HUTAN JIWA-JIWA YANG MEMBUSUK (5)
(Translater : Hikari)

Menghindari serangan kaki-kaki kerangka, aku merapatkan jarak antara kami bersama Mururu. Dia pasti mencoba untuk mempersiapkan serangan sihir yang besar. Setelah ekornya dihancurkan, pergerakan si kerangka jadi melambat.
Rentetan sihir yang menghalangi juga berkurang, dan dia hanya menyerang kami secara gila-gilaan dengan kaki-kakinya. Kesampingkan aku, tidak mungkin dia dapat mengenai Mururu dengan serangan semacam itu. Kedelapan kakinya masih dalam keadaan prima tapi tulang-tulang mirip rusuknya tercabik-cabik.
Meski demikian, dia tidak menggunakan sihir saat ini. Tapi di saat yang sama, walaupun dia diserang habis-habisan oleh Mururu, dia tidak membiarkan satu celah pun untukku mendekat. Apakah pergerakkanku jadi melambat? Atau dia hanya waspada terhadapku? Sambil memegangi palu, aku mendecakkan lidah untuk kesekian kalinya saat seranganku digagalkan lagi.
[Ada apa, Renji?]
"Bukan apa-apa."
Napasku menjadi semakin kasar. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah kehabisan napas. Padahal aku cukup bangga dengan staminaku.
Sambil memegangi palu dengan kedua tangan, aku melirik tangan kananku. Ke lukanya. Kenyataan bahwa aku telah berhenti merasakan nyeri dari tangan yang itu berarti keadaan pasti telah berubah menjadi sangat bahaya. Itu saja membuatku merasa ingin menyerah, tapi aku belum bisa melakukannya. Aku malah jadi meneritawakannya. Yang benar saja……Kenapa aku selalu terlibat dalam hal-hal yang merepotkan seperti ini? Apakah aku hanya sial, atau mungkin aku dihantui sesuatu? kenyataan bahwa aku ternyata dapat memikirkan sesuatu/seseorang seperti itu, membuatku kehilangan kata-kata.
"Kau mengkhawatirkanku?" (Renji)
[……Muu.]
"Aku akan baik-baik saja. Aku benci bertarung, tapi aku tidak berencana untuk kalah."
Saat aku berkata demikian, aku dapat merasakan keterkejutan datang dari Ermenhilde. Dia ini mudah sekali dimengerti. Mungkin karena itulah, dia partnerku.
Aku tidak berencana untuk kalah. Aku tidak bisa kalah——kalau aku kalah, aku akan mati. Aku tidak ingin mati di dalam hutan terpencil seperti ini.
"Karena itulah aku benci beradu tempur dengan monster."
[….Hm?]
"Bukan apa-apa. Ayo, Ermenhilde——"
Aku melirik sekilas pada Mururu, dan tanpa perlu bicara sedikit pun, kami sama-sama menerjang si kerangka.
Si kerangka sudah pasti lebih berkonsentrasi padaku, aku bisa merasakannya.
Aku menghindari serangannya yang dapat membagi babak pembukaan. Berikutnya, aku memanfaatkan momentumku untuk dengan cepat mendekatinya, tapi dia menggunakan kakinya yang lain dan mengayunkan sebuah serangan padaku. Aku menahan serangan ini dengan gagang paluku.
"——Guhh!?"
Tenaga di balik serangan itu luar biasa, pada saat yang sama tangan kananku sakit lagi. Karena serangan yang satu ini, aku dengan cepat menjauhkan diri dari makhluk itu lagi. Adalah sebuah berkah bahwa aku tidak terhempas menjauh seperti saat serangan ekor, tapi ada terlalu banyak perbedaan antara kekuatan fisik monster dan manusia. Kenyataan bahwa kami hanya berdua untuk memenangkan pertempuran inilah yang membuatnya sulit. Kalau kami tidak terpisah dari Aya dan yang lainnya, aku tidak akan ragu-ragu sedetik pun sebelum melarikan diri dari lawan selevel ini.
Sementara aku menerima serangannya, Mururu memperpendek jarak dengan si kerangka dan menebas tubuhnya. Cakarnya yang tajam itu memangkas tulang dan menciptakan retakan di permukaannya. Kami sudah pasti secara perlahan memojokkannya. Dengan sekali lihat, aku dapat mengetahui berapa banyak luka yang muncul di tubuh si kerangka.
Tapi meski begitu, jauh di dalam pikiranku, aku masih merasakan sedikit kecemasan. Mungkinkah musuh sekuat dan semenakutkan ini akan kalah dengan mudahnya? Tidak mungkin itu akan terjadi.
"Kau tidak apa-apa?" (Mururu)
"Yah, tidak ada masalah. Kau?"
Mururu, yang muncul di sebelahku sebelum aku dapat menyadarinya, bertanya begitu padaku.
Tatapan khawatirnya saat memandang ke arahku membuatku merasa sedikit canggung dan malu.
Mururu juga mulai kehabisan napas. Jika dilihat dari dekat, aku sadar bahwa pakaian dan rambut putih bersihnya menjadi kotor. Ada luka-luka kecil berdarah di sana sini pada kulitnya yang putih juga.
Aku benar-benar ingin pertarungan ini segera berakhir, sehingga setidaknya dia bisa mandi. Meskipun, kalau seorang pria sepertiku yang mengatakannya, aku akan diperlakukan sebagai orang mesum.
Saat kami berdiri bersama-sama, si kerangka berhenti bergerak dan hanya mengamati situasi. Mungkin karena dia merasa waspada dengan kami berdua yang bersama-sama. Bahkan saat dia akan menggunakan sihir, dia tidak memberikan sensasi apapun secara spesifik.
"Aku masih bisa melakukannya." (Mururu)
"Kalau begitu, aku akan menerima serangannya dan seperti sebelumnya kau mendekat lalu menyerangnya."
"….Kau yakin?"
"Ya, aku akan baik-baik saja."
Dia pasti sudah menyadarinya dari keanehan suaraku. Tidak hanya tatapannya, bahkan nada bicaranya terdengar khawatir. Untuk menenangkannya, aku memberikan seulas senyuman…… Meskipun kuharap bibirku tidak kaku.
Mau bagaimana lagi. Aku tidak punya banyak pengalaman memberikan senyuman sambil merasa waspada. Aku tidak tahu bagaimana dia menerima senyum yang kuberikan saat sambil menatapi si kerangka, tapi aku merasa bahwa Mururu sedikit tenang.
"Ayo akhiri ini secepatnya. Aku mulai merasa muak dengan ini."
"Un."
[Kalian benar-benar kurang merasa tegang, kalian tahu…?]
"Mana mungkin aku akan merasa tegang dengan bahaya selevel ini."
Baik aku dan Mururu tersenyum tipis menanggapi kata-kata Ermenhilde.
Kami bukannya mengahadapi semacam monster yang di melampaui kekuatan kami, jadi tidak mungkin aku merasa tegang. Kerangka ini jelas di atas level skillku, tapi aku tahu monster yang jauh lebih kuat dari si kerangka brengsek ini.
Mungkin kedengarannya aneh tapi menghadapi monster yang luar biasa kuat ini menambahkan pengalamanmu. Dan aku sudah jelas pernah melawan monster-monster yang jauh lebih kuat daripada kerangka ini. Pengalaman itu, fakta bahwa aku dapat selamat melawan monster-monster tersebut, adalah salah satu dari sedikit senjata yang kumiliki.
"Ayo!" (Renji)
"Ya."
Sejak awal, aku bukannya tidak punya aksi lain untuk dipilih. Aku tidak menghindari serangan kerangka ini, dan si kerangka hanya mengincarku. Kalau begitu, aku hanya bisa bertindak sebagai umpan. Ini tidak begitu berbeda dari strategi awal kami. Yah, ini memang begitu amatir sampai-sampai tidak bisa dibilang sebagai strategi.
Sekali lagi, aku berlari menuju si kerangka dengan Mururu. Seperti yang diduga, dia masih mengincarku dengan kaki-kaki yang mirip dengan laba-laba tersebut yang mendatangiku. Aku menerima serangan itu, dan mengalihkannya. Pada saat yang sama, Mururu mendekat untuk melancarkan serangan. Tapi kali ini cara musuh melindungi dirinya berbeda. Mendadak, sebuah hawa dingin menjalar di tulang punggungku dan aku mendapat firasat buruk.
"Itu datang!"
Detik berikutnya, tanah di bawah Mururu merekah dan menyerang dengan menjadi tombak-tombak batu. Tapi, seakan dia sudah bisa menduga serangan tersebut, Mururu menggunakan tombak-tombak yang mencuat itu sebagai tumpuan kaki dan melompat. Dan dengan momentum tersebut, dia melancarkan sebuah serangan pada kepala si kerangka. Gesit sekali! Jadi inilah yang dimaksud dengan dibuat tidak bisa berkata-kata.

Dia bukannya punya semacam kekuatan cheat seperti kami. Ada sedikit orang yang dapat bertarung seperti itu bahkan saat ini. Sekalipu dia adalah seorang beastwoman, itu benar-benar mengagumkan.
Tapi, aku tidak bisa berdiri terkagum-kagum saja. Sihir yang menyerang Mururu aktif sekali lagi meksipun makhluk itu mendapat serangan.
"Kuh!?"
[Menghindar, Renji‼]
Jangan minta sesuatu yang jelas mustahil!
Aku dapat menghindari serangan langsung, tapi kaki kiriku tersayat. Ini benar-benar konyol, si kerangka sialan itu. Bisa tak kasat mata, bisa menggunakan sihir, dan si brengsek keturunan Dewa Iblis.
Sambil mengerutkan alis karena rasa nyeri di kakiku, aku menghindari tombak kedua dan ketiga. Tepat saat aku berpikir kalau dia hanya menyerang dari bawah, sebuah bola sihir tak kasat mata ditembakkan ke arahku. Tidak dapat merasakan serangan kejutan itu, aku menahannya dengan gagang paluku hanya untuk terhempas. Untungnya dia mengenai gagang, tapi aku tidak akan seberuntung ini untuk kedua kalinya. Aku segera berdiri dan mulai berlari. Untuk sementara waktu, aku harus terus bergerak, kalau tidak aku akan terbunuh dengan tertusuk oleh tombak-tombak itu. Kakiku yang baru saja terluka juga terasa sakit, tapi aku memutuskan untuk mengabaikannya.
Mururu bergerak lebih baik dariku tapi bahkan dia pun tidak dapat menemukan kesempatan untuk mendekat. Tombak-tombak batu dan bola-bola sihir tak terlihat, dan bahkan serangan-serangan dari kedelapan kaki itu. Dia menghadapi situasi yang bahkan lebih buruk dariku. Adalah hal yang mengagumkan bahwa dia masih menghindari serangan langsung apapun.
Aku sedikit kebingungan karena serangan sengit mendadak tersebut, tapi musuh juga tidak punya waktu untuk bersantai. Bagaimanapun, dia juga mendapat banyak cedera. Aku mengerahkan lebih banyak kekuatan di lengan yang memegang palu. Aku harus bisa menyerangnya entah bagaimana caranya. Dan mengakhirinya.
Tapi, bagaimana?
Aku mempertanyakan diriku sendiri. Kalau serangan-serangannya seganas ini, aku tidak akan bisa menyelinap melewati itu semua. Sekarang kaki kiriku juga terluka, aku dalam situasi di mana berlari pun sulit. Meskipun aku akan terbunuh kalau aku berhenti, aku harus menemukan cara untuk membunuh lawanku juga.
[….Apa kau baik-baik saja?]
"Apakah aku terlihat baik-baik saja?"
Tanpa menjawab kekhawatiran Ermenhilde, aku malah balik bertanya. Aku hanya mendapatkan kesunyian sebagai balasannya. Itu adalah hal yang normal. Bagaimanapun, tangan kananku dalam kondisi di mana aku bahkan tidak bisa merasakan rasa sakit, belum lagi jumlah luka-luka kecil di tubuhku yang semakin bertambah. Dan salah satu luka terbaru dalam daftar itu adalah di kakiku yang pada dasarnya adalah tempatku menggantungkan nyawaku saat ini. Sekarang, aku bahkan tidak yakin berapa lama lagi aku bisa terus bergerak.
Sekarang atau tidak sama sekali. Tapi sekali lagi, aku hanya punya 4 perjanjian yang terlepas. Itu jauh dari kata memuaskan. Melawan sesosok keturunan Dewa Iblis selevel ini, aku tidak yakin kalau kekuatan sebanyak ini akan cukup untuk menundukkannya.
"Tapi, yah, aku juga tidak bisa menyerah."
Aku tidak bisa kalah, aku tidak boleh kalah di sini.
Bahkan dalam situasi mematikan seperti ini, aku tidak bisa menyerah. Aku harus menghadapinya. Agar tidak terbunuh, aku harus membunuhnya lebih dulu. Aku harus terus bertarung.
Meskipun aku benci dengan gaya hidup semacam itu. Meskipun kupikir gaya hidup semacam itu sama dengan gaya hidup seorang pahlawan yang kuhindari.
Aku dipaksa untuk menjalani gaya hidup itu sekali lagi.
Ini adalah situasi yang selalu diharapkan Ermenhilde. Tapi Ermenhilde yang seperti itu saat ini sedang mengkhawatirkanku daripada fokus pada kerangka musuh. Kalau kau akan menyatakan dirimu sebagai senjata semata, maka jangan memiliki emosi seperti itu, dasar. Karena itulah aku tidak ingin melihatmu hanya sebagai senjata. Dan kalau kau mengharapkan Yamada Renji Sang Pahlawan, maka percayalah saja sepenuhnya padaku.
Tapi aku yang tidak pernah yakin dengan kemenangan mutlak——sama sekali bukan seorang Pahlawan.
Aku dan Ermenhilde. Kami bukanlah seorang Pahlawan ataupun sebuah senjata. Kami hanya pasangan seorang manusia yang membunuh seorang Dewa dan partnernya yang percaya sepenuhnya kepadanya.
Hanya itu saja yang kuinginkan. Begitulah yang seharusnya terjadi.
"Sekarang, kalau begitu…"
Aku menghadapi si kerangka. Rongga matanya yang kosong menatap tajam menembusku.
Dalam tatapan yang seharusnya tidak ada itu, aku bisa merasakan kepercayaan diri atas kemenangannya, meskipun itu hanya kerangka semata.
"Jangan remehkan aku, kerangka sialan."
Detik berikutnya, setengah bagian tubuhnya bersama keempat kakinya menghilang dalam cahaya panas. Dengan kemunculan tiba-tiba cahaya kuat yang membutakan mata, aku menggunakan tangan kiriku untuk menutupi mata. Serangan sihir muncul dari dalam tanah, membelah awan dan menembus langit di atas. Di dunia ini di mana matahri telah tenggelam, cahaya dari matahari tengah hari muncul selamat beberapa detik. Hanya ada satu orang di seluruh dunia ini yang dapat menggunakan sihir dengan kekuatan selevel itu. Aku memang mempercayai mereka, tapi……akhirnya memastikan keselamatan mereka, aku benar-benar merasa lega. Semua itu terjadi dalam sekejap, tapi itu memang nyata. Kehilangan sebagian tubuhnya, si kerangka itu terjatuh ke tanah. Rasanya seperti seekor hewan yang merunduk pada makhluk yang lebih kuat. Yah, makhluk yang lebih itu bukan aku walau begitu.
"……Apa yang barusan?" (Mururu)
"Seperti biasanya, dia benar-benar heboh." (Renji)
Aku hanya membalas seperti itu terhadap gumaman Mururu.
Aku mulai berjalan menuju si kerangka yang terjatuh. Dia tidak mencoba untuk menyerangku dengan sihir lagi. Kau perlu banyak berkonsentrasi untuk menggunakan sihir. Dengan kehilangan keempat kakinya, bahkan sebagai sesosok kerangka, dia pasti kesulitan untuk berkonsentrasi dengan benar.
Sama sekali tidak merasakan secuil pun simpati pada si kerangka tersebut, aku mendekati kepalanya dan mengangkat paluku.
Tengkoraknya yang seperti ogre bertanduk satu terangkat sedikit saat melihat langsung ke arahku.
"———"
Dan begitulah, tanpa mengatakan apapun, aku menghancurkan kepalanya.

Tidak peduli betapa kerasnya pertempuran yang terjadi, akhirnya selalu seperti ini. Tidak ada rasa kegembiraan, benar-benar antiklimaks. Jika sebuah film memiliki akhir yang seperti ini, para penonton akan mulai meminta uangnya kembali. Begitulah yang terjadi saat melawan monster-monster. Karena kami tidak dapat memahami kata-kata satu sama lain, bahkan tidak ada alasan untuk menanyakan kata-kata terakhir mereka.
Tetap dalam pose yang sama setelah mengayunkan paluku, aku menghela napas.
"Aku capek." (Renji)
[Itukah hal yang pertama kali kau katakan……?]
"Tapi sudah jadi kebiasaanku melakukannya, 'kan?"
[Itu menyedihkan… …Benar-benar memalukan.]
Yah, maaf.
Palunya menghilang dengan berubah menjadi energi magis sewarna batu giok, dan tubuhku kehilangan tenaga. Dengan tewasnya keturunan Dewa Iblis, sebagian besar perjanjianku yang terlepas tertutup lagi. Ini benar-benar menyedihkan.
"Sudah selesai?" (Mururu)
"Yah."
Kerangka tersebut berubah menjadi lumpur hitam dan menghilang ke dalam tanah. Ini sama dengan para keturunan Dewa Iblis yang dulu kuhadapi. Setelah memastikannya sampai terakhir, akhirnya aku duduk di tanah.
"Serangan itu, apakah itu kau Renji?" (Mururu)
"Itu bukan aku. Itu Aya."
Melihat lubang di perkemahan kami, aku menyadari bahwa mereka berada di bawah tanah, tapi aku tidak pernah terpikir bahwa dia akan menembakkan sihir dari bawah tanah. Ada kemungkinan bahwa entah Mururu atau aku yang akan juga ikut terkena dan setengah bagian dari tubuh kami akan meledak.
Memikirkan hal tersebut membuatku merinding, tapi, yah, baguslah semuanya berakhir dengan baik. Kita biarkan saja itu. Kalau aku terlalu banyak memikirkannya, mungkin aku malah jadi tidak bisa tidur.
Di samping lubang yang terbentuk dari serangan sihir yang telah menghancurkan si kerangka, aku dan Mururu sama-sama duduk. Ngomong-ngomong, ukuran lubangnya berdiameter 2 meter. Baik aku dan Mururu sudah pasti akan binasa kalau serangan itu menggores kami walaupun sedikit…….aku harus berhenti memikirkannya. Itu buruk bagi jantungku.
"Kau tidak apa-apa?" (Renji)
"Hanya lelah." (Mururu)
[……Apa-apaan kalian ini, kacang dari kulit yang sama?]
"Benarkah?" (Mururu)
"Kami tidak semirip itu." (Renji)
Kehabisan bahan untuk dibicarakan, kami berdua terdiam dan hanya menatapi lubang.
Setelah bertarung begitu sengit, hampir mati, namun tidak menyerah…… Pada akhirnya, Aya mengakhiri semuanya itu begitu saja dengan serangan kejutan entah dari mana.
Aku selalu memikirkan hal itu. Entah kenapa aku merasa aku selalu berakhir dalam situasi semacam itu.
Bahkan setelah bertarung begitu keras, peran atau bagian terbaiknya dirampas oleh Souichi atau Aya, atau rekan-rekanku yang lain. Bukan begitu, yah, aku puas selama aku selamat, sih.
Sementara aku berpikiran begini, Mururu yang sedang duduk di sebelahku, melihat ke arahku.
"Apakah aku bagus?" (Mururu)
"Yah, kau tadi hebat. Kerja bagus." (Renji)
Aku mengelus kepalanya dengan ringan seperti yang biasanya kulakukan pada Aya dan yang lainnya saat itu.
Rambutnya yang halus dan lembut terasa nyaman.
[Apa yang kau lakukan?]
"Memujinya." (Renji)
[Kenapa?]
"Ingin saja."
Sambil menghabiskan waktu seperti itu, aku mendengar suara-suara datang dari lubang yang baru.
Setelah menunggu sebentar, akhirnya sebuah lengan yang ramping menjulur keluar. Mururu bersiaga, tapi aku mengenali tangan itu. Saat aku meraih dan menariknya, aku melihat sebuah wajah yang tidak asing. Setelah melihat wajah itu, aku akhirnya dari dalam lubuk hatinya, merasa benar-benar lega. Lengannya yang halus dan lembut itu benar-benar ciri khas seorang gadis. Saat menariknya keluar dari lubang, dia benar-benar berlumur tanah. Tidak hanya bajunya, rambut dan wajahnya juga. Dan di atas semuanya itu, pakaiannya menempel pada tubuhnya begitu lekat. Tapi Nona Francesca memiliki tubuh yang luar biasa, jadi terus terang, itu pemandangan yang benar-benar menggoda.
"Jadi kau selamat, Nona Francesca?" (Renji)
Mengalihkan pandanganku dari sosoknya yang kotor namun sekaligus memikat itu, aku bertanya demikian padanya.
"Ah, Renji-sama!"
"Kau benar-benar harus berhenti menggunakan '-sama'."
Setelah menarik Nona Francesca, berikutnya Feirona muncul dari dalam lubang. Dia sama seperti Nona Francesca, sepenuhnya berlumpur tanah dan lumpur. Pakaiannya juga basah. Apa mereka jatuh ke sumber air bawah tanah atau semacamnya?
"Apa yang terjadi?" (Renji)
"Aya-dono mendorong kami dengan sihirnya."
"Aku mengerti."
Jadi Aya menggunakan sihir terbang pada mereka berdua untuk mengeluarkan mereka dari lubang. Dia benar-benar terampil. Tidak ada satu pun dari mereka yang kelihatannya terluka. Mereka hanya berlumur lumpur. Adalah hal yang luar biasa bahwa dia dapat membuat mereka berdua keluar dari lubang ini tanpa terluka dan tanpa membentur bebatuan sedikit pun padahal dia mungkin saja bahkan tidak punya sumber penerangan di bawah tanah.
Yang terakhirnya seharusnya adalah Aya sendiri. Saat aku menarik keluar Feirona juga, dia menggunakan tangannya untuk menyingkirkan tanah dari rambut dan pakaiannya. Penampilannya tetap terlihat tampan bahkan saat melakukan hal semacam itu. Meskipun, ternyata akhirnya dia gagal menyingkirkan tanah tersebut.
"Kami tadi khawatir karena kalian tiba-tiba menghilang." (Renji)
"Kami diserang oleh monster-monster. Dan yang lebih penting, tanahnya bergemuruh tepat di bawah kami tepat saat kami terdesak." (Feirona)
"Sepertinya begitu. Lubang yang sangat besar."
Saat aku berkata demikian sambil mengingat lubang di perkemahan, wajah Nona Francesca memucat.
Yah, fakta bahwa kau selamat bahkan setelah jatuh dari lubang seperti itu, bisa kubilang kalian semua benar-benar beruntung.
"Dan ada sepasukan besar slime di bawah tanah juga. Baguslah Aya-sama berasama dengan kami." (Francesca)
"….Slime."
[……Slime, ya.]
Mururu dan Ermenhilde bergumam di saat yang sama.
Slime. Organisme bersel tunggal dengan tubuh lunak seperti jeli. Serangan fisik tidak begitu berpengaruh. Mereka seperti musuh alamiah bagiku dan Mururu. Sepertinya Mururu juga sadar dengan kenyataan itu karena dia menggumamkan nama itu dengan nada jengkel.
Aku juga, tidak punya kenangan yang bagus tentang slime.
Meskipun itu monster kelas terendah dalam game, kenyataannya itu benar-benar merepotkan di dunia nyata.
Pedang dan tombak tidak mempan tapi kobaran obor atau serangan sihir efektif. Cairan tubuhnya memiliki beragam efek dari meracuni atau melumpuhkan musuh sampai melarutkan armor yang dikenakan dan menurunkan pertahanan lawan. Karena itulah, aku bahkan tidak bisa menghitung berapa kali aku melihat neraka. Terutama, dengan adanya wanita dalam grup kami.
Saat aku mengingat kembali berbagai tragedi yang diakibatkan slime, pandangan Feirona beralih ke lengan kananku.
"Sepertinya kalian juga terlibat dalam masalah."
Dia berkata begitu saat melihat lukaku. Seakan akhirnya dia melihat kondisiku, Nona Francesca terkesiap saat menutupi mulut dengan tangannya.
"Yah, aku hampir saja mati. Aku bisa selamat berkat Mururu."
"Un."
Mururu menggembungkan pipinya dengan bangga. Itu begitu menggemaskan sehingga kami bertiga pun mulai tertawa.
Akhirnya, sebuah lengan ramping muncul dari dalam lubang.
"Yokkoi, sho!"
Kupikir seorang gadis muda seharusnya tidak berseru seperti itu.
Aya, yang muncul dari dalam lubang, sama dengan dua yang lainnya, berlumuran lumpur dan tanah. Tanahnya pasti menempel karena cairan dari para slime.
Normalnya, dia selalu terlihat berwibawa dan memiliki kecantikan seorang dewasa, tapi wajahnya saat ini terlihat sangat kekanak-kanakan.
"Yō." (Renji)
"… …Eh?" (Aya)
"Wajahmu aneh juga."
Saat aku berkata begitu, dia dalam diam kembali ke dalam lubang. Dia benar-benar cepat, aku malah jadi melakukan tsukkomi dalam kepalaku. Memangnya kau tikus tanah?
"Ayolah, cepatlah keluar. Kita harus mempersiapkan perkemahan juga." (Renji)
Aku menyambar pergelangan tangannya dan menariknya keluar. Tanpa banyak menolak, Aya keluar dengan mudahnya. Alasan kenapa dia terasa begitu ringan pastilah karena aku memanfaatkan dengan baik pinggiran lubang sebagai tumpuan dan mengerahkan cukup tenaga. Dia keluar dengan begitu mudahnya sehingga rasanya sedikit antiklimaks.
Karena ini adalah dia, dia pasti tidak ingin terlihat berlumuran tanah, jadi aku tadinya yakin dia akan menolak. Sama seperti bagaimana dia terlihat seperti seorang dewasa, dia juga sangat benci terlihat lemah.
Dia tidak mau selalu terlihat sebagai sosok yang sempurna, tapi dia mencoba untuk selalu memperlihatkan sisi kuatnya, kurasa begitu.
"Kau tidak apa-apa?" (Renji)
"Aku——tunggu, Renji-san! Kau terluka!?" (Aya)
"Yah, Mururu juga."
Aya mulai menyentuh lukaku tanpa menahan diri, membuatnya semakin sakit. Aku sudah melakukan perawatan pertolongan pertama pada luka yang sudah berdarah begitu banyak itu, sampai-sampai kain yang membalutnya jadi berwarna merah. Lukanya tidak begitu besar, tapi darahnya banyak sekali. Sementara aku berpikir begitu, tiba-tiba kakiku kehilangan tenaga. Hah, tidak mengerti apa yang terjadi, aku jatuh telentang.
[Renji?]
Suara Ermenhilde terdengar jauh. Dan suaranya bukannya mengkhawatirkan kenyataan bahwa aku jatuh, tapi bingung karena dia tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba ambruk.
Bahkan aku sendiri pun tidak yakin kenapa ini terjadi. tepat saat aku berpikir begitu, kali ini, seluruh tubuhku kehilangan kekuatan.
Setelah mengalahkan si kerangka, bertemu dengan rekan-rekanku, aku pasti terlalu menenangkan diriku sendiri. Benar-benar menyedihkan. Pingsan hanya karena itu.
Aku mencoba untuk meminta maaf tapi hanya bibirku yang bergerak tanpa bersuara sedikit pun.
Setelah menggerakkan bibirku dengan sia-sia beberapa kali, bahkan melakukannya pun rasanya menyebalkan.
Aku memejamkan mata.
Dunia menjadi gelap sepenuhnya.
——Seseorang mengguncangku. Suaranya terdengar bagaikan gema, tapi aku tidak bisa mengerti apa maknanya.
Aku capek.
Karena itulah, aku melepaskan kesadaranku.