TERPENUHI, KEMUDIAN TERLEWATKAN
(Part 4)
(Translater : Blade)

Sudah pertengahan November, mulai ada tanda-tanda menuju musim dingin. Setiap turun hujan, suhu selalu turun. Pagi malam menjadi semakin dingin. Setelah bulan Desember udara semakin dingin. Biarpun nampak matahari  di atas langit, Sorata tetap saja merasa dingin. Dan pemandangan yang dingin ini terasa menyedihkan mungkin karena tinggal sebulan lagi tahun ini akan berakhir.
Di hari Minggu minggu pertama Desember, saat malam, Ryuunosuke, Rita, Iori, dan Misaki kumpul di kamar Sorata.
Mereka sedang mengecek proses versi Beta yang akan mereka kumpulkan tanggal 26 nanti. Targetnya adalah bisa memainkan 4 bagian dari 8 bagian, 4 bagiannya lagi juga mesti dibuat selesai.
Kalau sesuai kecepatan Sorata, sepertinya bisa selesai. Karena Ryuunosuke menunggu Sorata, jadi sebenarnya bisa lebih cepat kalau Sorata cepat, tapi setidaknya selama ini lancar saja. Walaupun ada beberapa masalah pada monster ikan yang dibuat Rita, tapi bisa diperbaiki. Dan boss yang dibuat Misaki sudah selesai, boss kali ini berbeda, ada tambahan tanduk dan perbedaan warna dari sebelumnya.
Jadi tidak ada malasah selain ini, tapi yang ini merepotkan.
Huft........apa itu hidup~?
Iori bertanya pada si kucing, Sakura. Tatapannya kosong. Ia duduk di antara kasur dan lemari baju, dirinya terlihat sangat kecewa.
Sakura hanya menjawab ‘meow’. Apa dia sedang menyemangati Iori? Tapi bisa jadi itu karena dia lapar.
Sudah 3 minggu sejak mereka membuntuti Kanna waktu itu.......... Setelah kejadian itu Kanna tidak pernah pulang larut malam lagi. Sepertinya ia langsung pulang begitu jam sekolah selesai. Pada dasarnya setiap hari ketika Sorata Mashiro dan Rita pulang, mereka selalu bisa melihat sepatu Kanna di rak sepatu. Atau ketika kebetulan bertemu,
Aku pulang.”
Berkata begitu.
Setidaknya tidak perlu khawatir lagi.
Hanya, yang terjadi hari itu meninggalkan pengaruh yang sangat besar.
“Huh~”
Iori menghela napas.
“Benar-benar depresi.”
Dalam 3 minggu ini musiknya tidak ada perkembangan sama sekali. Walaupun ada menulis beberapa, tapi itu lagu tentang putus cinta semua…..
Walaupun ingin dia mempersipakan musik untuk iklan, tapi sepertinya tidak memungkinkan.
“Kalau Rita membiarkannya untuk memegang dadanya, mungkin Iorin akan langsung semangat kembali, pasti!”
Misaki mengatakannya dengan percaya diri. Hanya, bukannya sama saja dengan memegang punya Misaki.
“Bolehkah, Ryuunosuke?”
“Kenapa meminta izin padaku?”
“Karena mungkin suatu saat nanti akan menjadi milik Ryuunouske.”
Rita yang duduk di atas kasur sedikit mencondongkan badannya. Bibirnya yang lembut begitu menggoda, bahkan model yang ada di sampul majalah kalah.
Biasanya Iori pasti akan langsung berteriak dan ribut bila melihat semua itu, tapi sekarang ia hanya menghela napas, dan sama sekali tidak melihat ke Rita sedikitpun.
“Hidup itu, tentang mencari jalan kematian…….”
Dan berbisik-bisik sendiri.
“Itu jalan samurai kali.”
“Aku paham penderitaan yang dialami Iori sekarang.”
Rita menaruh tangannya di depan dada dan menatap ke Ryuunosuke.
“Ditolak itu sangat menyakitkan.”
“Ya.”
Misaki juga menganggukkan kepalanya. Sepertinya ia mengenang kembali yang ia alami sebelum menikah dengan Jin.
Tapi, percakapan macam apa ini?
Kalau Sorata tidak salah ingat, harusnya sekarang mereka sedang sibuk mengurus game…….dan sedang berkumpul untuk rapat demi mengumpulkan versi Beta.
“Kanda, si berantakan kalau begitu, kita tidak akan bias membuat versi Beta.”
“Tidak hanya kau sendiri, aku sendiri juga berpikir begitu…….”
“Kalau begitu, pikirkan caranya.”
“Bagaimana caranya?”
“Ya itulah pekerjaan Kanda.”
Ryuunosuke kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar.
Iori yang menyadari ini.
“Ah, rapat sudah selesai ya. Kalau begitu……”
Setelah berkata begitu, Iori juga berjalan keluar dari kamar seperti mayat hidup.
“Ini parah sekali……..yang benar saja, kalau begitu aku harus melakukan sesuatu.”
“Malah menurutku ada hal lain yang harus Sorata perhatikan juga.”
Rita melihat ke langit-langit kamar. Di atas……….itu adalah kamar Mashiro.
“Apa Mashiro tidak apa-apa?”
“Omong-omong, hari ini belum keluar dari kamar loh~”
Misaki pindah ke depan TV dan mulai bermain game.
“Yang betul? Dari semalam?”
“Dia sekarang sangat sibuk. Memperbaiki komiknya, sampul untuk majalah, dan naskah untuk akhir tahun biasa dikumpul lebih awal…….juga mulai bulan depan, halaman naskah yang akan dikumpul akan bertambah 4 halaman.”
Jadi, jangankan untuk kencan keluar, kencan dalam pun tidak ada waktu.
“Tapi, kemarin saat pulang katanya semuanya sudah selesai kecuali naskahnya saja. Jadi, pasti sempat kan?”
“Aku kecewa dengan Sorata.”
Sorata salah berkata.
“Aku sama sekali tidak memikirkan masalah tentang komik. Dibanding semua itu, Sorata!”
Rita menunjuk ke Sorata.
“Apa……”
“Akhir-akhir ini waktu bersama Mashiro menjadi semakin sedikit kan?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak kencan saat akhir pekan, juga tidak kencan dalam kamar.”
“Karena aku sendiri juga sangat sibuk.”
Waktu untuk berduaan berkurang juga karena Sorata sendiri. Sudah dekat dengan batas pengumpulan, sudah tidak lama lagi. Walaupun bisa dipaksakan, tapi sekarang tidak ada waktu untuk bersantai.
“Aku tahu kalian masing-masing ada hal yang harus dilakukan, tapi setidaknya masih berencana melewati Natal bersama, 'kan?”
“Mungkin.”
“Bagi Sorata dan Mashiro yang sekarang, 3 minggu pasti terasa sebentar saja, kan?”
Setelah dibilang begitu, Sorata sedikit panik.
“………begitulah.”
“Jadi…….”
Untuk menjeda Rita yang masih ingin lanjut berbicara, Sorata berdiri dari kursinya.
“Sorata?”
“Sekarang aku undang dia.”
“Nah kalau mau, pasti bisa.”
Kalau bisa melakukannya sebelum di komentar Rita, pasti bagus. Walaupun sangat susah…..
Naik ke lantai 2, Sorata mengetuk pintu kamar no 202.
“Halo~Mashiro, ada?”
“…….”
Tidak ada balasan.
“Yah, tidak pernah ada balasan juga…….”
Lalu berbisik-bisik sendiri dan membuka pintu kamar.
Hari ini di dalam kamar juga berantakan seperti biasa. Dari gaun sampai pakaian dalam, naskah komik dan berkas komik, semuanya berantakan di atas kasur.
Semua karena Sorata.
Melihat ke sekeliling kamar yang begitu menyedihkan.
“………”
Mashiro tidak ada.
Komputer masih menyala, sambil memastikan, Sorata pindah ke depan meja komputer.
Dan jongkok.
Seperti yang diduga, Mashiro tidur di bawah seperti kucing.
“Dari kemarinkah begadang………?"
“Hn…………?”
Mashiro mulai bereaksi terhadap Sorata yang berbisik-bisik sendiri.
“…...Sorata?”
Dengan membuka sedikit matanya dan memanggil Sorata.
“Maaf membangunkanmu.”
“Tidak apa.”
Mashiro sekali lagi menutup matanya.
“Sekarang aku sangat sibuk dengan pengerjaan game ku.”
“………..hn.”
“Jadi sementara tidak ada waktu untuk kencan…….”
“……hn.”
Ia membalas seperti sedang mengigau.
“Tapi, akan berusaha untuk menyelesaikannya sebelum batas pengumpulan……..Jadi, nanti Natal mau pergi ke suatu tempat?”
Mashiro langsung membuka matanya dan mengangkat kepalanya.
“Mau.”
Lalu keluar dari bawah meja.
“Aku ingin pergi melihat pohon.”
“Eh?”
“Pohon yang bersinar-sinar.”
“Ah, pohon Natal. Hn, boleh juga.”
“Ingin lihat bersama Sorata.”
Sepertinya akan survey dulu mau pergi kemana.
“Batas kumpul naskah tidak ada masalah, 'kan?”
“Aku akan menyelesaikannya sebelum Natal.”
“Kalau begitu, ayo berjuang dan kita nikmati Natal bersama.”
“Hn…..”
Seharusnya pembicaraan selesai di sini.
“……….”
Tapi entah mengapa Mashiro masih terus menatap ke Sorata.
“Ada apa?”
“Tidak ada kencan.”
“Eh? Ah, i-iya.”
Jadi sejak bulan lalu tidak ada kencan, sejak janji untuk nonton waktu itu dibatalkan, tidak ada ke mana-mana. Karena masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Seperti yang dibilang Rita, selama 2 minggu ini bahkan kencan dalam ruangan juga tidak ada…..
“Apa sekarang aku dan Sorata adalah pasangan?”
Terkejut oleh pertanyaan yang tiba-tiba.
“Te-tentu saja.”
“Walaupun tidak ada kencan keluar?”
“………”
“Juga tidak ada kencan dalam ruangan?”
“Tadi kita baru janji untuk menikmati Natal bersama, 'kan?”
“Hn, ya…….”
Entah apakah Mashiro menerimanya, atau merasa ngantuk lagi, ia menutup matanya perlahan.
“Natal, tidak sabar………”
Terdengan bisikan dengan suara yang kecil.
Sorata melihat ke Mashiro yang tertidur.
“Susah juga menjadi sepasang pasangan.”
Dan berbisik-bisik.
Bukan hanya tentang menghargai dia. Juga perlu memberitahukan apa yang kita pikirkan. Kalau lupa semua itu, mungkin tidak bisa jadi pasangan…..
Mungkin ini maksudnya Mashiro tadi.
Selalu sibuk, tidak ada waktu berduaan, tidak peduli sepercaya apapun tetap saja timbul rasa cemas. Bahkan Sorata sendiri merasa begitu. Kalau rasa cemas itu dibiarkan pasti akan tumbuh menjadi kecurigaan. Lalu perasaan dengan perlahan akan memudar, suatu hari nanti pasti begitu kalau dibiarkan begitu saja.
“Harus natal bersama-sama.”
Sorata sudah memutuskannya, dan berjalan keluar dari kamar.
Turun ke lantai 1, ada sebuah bayangan kecil yang sedang jongkok. Kanna sedang memakai sepatu.
“Eh, Kanna. Mau keluarkah?”
Matahari sudah mau terbenam.
“Tidak bolehkah?”
“Bukan tidak boleh, yang penting jangan terlalu malam.”
“Kalau begitu khawatir, mau pergi bersama? Walaupun hanya pergi ke toko yang ada di samping.”
Kanna kemudian mengatakannya dengan bercanda.
“Nah, kalau begitu akan kutemani.”
Setelah berkata begitu, Sorata pun memakai sepatunya.
Kanna lalu menunjukkan ekspresi yang bingung.
“Ayo pergi.”
Sebelum Kanna bilang ‘aku pergi sendiri saja’, Sorata berjalan keluar duluan.
Kanna ikut di belakang Sorata. Sorata merasakan tatapannya.
“Rasanya tidak bisa tenang, mau jalan bersampingan?”
“………”
Lalu berjalan ke samping Kanna, dan berjalan sesuai temponya.
“Masalah waktu itu, maaf.”
“……….”
Kanna menatap bingung ke Sorata yang tiba-tiba meminta maaf.
“Maaf, waktu itu membuntutimu.”
“Dulu aku juga pernah membuntuti Sorata-senpai dan Shiina-san……..jadi impas.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Juga kenyataannya aku ditolong…….jadi terima kasih.”
Suara Kanna yang menundukkan kepalanya itu menghilang.
“Semoga kau juga bisa katakan itu pada Iori. Sekarang dia seperti mati, dan pengerjaan game kami dalam bahaya.”
Dan mengatakannya seolah bercanda.
“Mungkin akan dipertimbangkan kalau Senpai mohon.”
“Kumohon.”
“Tidak peduli apapun yang terjadi, kenyataan bahwa aku membencinya tidak akan berubah.”
“Malah menurutku Iori itu polos, orangnya baik.”
Mungkin Kanna akan sedikit kesal dengan yang kukatakan……
“Makanya kubenci.”
“Hn?”
“Polos, tidak mudah curiga dengan orang, tidak mengantisipasi orang, di depan siapapun, ia selalu menjadi dirinya sendiri, juga tidak peduli apakah dirinya bisa membaca situasi atau tidak……..”
“Sadis juga kau.”
“Karena semua ini tidak bisa kulakukan dan ia berhasil melakukannya, jadi aku membencinya.”
Setelah mendengar sampai akhir, rasanya sudah paham dengan maksud bencinya itu. Itu bukan benci yang seperti biasanya, itu benci yang merasa iri, seperti ‘enaknya bisa begitu, tapi kutidak bisa melakukannya’, jadinya merasa tidak suka pada orang itu.
“Hari itu adalah pertama kalinya.”
Setelah terdiam sesaat, Kanna tiba-tiba berkata begitu.
“Itu……..ke karaoke bersama laki-laki.”
“Ah…….”
Topiknya kembali ke hari saat mereka membuntuti Kanna.
“Walaupun sebelumnya juga pernah diajak, tapi kutolak semua.”
“Begitukah?”
“Itu saja.”
Kanna menutup mulutnya, seperti sudah selesai melaporkan sesuatu.
“Lalu, kenapa hari itu kau tidak menolak?”
“………..”
“Kalau tidak ingin beritahu juga tidak apa apa.”
“Tidak mengertikah?”
Lalu ditanya balik.
“Pokoknya semua ini salahku, kan?”
“!”
Padahal Sorata yang bertanya, Kanna terdiam. Sepertinya ia merasa Sorata tidak sadar.
“Karena rasanya saat Kanna berubah, itu selalu saat ada terjadi sesuatu antara aku bersama Mashiro.”
“Tolong jangan bicara lagi.”
Lalu disuruh diam.
“Tapi, aku…….”
“Aku belum mengatakan apapun terhadap Sorata-senpai…….jadi tolong jangan akhiri seenaknya. Aku tidak ingin mendengar apapun.”
Kanna kemudian berjalan dengan lebih cepat dan meninggalkan Sorata.
Sorata tidak berencana mengejarnya.
Sudah sampai toko yang ingin dikunjungi Kanna.
Melihat ke Kanna yang berjalan masuk ke dalam toko itu, lalu dari depan terlihat seseorang yang tidak asing. Itu adalah Chihiro, sepertinya hari ini juga dia sibuk.
Setelah Chihiro melihat ke Kanna berjalan masuk ke toko itu, ia menghampiri Sorata.
“Kenapa kau membuatnya menangis?”
“Yang benar saja.”
“Kenapa kau membuat anak di bawah umur menangis.”
“Tolong ganti kata-katanya woi!”
“Aku tidak salah, 'kan?”
“Huft.”
Seperti biasanya kata-katanya selalu kasar.
“Selalu mengerti ya, Sensei.”
Mengejar Chihiro yang berjalan ke arah Sakurasou.
Menunggu Kanna juga hanya akan membuatnya terganggu. Sorata tidak bisa mengatakan apapun.
“Bagi Hase itu, karaktermu itu seperti induk burung ya.”
“Huh?”
“Tapi Hase itu seperti burung yang mengurung dirinya didalam cangkang telur.”
“………..”
Melihat ke Chihiro.
“Kau mengerti maksudnya, 'kan?”
“Yah, kurang lebih…..”
Kanna di kelas tidak ada teman yang begitu dekat. Saat pulang sekolah dan libur juga tidak ada teman yang bisa diajak bersenang-senang. Padahal setiap hari melihat yang lainnya bersenang-senang, dan merasakan suasana yang asik di kelas……
Tapi, inilah cangkang Kanna.
“Walaupun dari luar terlihat ramah dan bisa berbaur……..tapi dia sangat tertutup. Dia tidak akan membiarkan orang lain mendengarkan suara hatinya. Mungkin, bahkan dia sendiri pun juga tidak dapat mendengarnya.”
“Bisa jadi, yah…..”
Heroine ‘Cinderela ketika hari Minggu’ yang ditulis oleh Kanna itu sama persis seperti yang dideskripsikan Chihiro. Walaupun ramah terhadap yang lain, tapi ia tidak membiarkan yang lainnya memasuki wilayahnya. Karena tidak ingin terluka……..tapi dalam hatinya sangat menginginkan seorang teman.
Lalu, dulu Kanna pernah bilang novel itu adalah sebuah ‘buku harian’.
“Pertemuan Hase denganmu mungkin adalah sebuah kesalahan.”
Lalu tertawa pahit.
Hari itu, untuk meringankan stresnya ia melepaskan celana dalamnya di sekolah. Celana dalam yang dilepas itu jatuh ke lantai saat bertabrakan dengan Sorata.
Berkat ini, Sorata mengetahui rahasianya Kanna.
“Kanda dengan mudah menerima hal yang begitu diketahui maka akan hancur bagi dia.”
“Sebenarnya aku juga sangat pusing.”
“Tapi, kau menerimanya.”
“Yah, bisa dibilang begitu.”
“Sebenarnya, pecahkan cangkangnya saja sudah cukup. Aku sangat salut denganmu.”
Tapi terbalik dengan yang ia katakan, Chihiro menguap ngantuk.
“Membuat anak burung menyadari kesalahannya sendiri itu adalah tanggung jawab induk burung juga.” ( TL : boleh dicatat, nanti akan muncul kembali di bab 3)
“Ya.”
“Mau bagaimanapun, ini semua disebabkan kau.”
“Aku tahu.”
“Lalu…….”
“Masih ada hal lain?”
“Bagaimana dengan kucingnya?”
Pindah ke topik lain yang sama sekali tidak terhubung.
“……….”
Sellau mmebuat game dari pagi hingga malam, terlupakan.
Masih sangat banyak hal yang harus dilakukan dan dipikirkan. Begitupun juga masih banyak harus yang harus dipertimbangkan.
Sebenarnya, bisakah nikmati Natal bersama dengan Mashiro?
Hal seperti ini tidak perlu dipertimbangkan.
Supaya mereka bisa menikmatinya, Sorata hanya bisa memulainya dari hal yang bisa ia lakukan sendiri.
Semua ini adalah pelajaran yang didapatkan dari kenangan dan pertemuannya dengan teman-teman yang Sorata jumpai di Sakurasou.
“Ah, masih ada satu hal lagi.”
“Apa?”
“Di kulkas masih ada bir tidak?”
“Tolong jangan tanyakan hal seperti ini pada seorang siswa! Ada!”
“Baguslah.”