QUICK LESSONS
(Author : Rafli Sydyq)

            “Ahh... malu sekali”. Bagaimana tidak, kami baru saja bertemu beberapa menit tapi dia langsung menembakku. Tidak, lebih  tepatnya dia melamarku.
Saat aku tanyakan apakah pernyataannya adalah untuk menjadikanku kekasihnya dia malah menjawab “Aku tidak ingin kau hanya menjadi kekasihku, tapi aku ingin kau menjadi istriku”.
Bagaimana ini bisa terjadi, kami baru saja bertemu dan dia sudah melamarku dan aku dengan mudah menerimanya. Ya itu tidak bisa ditolong karena dia tampan dan disaat berada didekatnya entah kenapa aku merasa nyaman. Serta fakta kalau dia juga seorang pemain jadi kurasa tidak apa-apa.
Sekarang, dia sedang menepati janjinya untuk mengajariku sihir. Karena dia seorang pengguna Light Magic jadi dia hanya akan mengajariku teorinya.
Terdapat dua hal yang sangat penting dalam sihir, pertama adalah Tekad dan yang kedua adalah Imajinasi. Tekad yang kuat dibutuhkan untuk merapalkan sihir, entah itu untuk melindungi atau tekad untuk menghancurkan. Lalu Imajinasi adalah untuk membayangkan sihir apa yang akan kita keluarkan, semakin kuat bayangan kita maka akan semakin kuatlah sihir yang akan kita keluarkan.
“Hei Rafa, bukankah sistem game ini terlalu rumit?”
“Nanti kau juga akan terbiasa”
Ini aneh, meskipun aku jarang bermain game bertema fantasi, tapi dari apa yang aku dengar biasanya terdapat menu pemilihan skill dan pemain akan bisa mempelajari sebuah skill dengan membayar menggunakan skill point. Bukannya berlatih secara manual seperti ini.
Oh iya, kami juga sepakat untuk menggunakan nama panggilan. Karena namanya adalah Rafael maka aku memanggilnya Rafa, dan dia juga akan memanggilku dengan sebutan Shery.
Sudah sekitar lima jam berlalu dan akhirnya aku bisa menguasai sihir baru. Sihir baruku adalah [Fire Magic-Fire Burst], sihir ini akan menghasilkan sebuah ledakan kecil yang cukup untuk menghempaskan musuh yang mendekat sehingga akan memberikan jarak yang cukup bagiku untuk menjauh atau mengeluarkan serangan balasan.
Selang beberapa jam kemudian aku akhirnya mempelajari beberapa sihir baru lainnya dan tak terasa matahari sudah mulai tenggelam. Kami sepakat untuk mengakhiri latihan dan kembali pulang ke kota.
Saat dalam perjalanan pulang Rafa terus melihat kearahku, aku yang bingung sekaligus malu karena terus diperhatikan, apakah ada yang aneh dariku? Atau ada bagian dari pakaianku yang sobek? Atau ada hal lainnya?
“Shery, bagaimana kalau setelah ini kau ikut denganku menuju kota Lawton, disana kau bisa menemukan banyak ‘Magic Book’ serta peralatan yang sangat bagus bagi para penyihir?”
Jujur itu cukup tidak terduga. Setelah melamarku sekarang dia hendak membawaku berpergian!.
“Eh! Tidak bisakah kita mencarinya disini?”
“Tidak bisa, kualitas peralatan sihir di Pruistine kurang bagus dan jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Kota yang cocok bagi para penyihir hanyalah di Lawton, Harva, atau Ibukota Kerajaan dan yang paling dekat adalah Lawton”
Kalau dipikirkan lagi aku memang tidak menemukan banyak peralatan sihir di Pruistine dan kondisi peralatan yang kupakai sudah cukup memprihatinkan, jika dibandingkan dengan peralatan milik Rafa yang terlihat bagus dan bergaya meskipun itu membuatnya terlihat seperti seorang mafia, peralatan yang kupakai hanya membuatku terlihat seperti seorang gelandangan.
“Baiklah, tapi kapan kita akan berangkat?”
“Sebenarnya aku awalnya hendak pergi tadi siang, tapi karena aku bertemu denganmu aku mengundurnya dan baru akan berangkat sore ini”
“Eh! Sore ini?”
“Yup, sore ini. Jadi setelah kita sampai membeli persediaan tambahan juga sebuah kereta kuda kurasa kita baru akan bisa pergi saat senja”
“Kereta kuda! Bukannya mereka mahal, membelinya hanya karena aku...”
“Itu bukan masalah, aku sudah mengumpulkan banyak uang saat BETA. Lagipula tidak mungkin aku akan membiarkanmu berjalan seharian. Jadi, bagaimana? Apakah kau bisa pergi sore ini?”
“Hmm... ya karena itu yang kau inginkan maka aku hanya akan menyetujuinya, tapi aku harus mengatakan kepada adikku kalau aku akan ikut denganmu, apakah itu boleh?”
“Tentu saja”
Setelah itu kami akhirnya bisa melihat gerbang kota. Dengan gugup aku melangkahkan kakiku karena setelah ini kehidupanku akan berbeda dari yang biasanya.