimi untuk tahu kalau Hagane tidak akan mengatakannya kepad orang lain tentang Sihir Tipe Artileri itu. Hagane mungkin seperti itu karena ia sudah tidak punya jalan lain. Sederhananya begitu.
“Baiklah, ayo kita jaga satu sama lain!”
Eimi berlutut (dengan kedua kakinya yang tertutup untuk mencegah celana dalamnya terlihat di balik rok mininya) untuk melihat Hagane dengan lurus. Hagane segera tersenyum malu dan mengangguk.
“Oh, aku hampir lupa!”
Mungkin setelah lega, Eimi mendadak berdiri dan mengeluarkan CAD dari balik roknya.
Selagi Hagane masih terlihat bingung, berpikir “Apa?”, Eimi mengaktifkan sihirnya.
Sihir yang digunakan itu menghasilkan cahaya, panas, dan aroma.
Kartu-kartu yang bersarang di tubuh orang-orang berbaju hitam itu tiba-tiba terbakar, dan menutup luka itu sebelum berubah jadi abu.
“Pemusnahan barang bukti dan penghentian pendarahan, selesai. Sekarang, staf paruh waktu Tomitsuka-kun.”
“A-Ada apa?”
Nada bicara Eimi tiba-tiba berubah membujuk, membuat Hagane terasa was-was.
Tapi terkadang was-was saja tidak cukup.
“Luka yang dialami pengunjung taman semuanya tanggung jawab tenaga medis, ‘kan? Dan kalau mereka ketahuan membawa senjata ilegal, itu juga tanggung jawab staf taman hiburan untuk memanggil polisi, ‘kan?”
“Akechi-san… Apa kau mencoba melimpahkan semua ini kepadaku?”
“Beraninya kau bilang seperti itu, tentu saja tidak! Tapi pikir saja, aku hanya ‘pengunjung’ hari ini. Dan teman-temanku sedang menungguku.”
“…..Itu tidak adil.”
Eimi tetap tidak terpengaruh dengan tatapan kesal Hagane.
“Baiklah, kalau begitu semua sudah jelas~ Sampai jumpa di sekolah, Tomitsuka-kun!”
Eimi lalu meninggalkan tempat kejadian dan melambaikan tangannya meminta maaf. Melihatnya pergi, ekspresi Hagane perlahan berubah dari datar menjadi tersenyum kecut, diakhiri dengan menghela napas lega.

◊ ◊ ◊
Eimi akhirnya bertemu dengan Subaru dan Akaha. Mereka bertiga duduk untuk makan crepes di sebuah bangku panjang. Saat seorang staf taman berkostum garis-garis lewat, Eimi mengeluarkan pertanyaan yang tidak ditujukan ke siapapun.
“Jelas-jelas tempat ini Wonderland jadi kenapa tidak ada satu pun yang berkostum kelinci…..?”
“Ayolah…. Bukannya itu nanti akan menimbulkan masalah hak cipta?”
“Hmm? Kau sebenarnya mau ditemani laki-laki berkostum kelinci, Eimi?”
“Tentu saja tidak! Hah~….. Aku cuma berpikir, karena kita tidak setiap hari bisa ke sini, akan lebih baik kalau staf-staf disini memakai kostum yang lebih cocok dengan tema.”
“Kostum seperti apa yang menurutmu cocok?”
“Hmm~ …..Kira-kira, mungkin penyihir dengan topeng gaya Venesia atau semacamnya?”
Yang muncul di pikiran Eimi adalah badut berbaju monokrom seperti Phantom, tapi dia rasa anak kecil pasti akan menangis melihat sesuatu seperti itu, meski dia berusaha mencari sesuatu yang lain.
“Oh, itu mungkin bagus juga.”
“Ya, aku setuju. Kedengarannya menarik.”
Lalu setiap saat ada staf taman hiburan yang lewat, gadis-gadis itu selalu membayangkan kostum-kostum yang cocok di pikiran mereka, berkata “Bukan seperti itu, bukan seperti ini”. Sementara itu, Eimi diam-diam memikirkan suatu ide ekstrem, dari perspektif Hagane, seperti “Akan bagus kalau Tomitsuka-kun berkostum kelinci”.



[1] Keindahan yang menunjukkan ketenangan dan kesederhanaan.
[2] Men In Black